Untungnya I-Tsing mencatat pengalaman berlayarnya bolak-balik dari Guangzhou sampai India. Sehingga diketahui sebuah negeri bernama Fo-shi, tempat ia mampir dan tinggal selama beberapa tahun di tengah pengembaraannya.
Fo-shi adalah nama yang setelah diterjemahkan merujuk pada Sriwijaya. Sang biksu pun menjadi orang pertama yang membuat catatan cukup jelas tentangnya. Hingga seolah kemunculan dan perkembangan pusat keramaian di Sumatra itu muncul begitu tiba-tiba. Pada 671, yaitu ketika I-Tsing tiba di sana, kondisi Sumatra sudah ramai oleh lalulintas kapal. Di sana pun sudah didatangi ribuan biksu yang tengah mendalami ajaran Buddha.
Bukanlah kebetulan Sriwijaya muncul sebagai kekuatan maritim yang dominan di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ekonomi dan politik kawasan, ditambah keterampilan penguasa Sriwijaya telah memberi jalan bagi dirinya menuju kejayaan selama beberapa abad.
Baca juga: Inilah Akta Kelahiran Sriwijaya
Kedatuan Sriwijaya berkuasa dari 683 sampai kira-kira 1183. Mereka cukup diuntungkan oleh letak geografis dan sumber daya alamnya.
Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, menjelaskan letak pantai timur Sumatra begitu strategis. Ini masih ditambah angin musim yang bertiup secara teratur menjadikannya jalur perdagangan penting sejak awal abad Masehi. Jalur ini ada di antara rute Samudra Hindia, Laut Cina Selatan, dan Samudra Pasifik.
Pun hasil alamnya yang berupa rempah, kayu cendana, kapur barus, kemenyan, besi, timah, emas telah disebut di dalam kitab-kitab sastra dari India sebagai komoditas yang dicari dalam perdagangan. “Sriwijaya mengeluarkan sekira 100-an prasasti dari timah, pasti karena hasil timahnya yang melimpah,” kata Ninie.
Keuntungan itu mereka sadari sembari menjalin hubungan dengan pedagang dari India, Arab, dan Tiongkok. Waktu itu India dan Tiongkok merupakan bagian dari kekuatan dunia.
Baca juga: Sriwijaya Genjot Pajak
Buntutnya pada abad ke-7 Sriwijaya merebut pos luar wilayah baratdaya Semenanjung Melayu. Ini yang kemudian membuatnya berkuasa atas Selat Malaka.
“Sriwijaya menguasai sisi Selat Malaka yang merupakan lalu lintas strategis jalur perdagangan masa lalu,” kata Ninie.
Namun, bagaimana awal mula keramaian terbentuk sehingga membuat Sriwijaya berjaya? Nyatanya, uraian tentang pendorong perkembangan Sriwijaya awal itu masih dibatasi sumber-sumber yang tak seberapa banyak.
Keterbukaan Jalur
Kalau melihat peta, letak Sriwijaya tepat berada di tengah, antara Tiongkok dan Timur Tengah yang jalurnya lewat India. Berdasarkan kronik Tiongkok, hubungannya dengan Sriwijaya baru terjadi pada abad ke-5 M. Harus menunggu berabad-abad sebelum kawasan di lautan selatan ini muncul dalam catatan resmi mereka.
Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa 2: Jaringan Asia menyebutkan hubungan wilayah laut selatan dengan Tiongkok menjadi lebih jelas sejak abad ke-3 SM dengan terbentuknya kekaisaran Tiongkok dan dikirimkannya ekspedisi-ekspedisi Kaisar Qin, Shi Huangdi, ke arah Kanton.
Setelah kekaisaran pertama itu hancur, kerajaan-kerajaan di selatan mulai bermunculan pada abad ke-3. Catatan yang pasti mengenai Asia Tenggara pun mulai ditulis dalam teks-teks mereka. “Pada abad ke-3 terjalinlah hubungan dengan negeri-negeri Indocina, termasuk Funan,” jelas Lombard.
Baca juga: Membantah Sriwijaya Fiktif
Sejarawan Inggris, Oliver William Wolters, dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII, berpendapat bahwa pembukaan pelabuhan Tiongkok berdampak pada masuknya dan menetapnya pedagang asing di wilayah Asia Tenggara. Ramainya pedagang di pasar laut Asia Tenggara menanggapi faktor-faktor politik di ujung barat dan timur dari rute maritim internasional.
Menanggapi itu, Kenneth R. Hall, sejarawan Ball State University, yang banyak meneliti sejarah dan budaya Asia Selatan dan Tenggara sebelum abad ke-15, menyebut uraian Wolters itu membuat seolah daerah yang berada di antaranya tak cukup punya banyak aksi atas terjadinya keramaian ekonomi di wilayah mereka sendiri.
Dalam “Local and International Trade and Traders in the Straits of Melaka Region: 600-1500” termuat di Journal of the Economic and Social History of the Orient, Hall menyebut pandangan itu mengasumsikan bahwa rute laut tergantung pada pasar di ujung rute, yaitu di Tiongkok, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Artinya, peradaban di kedua ujung rute menawarkan potensi komersial yang cukup untuk mendorong terjadinya perdagangan.
Baca juga: Mencari Sriwijaya di Jambi
Sebaliknya, jika pasar di kedua ujungnya ditutup, maka pedagang internasional tidak punya alasan untuk membuat jalur maritim di sana. Artinya kemunculan pusat perdagangan di Asia Tenggara lebih dikarenakan faktor eksternal.
“Tinjauan ini gagal untuk mengenali lokalisasi dalam pengembangan pasar dan peradaban di kawasan yang tidak terletak di ujung rute, tetapi di sepanjang jalur rute, dan kapasitas lokal untuk menjadi kreatif,” ujar Hall.
Lewat bukti arkeologis diketahui bahwa sejak awal masehi pun Nusantara sudah terhubung dengan perdagangan internasional. Jejaknya berupa sisa-sisa permukiman yang kompleks dari abad ke-3 di atas lahan berawa ditemukan di Situs Air Sugihan, di pantai timur Palembang. Kemungkinan besar penghuninya telah melakukan kontak dengan wilayah luar. Mereka telah berlayar ke Funan.
Agustijanto Indrajaya, ketua tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menjelaskan bahwa di sana ditemukan manik-manik emas, batu, dan kaca, yang mirip dengan temuan di situs Oc-eo, lembah sungai Mekong.
“Situs ini adalah pelabuhan yang masuk wilayah Kerajaan Funan yang berdiri pada awal masehi hingga abad 6,” katanya saat ditemui usai diskusi buku Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya karya O.W. Wolters.
Baca juga: Mencari Sriwijaya di Palembang
Tak hanya berhubungan dengan Funan, di kawasan yang diduga pendahulu Sriwijaya itu, ditemukan banyak tinggalan budaya terkait Tiongkok dan India. Seperti tembikar Arikamedu, manik-manik karnelian India Selatan, dan keramik Tiongkok dari Dinasti Sui (abad 5-6).
“Kita bisa memperkirakan Ko-ying memang di pantai timur. Ternyata dari bukti arkeologisnya ada kesesuaiannya dengan berita Tiongkok abad 3-4,” lanjutnya.
Perkiraannya, situs ini dihuni sampai periode akhir Sriwijaya. Agustijanto melihat permukiman di situs inilah yang dalam catatan Tiongkok disebut Ko-ying dan Kan-t’o-li.
Menurut Wolters, Ko-ying disebut dalam catatan Wan Chen, gubernur Wu untuk wilayah Tan, yang tak jauh dari Nanking sekarang. Sedangkan Kang T’ai, utusan pemerintahan Wu di Funan, menyebutnya dengan Chia-ying. Kendati sebutan Ko-ying belum diketahui asalnya, catatan keduanya memberikan gambaran bahwa Ko-ying adalah kerajaan di Nusantara bagian barat, setidaknya berdekatan dengan Selat Malaka.
Baca juga: Tiga Faktor yang Membuat Sriwijaya Jadi Kerajaan Kuat
Sementara itu, Wolters menyebut Kan-t’o-li sebagai kerajaan dagang yang muncul pada abad ke-5 dan ke-6. Nama ini sering disebut dalam sumber Tiongkok. Ming Shih atau catatan Sejarah Dinasti Ming (abad 14) menyebut Kan-t’o-li sebagai nama lama Sriwijaya.
“Kan-t’o-li pada abad 5-6 sudah kirim duta ke Tiongkok, menjadi besar masuk ke masa Sriwijaya, makanya disebut itu pendahulu Sriwijaya,” kata Agustijanto.
Kesempatan Sriwijaya makin terbuka ketika Funan runtuh akibat serangan kerajaan di Kamboja pada abad ke-7. Selama lima abad sebelumnya, negeri itu adalah penguasa unggul atas laut-laut selatan. Sementara yang menjatuhkannya, kata George Cœdès, sejarawan Prancis, dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, bukanlah kerajaan berbasis kelautan. Rakyatnya sudah bisa hidup makmur dengan hasil pertanian.
Maka, kejatuhan Funan pun memberikan kebebasan dan kesempatan bagi pelayaran dan perdagangan di sepanjang perairan Asia Tenggara. Kesempatan ini kemudian digunakanan Sriwijaya untuk menggantikan peran Funan. Hall menyebut selanjutnya perkembangan peradaban di Asia Tenggara dan pasar mereka makin menawarkan alternatif yang menarik bagi pedagang-pedagang asing.
Ketersediaan Produk
Selain sebagai persinggahan pedagang internasional, Wolters berpendapat kalau wilayah Sumatra berperan penting menyediakan berbagai barang penggati. Barang ini muncul untuk menggantikan barang asli yang lebih mahal.
Misalnya getah gaharu, yang mungkin berasal dari Sumatra Utara, dijadikan pengganti dupa. Menurut Wolter, perdagangan dupa melalui laut berlangsung pada abad ke-3 hingga puncaknya pada masa Dinasti Sung, ketika dupa diimpor secara besar-besaran. Maka munculah kesempatan untuk mengganti dupa dengan getah gaharu yang lebih murah harganya.
Ada lagi getah kemenyan yang dianggap sebagai pengganti mur di Tiongkok Selatan. Pada sekira abad ke-5 kemenyan Nusantara bagian barat umumnya dinamakan damar atau getah kemenyan. Kemenyan dijadikan pengganti bahan obat pengasapan.
Baca juga: I-Tsing Mencatat Letak Ibu Kota Sriwijaya
Pohon-pohon yang menghasilkan kemenyan dengan jumlah yang besar hanya dijumpai di wilayah-wilayah Asia Tenggara dan Bolivia. Di Indonesia, terdapat jenis yang menghasilkan getah terbaik, yaitu jenis Styrax sumatrana. Jenis ini tumbuh terutama di pedalaman Tapanuli.
“Latar belakang perkembangan ini adalah zaman permulaan perdagangan Tiongkok-Indonesia pada abad ke-5, yaitu ketika perdagangan dupa mendorong terjadi perdagangan getah gaharu sebagai pengganti,” jelas Wolters.
Baca juga: Tujuan Perjalanan I-Tsing, Biksu dari Tiongkok
Di sisi lain, Sriwijaya juga mengelola jaringan pasar di pedalaman. Pelabuhan di Selat Malaka yang telah dikuasai Sriwijaya menerima pasokan produk asli dari pedalaman. Berkat itu, pedagang internasional bisa memperoleh produk lokal. Sebagai gantinya mereka meninggalkan komoditas perdagangan mereka sendiri, misalnya tekstil dan keramik. Sriwijaya kemudian menyalurkan permintaan daerah akan komoditas impor itu.
Komoditas impor yang biasa diminta daerah pedalaman misalnya besi. Menurut Hall sebagian besar wilayah pedalaman memiliki pasokan besi yang tak memadai. Ada pula tekstil, terutama kapas India yang diproduksi di wilayah Gujarat, India Barat dan di pusat tenun di pantai tenggara India. Lalu ada pula permintaan keramik Cina. Pada masa perkembangan Islam, permintaan batu nisan yang diimpor dari Gujarat juga meningkat.
“Pasar Asia Tenggara cukup penting sehingga tekstil India diproduksi dengan spesifikasi Asia Tenggara, misalnya potongan panjang kain ritual produksi penenun Gujarat dengan ukuran dan desain khusus masyarakat Toraja,” jelas Hall.
Baca juga: Pendahulu Sriwijaya
Lengkapnya komoditas dagang di pasar internasional Sriwijaya ini dicatat oleh sumber-sumber Tiongkok. Misalnya dalam catatan Zhao Rugua (Chu Ju-kua) dari abad ke-13. Disebutkan bahwa di Sriwijaya dapat ditemukan barang-barang seperti kayu gaharu, cengkeh, cendana, mutiara, kemenyan, air mawar, gading gajah, barang-barang dari katun, pisau, pedang, porselen, brokat sutra, kancing sutra, kasa sutra, gula, besi, beras, lengkuas kering, samsu dan kapur barus.
Barang-barang itu biasanya dibarter dalam emas atau perak dengan harga yang tetap. “Sebagai contoh, satu tong samsu sama dengan satu tael perak, sepuluh tong sama dengan satu tael emas,” jelas Hall.
Berdirinya pusat perdagangan di wilayah perairan Sriwijaya menawarkan kepraktisan. Di sini bisa ditemukan berbagai komoditas paling diminati dari manapun. Makin tersohorlah Sriwijaya.