Hidup di Kapal Selam Whiskey
Bagaimana seorang jurnalis mengisahkan keseharian di dalam kapal-kapal selam pertama yang dimiliki Angkatan Laut Republik Indonesia.
JULI 1962. Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) baru saja melengkapi armada tempurnya dengan 12 kapal selam kelas Whiskey (W). Kapal selam buatan Uni Sovyet itu merupakan salah satu perangkat tempur bawah laut tercanggih di zaman-nya. Selain dilengkapi dengan homing torpedo tipe SAET-50 yang mampu mencari sasaran secara otomatis, kapal selam itu juga dilengkapi meriam penangkis serangan udara kembar 25 mm, radar, sonar pasif dan snorkel.
Menurut jurnalis militer Atmadji Sumarkidjo, kala itu hanya Indonesia (tentunya di luar Uni Sovyet) yang memiliki kapal selam kelas W lengkap dengan torpedo canggih-nya tersebut. Dengan merelakan Indonesia untuk memilikinya, sepertinya pimpinan Blok Timur itu ingin menguji keunggulan produk mereka di palagan Irian Barat.
“Bila memang dioperasikan, jelas pihak Belanda akan kewalahan, karena torpedo demikian akan mampu melakukan hit terhadap kapal perang atas air,” ungkap Atmadji dalam bukunya Mission Accomplished: Misi Pendaratan Pasukan Khusus oleh Kapal Selam Tjandrasa.
Baca juga:
Setelah menjadi milik Indonesia, 12 kapal selam W itu pun diberi nama sesuai tradisi ALRI: RI Tjakra (401), RI Nanggala (402), RI Nagabanda (403), RI Trisula (404), RI Nagarangsang (405), RI Tjandrasa (406), RI Alugoro (407), RI Tjumandani (408), RI Widjajadanu (409), RI Pasopati (410), RI Hendradjala (411) dan RI Bramastra (412).
Syahdan, seorang jurnalis dari harian Berita Yudha bernama Sunario Sunarsal. Dia pernah mengikuti 3 operasi bawah laut yang dilakukan oleh RI Nanggala pada Desember 1961, KRI Tjudamani pada Agustus 1963 dan KRI Bramastra pada Juni 1966.
Pengalaman Sunario selama bergabung dengan 3 kapal kelas W tersebut pernah dituliskannya dalam buku Sewindu Komando Djenis Kapal Selam, 12 September 1967 yang diterbitkan oleh Seksi Buku Panitia HUT Sewindu Komando Djenis Kapal Selam.
Menurut Sunario, kendati memiliki peralatan canggih, sejatinya kapal-kapal selam kelas W itu tidak dirancang untuk beroperasi di wilayah tropis yang panas. Karena itu wajar jika di dalam lambungnya, alih-alih pendingin udara, yang ada justru alat pemanas (dari listrik hingga uap). Tentunya suasana gerah sangat terasa sekali, kendati putaran kipas angin sudah diarahkan fokus ke tubuh para penumpangnya.
“Peluh tetap mengalir deras seperti kain cucian yang diperas,” ungkap Sunario.
Jangan pernah berharap bisa mandi di kapal selam W itu. Ketika para prajurit mendapat tugas berlayar selama sebulan, maka sebulan pula mereka harus siap tidak mandi sama sekali. Air tawar sangat dihemat dan khusus untuk minum dan memasak makanan saja. Kadang-kadang kalau tidak kebagian air, kumur-kumur pun dilakukan dengan secangkir teh atau kopi.
Mandi secara “normal” baru bisa dilakukan ketika kapal selam naik ke permukaan laut. Itu pun kalau di laut tengah turun hujan. Tak jarang saat “mandi” itu para awak kapal selam harus menahan tamparan keras angin laut.
Baca juga:
Di atas anjungan itu pula, kesenangan sejenak bisa didapat oleh para awak. Mereka bisa bebas merokok atau melakukan aktifitas (termasuk salat) tanpa harus dibatasi atap yang pengap. Tepat di bawah anjungan terletak ruangan toilet untuk sekadar buang air kecil dan air besar. Semuanya serba “otomatis” karena langsung disalurkan ke laut.
“Untuk membersihkan sehabis buang hajat cukup mengambil lidah ombak yang menampar dari arah kiri,kanan dan bawah,” kenang Sunario.
Karena sebagian besar keperluan hajat menggunakan air laut, para awak menjuluki diri mereka sebagai “ikan asin”. Terlebih jika mereka tidak pernah mandi selama berminggu-minggu. Pengaruh garam dari air laut pun sangat terasa dan menimbulkan aroma yang seperti bau ikan laut. Namun karena sudah biasa, hal-hal tersebut sama sekali tak diindahkan.
Lalu bagaimana dengan tidur mereka? Di dalam kapal selam kelas W, tidur bisa dilakukan di mana saja. Kecuali bagi komandan yang ditempatkan khusus di sebuah kabin kecil ukuran 1,5x2 meter. Biasanya para awak akan tertidur di tempat di mana mereka tengah ditugaskan. Asal badan bisa diletakan meskipun kaki tidak bisa berselonjor.
“Tak jarang para awak tidur di gang-gang antar ruangan, bahkan para awak yang melayani torpedo, mereka bisa tidur lelap sambil memeluk senjata-senjata kesayangannya,” tutur Sunario.
Yang paling bermasalah selama di dalam kapal selam adalah soal makanan. Kendati itu merupakan hiburan satu-satunya, namun makanan kadang diolah seadanya, bahkan kadang tak jelas rasanya. Hal tersebut masih enak jika persediaan makanan segar (buah-buahan, sayur mayor dan daging) masih tersedia. Namun jika sudah ludes, maka yang ada semua makanan serba instan.
“Pokoknya perut diisi tidak peduli bagaimana rasanya, yang penting jangan lupa minum pil vitamin,” ungkap Sunario.
Apabila ada perintah menyelam, maka semua pintu kedap ditutup. Setiap komando dan pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan interkom, telepon lokal dan pipa suara. Berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain tidak bisa dilakukan seenaknya, harus seizin komando sentral. Kalau sudah ada dalam posisi tempur, dilarang keras untuk berbicara kecuali komandan dan mereka yang bertugas untuk melaporkan data-data kapal musuh yang tengah diburu dan diintai.
Hebatnya, semua “penderitaan” itu dijalankan secara tulus oleh semua awak kapal selam. Tak ada satu pun dari mereka yang mengeluh terlebih frustasi. Semua tugas mereka jalankan dengan berpegang teguh kepada motto Korps Hiu Kencana: Tabah sampai akhir!
Tambahkan komentar
Belum ada komentar