PERTENGAHAN 1962. Informasi intelijen itu bertiup kencang di kalangan para pejabat militer Republik Indonesia (RI). Sekira Juni, diperkirakan Kapal Induk Karel Doorman milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda sudah memasuki perairan Irian. Misi mereka tentu saja untuk memperkuat pertahanan laut di wilayah Hollandia Barat, sebutan orang-orang Belanda untuk Irian Barat (sekarang Papua).
Rumor itu langsung direspon secara cepat oleh Presiden Sukarno. Dia lantas memerintahkan jajaran angkatan bersenjata-nya (terutama ALRI) untuk menambah pembelian kapal selam kelas Whiskey dari Uni Sovyet: dari 6 menjadi 12. Permintaan itu langsung diamini pihak negara Beruang Merah. Maka dikirimlah kapal selam yang memiliki torpedo otomatis 533 mm yang merupakan senjata bawah air tercanggih di zamannya.
Masalah muncul ketika ALRI tidak memiliki kru lagi untuk mengisi 6 kapal selam tambahan itu. Maka untuk mengantisipasi situasi itu, pemerintah RI “mengundang” ratusan kru kapal selam Angkatan Laut Uni Soviet untuk menjadi sukarelawan. Lagi-lagi Uni Sovyet mengabulkan permintaan RI tersebut.
“Yang saya ingat, ada sekitar 300-an anggota Angkatan Laut Uni Sovyet hadir di Surabaya guna memperkuat 6 kapal selam yang belum memiliki kru Indonesia itu,” ungkap Laksda TNI (Purn) I Nyoman Suharta, eks awak kapal selam Korps Hiu Kencana angkatan pertama tersebut.
Baca juga:
Menurut Suharta, semua anggota Angkatan Laut Uni Sovyet itu praktis melakukan aktifitas di Indonesia atas dasar sukarela. Maka dalam kegiatan sehari-hari, mereka menjalankan tugas tanpa menyandang jabatan resmi dan pangkat sama sekali.
Untuk menghadapi manuver Belanda itu, ALRI kemudian menugaskan 6 kapal selam barunya untuk melakukan patroli sekaligus psywar (perang urat syaraf) di sepanjang pantai utara Irian Barat. Nama kapal selam kelas Whiskey itu masing-masing RI Widjajadanu, RI Hendradjala, RI Bramastra, RI Pasopati, RI Tjudamani dan RI Alugoro. Selain itu, 6 kapal selam tersebut memiliki tugas lain:
“…Mengamankan operasi ampibi yang akan dilakukan oleh kesatuan-kesatuan (yang tergabung) dalam Operasi Djajawidjaja I, dari bahaya serangan mendadak bala bantuan asing yang datang dari utara…Mencegat dan menghancurkan sama sekali kapal-kapal perang Belanda yang akan melarikan diri ke utara,” demikian menurut buku Sewindu Komando Djenis Kapal Selam, 12 September 1967 yang diterbitkan oleh Seksi Buku Panitia HUT Sewindu Komando Djenis Kapal Selam.
Baca juga:
Nanggala dalam Armada Indonesia
Tersebutlah Letnan Satu (P) F.X. Soeyatno. Dia merupakan salah satu alumni Akademi Angkatan Laut (AAL) angkatan ke-9 yang ditempatkan dalam kapal selam RI Tjudamani bersama para awak dari Rusia. Kendati berbeda bangsa dan negara, hubungan antara awak Rusia dengan awak Indonesia berjalan lancar.
“Jauh hari kami memang sudah diajarkan bahasa dan budaya Rusia sehinga faktor perbedaan bangsa itu tidak menjadi masalah saat kami bekerjasama,” ungkap anggota ALRI yang mengakhiri karirnya sebagai kolonel itu.
Kendati tidak sempat melakukan kontak senjata dengan kekuatan laut Belanda, namun tak urung kehadiran kapal-kapal selam ALRI itu membuat keder sang musuh. Terlebih, “monster-monster perang bawah laut” itu sering sengaja memunculkan diri di wilayah-wilayah Belanda.
“Perang urat syaraf yang kami lakukan memang bisa dikatakan berhasil,” ujar Soeyatno.
Baca juga:
Kapal Selam Mini Masa Revolusi
Satu lagi keberhasilan yang dituai armada kapal selam ALRI di Irian Barat adalah saat mereka melaksanakan Operasi Tjakra II (15—26 Agustus 1962). Operasi militer itu memiliki misi utama mendaratkan 3 tim khusus pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di Tanah Merah, suatu pantai dekat lapangan terbang Sentari.
Para prajurit komando Angkatan Darat RI itu ditugaskan untuk melakukan sabotase terhadap obyek-obyek vital musuh. Mereka pun diharapkan bisa menyiapkan kolone ke-5, agar pada waktu pendaratan besar-besaran militer Indonesia nanti, rakyat setempat bisa ikut angkat senjata melawan musuh.
“Tim khusus RPKAD untuk tugas sabotase akan didaratkan oleh RI Trisula dan RI Nagarangsang, sedang tim khusus RPKAD untuk tugas (membentuk) pemerintahan sipil (akan didaratkan) oleh RI Tjandrasa,” demikian menurut buku Sewindu Komando Djenis Kapal Selam.
Baca juga:
Menyelamatkan Awak Kapal Selam
Dari ketiga kapal selam itu, hanya RI Tjandrasa yang berhasil mendaratkan 15 anggota RPKAD dan seorang sosiolog bernama Wijoso. Sedangkan RI Trisula dan RI Nagarangsang batal mendaratkan tim sabotase karena kedudukan mereka kadung diketahui oleh pihak militer Belanda.
“Trisula dan Nagarangsang bahkan katanya sempat ditembaki secara gencar oleh pesawat Neptune dan kapal perusak Belanda,” ungkap Nyoman Suharta. Lantas bagaimana bisa operasi rahasia itu terketahui oleh pihak Belanda?
Kapten (P) Assyr Mochtar, salah satu perwira di RI Nagarangsang, menduga itu terjadi karena pihak Belanda berhasil menyadap percakapan radio singkat yang dilakukan oleh atasannya.
“Kalau memang mau operasi, kita harus ketat dengan radio silence. Tidak ada alasan untuk bicara dengan siapa pun,” ujarnya seperti dikutip Atmadji Sumarkidjo dalam bukunya, Mission Accomplished: Misi Pendaratan Pasukan Khusus oleh Kapal Selam Tjandrasa.