Menyelamatkan Awak Kapal Selam
Kapsul MCRC, satu dari sekian penemuan alat penyelamat dalam air yang pengembangannya dilakukan sejak 1920-an. Satu-satunya yang berhasil dalam upaya penyelamatan.
SETELAH lebih dari empat hari pencarian untuk menyelamatkan kapal selam (kasel) KRI Nanggala (402) berikut awaknya tak membuahkan hasil, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dengan berat hati mengubah status Nanggala dari submiss (hilang) menjadi subsunk (tenggelam). Perubahan status itu diambil setelah ditemukannya beberapa puing yang diyakini milik Nanggala yang dilaporkan berada di kedalaman 850 meter di perairan utara Bali.
“Saya atas nama Panglima TNI menyampaikan rasa prihatin yang mendalam. Kita bersama-sama mendoakan supaya proses pencarian ini terus bisa dilaksanakan dan bisa mendapatkan bukti-bukti kuat. TNI AL bersama Kepolisian, Basarnas, KNKT, serta negara sahabat telah berupaya semaksimal mungkin untuk mencari keberadaan KRI Nanggala-402,” ungkap Marsekal Hadi di laman resmi TNI AL, Sabtu (24/4/2021).
Nanggala dilaporkan hilang kontak pada Rabu (21/4/2021) dini hari dalam rangka gladi resik latihan menembakkan torpedo. Upaya pencarian dan penyelamatan pun dilakukan berpacu dengan waktu. TNI AL tak segan meminta bantuan negara-negara sahabat seperti Singapura, Malaysia, India, Australia, dan Amerika Serikat, mengingat TNI AL belum memiliki satu pun alutsista penyelamat yang mumpuni.
Baca juga: Nanggala dalam Armada Indonesia
Kelima negara itu datang memberi pertolongan sebagai lima dari 15 anggota system rescue ISMERLO (International Submarine Escape and Rescue Liaison Office) yang terdekat secara geografis dengan Indonesia. Namun mengingat Nanggala dinyatakan subsink, upaya TNI AL dibantu negara-negara sahabat itu bukan lagi misi penyelamatan, melainkan misi pencarian kasel.
Oleh karena begitu dalamnya posisi Nanggala, dibutuhkan peralatan canggih yang sementara ini hanya dimiliki Singapura. Berpegang pada Pakta Perjanjian Kerjasama dan Bantuan Penyelamatan Kasel antara TNI AL dan AL Singapura pada 2012, AL Singapura mengirim MV Swift Rescue-nya dalam misi pencarian bersama KRI Rigel (933) itu. Dilengkapi Deep Search and Rescue 6 (DSAR 6), sejenis Deep Submergence Rescue Vehicle (DSRV) atau kasel penolong yang bisa disambungkan ke palka penyelamat kasel yang hendak ditolong, MV Swift Rescue jadi pendukung utama misi pencarian itu.
Namun, sejarah mencatat DSRV belum sekali pun pernah berhasil menyelamatkan awak kasel nahas di masa damai. Salah satu alat penyelamat bawah laut tercanggih itu bahkan gagal menyelamatkan para prajurit kasel nuklir Rusia Kursk K-141 di dasar Laut Barents pada 12 Agustus 2000.
Penyelamatan yang Berhasil
Mengutip Nick Stewart dalam “Submarine Escape and Rescue: A Brief Histori” yang dimuat dalam seri jurnal AL Australia, Semaphore, edisi 7 Juli 2008, nyawa kru kasel dalam situasi genting bisa ditolong lewat dua metode. Pertama, metode menyelamatkan diri dengan sejumlah alat selam. Metode ini tentu hanya bisa dilakoni para kru jika kaselnya tenggelam di perairan dangkal. Kedua, metode penyelamatan dengan melibatkan pihak kedua menggunakan alat atau kapal selam penolong.
“Fokus utama pada masa awal kasel modern adalah metode menyelamatkan diri. Escape system-nya sudah muncul sejak 1910 yang terinspirasi dari alat pernafasan para penambang batubara. Sistem itu berhasil untuk pertamakali (menyelamatkan) kru saat tenggelamnya kasel U3 pada 1911 dengan menggunakan alat pernafasan Dräger,” tulis Stewart.
Sistem menyelamatkan diri itu lantas diadopsi negara-negara lain yang mengoperasikan kasel, termasuk Inggris dan Amerika Serikat, mulai tahun 1929. Sistem ini bertahan sampai era 1990-an seiring perkembangan Submarine Escape Immersion Equipment (SEIE), sebuah body suit yang bisa diubah menjadi rakit darurat. SEIE bisa melindungi tubuh awak kasel dari tekanan air sehingga bisa menyelamatkan diri di kedalaman antara 183-185 meter.
“Tetapi kru rentan dengan kondisi alam ketika di permukaan, seperti yang terjadi pada (kru kasel) Komsomolets K-278 (7 April) tahun 1989. Dari 69 kru, 34 di antaranya sempat mampu naik ke permukaan tetapi kemudian semua tewas karena hypothermia, gagal jantung atau tenggelam tersapu ombak,” imbuhnya.
Baca juga: Enam Tragedi Kapal Selam Rusia
Kendati begitu, motode penyalatan tersebut merupakan salah satu capaian dari sejarah pengembangan metode penyelamatan sejak 1920-an. Di era awal kasel modern itu alat penyelamat kru kasel baru Kapsul McCann Rescue Chamber (MCRC) atau kapsul penyelamat yang dikaitkan dengan tali atau rantai ke kapal penyelamat di permukaan.
Kapsul MCRC yang terinspirasi dari diving bell (bel selam) dikembangkan pada 1929 oleh Mayor Laut Allan R. McCann, Mayor Laut Charles B. Momsen, Letnan Laut Carlton Shugg, dan Sersan Clarence Tibbals. Hingga saat ini, Kapsul MCRC masih jadi satu-satunya alat yang tercatat pernah berhasil menyelamatkan kru kasel, kendati perkembangan DSRV telah pesat.
Keberhasilan penyelamatan menggunakan Kapsul MCRC itu terjadi pada 23 Mei 1939. Kala itu sejak 12 Mei dua kasel Amerika, USS Squalus dan USS Sculpin, tengah melakoni serangkaian uji selam usai perbaikan besar-besaran di Portsmouth, New Hampshire. Tetapi setelah melakukan 18 kali penyelaman, pada 23 Mei pagi Squalus hilang kontak di Kepulauan Shoals.
“Pada 23 Mei pagi di koordinat 42°53′ Utara, 70°37′ barat Squalus mengalami masalah pada katup induksi utama yang menyebabkan ruang torpedo buritan, dua kompertemen mesin dan kabin kru bocor dan kebanjiran. Sebanyak 26 krunya langsung meninggal di tempat,” ungkap Clay Blair Jr. dalam Silent Victory.
Squalus beruntung karena saat uji selam kasel itu tetap didampingi Sculpin sehingga titik lokasinya cepat ditemukan. Squalus tenggelam di kedalaman 74 meter. Sculpin pun mengirim komunikasi darurat ke kapal penyapu ranjau dan penyelamat kasel, USS Falcon.
Baca juga: Rudeltaktik Kapal Selam Jerman Berburu Mangsa
Dari informasi Sculpin dan telephone marker buoy atau pelampung komunikasi, para penyelam dari Falcon segera menemukan lokasi Squalus. Setelah dapat kepastian lokasi pada 24 Mei malam, Falcon menurunkan MCRC untuk menyelamatkan sisa 33 kru Squalus yang masih hidup dan diawasi langsung oleh Mayor Laut Charles B. Momsen.
“Kapsul itu mirip lonceng atau bel baja besar yang diturunkan dari kapal penyelamat dan bisa dikaitkan ke palka penyelamat kasel. Setelah terkait, kapsul itu bisa mengurangi tekanan udara dan membuka palka demi membebaskan para kru yang terperangkap,” sambung Stewart.
Setelah diturunkan, kapsul penyelamat itu dituntun penyelam William Badders, Orson L. Crandall, James H. McDonald, dan John Mihalowski kemudian disambungkan dengan palka penyelamat di Squalus.
“Dengan dipimpin perwira medis senior Dr. Charles Wesley Shilling, keempat penyelam melakukan metode heliox diving schedule untuk mencegah gejala gangguan kognitif saat penyelaman yang dalam,” imbuh Blair Jr.
Hasilnya, lewat empat kali misi, ke-33 kru Squalus sukses dipindahkan ke kapsul penyelamat itu dan dinaikkan ke Falcon. Squalus akhirnya juga bisa ditarik ke pelabuhan. Setelah diperbaiki, pada 9 Februari 1940 kasel itu berganti nama menjadi USS Sailfish.
Baca juga: Melindungi Kenangan Kapal Perang
Tambahkan komentar
Belum ada komentar