Masuk Daftar
My Getplus

Senja di Atas Bukit Kapur

Diduga bangunan pertapaan pada masa lalu, Candi Ijo memiliki banyak keunikan.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 13 Nov 2020
Peserta Gerakan Siap Darling (Siap Sadar Lingkungan) atau Darling Squad di depan kompleks Candi Ijo. (Dok. Bakti Lingkungan Djarum Foundation).

MATAHARI sudah condong ke barat. Beberapa menit lagi senja tiba. Muda mudi telah bersiap dengan lensa kameranya. Lalu membidik siluet empat bangunan candi diterpa semburat jingga langit senja. Begitu mempesona dan memanjakan mata.

Berdiri pada ketinggian 425 m di atas permukaan laut, kawasan Candi Ijo memang menawarkan panoroma yang indah. Pemandangan sawah. Barisan pegunungan kapur di kejauhan. Langit biru yang luas.

Candi Ijo, kompleks percandian bercorak Hindu, berada di Dukuh Groyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Akses menuju candi ini tak mudah-mudah amat. Cukup curam. Tapi jangan khawatir. Jalannya sudah mulus beraspal. Lahan parkir juga sudah tersedia. Bahkan sudah ada beberapa tempat ngopi di dekat pintu masuk Candi Ijo.

Advertising
Advertising

Candi ini dinamakan “Ijo” karena berada di atas bukit yang disebut Gumuk Ijo. Puncak Gumuk Ijo berada seratus meter di belakang candi dan jauh lebih tinggi sehingga puncaknya terlihat jelas di belakang candi. Sebuah tempat yang tepat untuk menikmati Senja.

Semakin petang angin semakin kencang. Senja mulai menghilang. Muda mudi pun kembali pulang. Di atas bukit kapur itu, kompleks Candi Ijo kembali sunyi.

Bukan Poros Alam Semesta

Berdasarkan data prasasti yang ditemukan, para ahli memperkirakan Candi Ijo didirikan tahun 850 hingga 900. Entah siapa inisiator pembangunan kompleks bangunan suci ini.

Dalam jangka waktu itu di sebuah negeri bernama Mataram telah terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan, dari Rakai Pikatan ke Rakai Kayuwangi, lalu Dyah Tagwas, Rakai Panumwangan, Rakai Gurunwangi, Rakai Limus Dyah Dewendra, Rakai Watuhumalang, hingga Rakai Watukara Dyah Balitung.

Keberadaan candi di atas bukit kapur dan jauh dari sungai juga terbilang kurang populer kala itu. Mundardjito, arkeolog Universitas Indonesia, dalam disertasinya berjudul “Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa Hindu-Budha di Daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi-Ruang Skala Makro”, menyebut kebanyakan candi di wilayah Yogyakarta berdiri di daerah yang datar dan landai. Di daerah-daerah semacam itu keleluasaan orang untuk bergerak mudah diperoleh dibanding daerah-daerah yang memiliki lereng miring, agak curam, curam, dan sangat curam.

Baca juga: Mencari Candi Pemujaan Ken Angrok

Candi Ijo bersama Situs Ratu Boko, Candi Barong, dan Candi Miri menempati wilayah yang disebut Batur Agung. Wilayah ini termasuk dalam kawasan purbakala Siva Plateu yang merupakan bagian dari rangkaian pegunungan kapur Gunung Kidul. Sementara di dataran rendah, tak jauh dari aliran Kali Opak yang subur, ada Kompleks Candi Prambanan, Sewu, Bubrah, Lumbung, Plaosan, Sojiwan, dan Kalasan.

Kata Mundarjito, makin tinggi kedudukan tempat makin sedikit terdapat situs. Sebaliknya,makin rendah ketinggiannya makin banyak terdapat situs. Besar kemungkinan hal itu berkaitan erat dengan jumlah keragaman vegetasi. Sejak dulu orang cenderung memilih kawasan dataran rendah yang memiliki jenis tanaman lebih bervariasi.

“Daerah-daerah semacam itu potensial untuk bermukim dan bercocok tanam dengan baik seperti juga terjadi pada masa sekarang,” catatnya.

Veronique Myriam Yvonne Degroot, arkeolog dari lembaga penelitian Prancis Ecole Francaise d'Extreme-Orient (EFEO), berpendapat serupa. Dalam disertasinya di Universitas Leiden berjudul “Candi, Space, and Landscape: a Study on the Distribution, Orientation, and Spatial Organization of Central Javanese Temple Remains”, Degroot menyebut lokasi Candi Ijo yang jauh dari dataran subur membedakannya dari banyak peninggalan candi di Jawa Tengah lainnya.

Baca juga: Menjemput Berkah dari Situs Percandian Muarajambi

Di sisi lain, keberadaan Candi Ijo di punggung bukit menyampaikan kesan yang berbeda dari candi-candi di puncak bukit. Candi Ijo bukanlah puncak Gunung Meru, gunung suci dalam kosmologi Hindu dan dianggap sebagai pusat alam semesta. Gunung ini merupakan tempat bersemayam para dewa.

Sama seperti Ratu Boko, Dieng atau Gedong Songo, kata Degroot, “ada kemungkinan tempat ini mungkin merupakan tempat ziarah atau situs yang didedikasikan untuk praktik pertapaan.”

Tata ruang Candi Ijo pun sama sekali berbeda. Kalau kata arkeolog Edi Sedyawati dkk dalam Candi Indonesia: Seri Jawa pola dan tata letak kompleks Candi Ijo mengingatkan pada pemujaan tradisi megalitik, jauh sebelum masuknya pengaruh India. Dibanding Candi Prambanan dengan tata letak konsentris, Candi Ijo tersusun pada 11 halaman berbentuk teras berundak dari barat ke timur. Di dalamnya ada 17 struktur bangunan.

Baca juga: Romansa dalam Relief Candi

Teras paling suci sekaligus paling tinggi berada paling timur. Di sini terdapat empat candi yang biasa menjadi tempat wisatawan berfoto. Satu candi yang paling besar disebut candi induk. Napas Hindu terlihat pada keberadaan arca Agastya, Ganesa, dan Durga di dalam relung dindingnya. Sementara kalau masuk ke dalam bilik, terdapat sepasang lingga-yoni yang menjadi lambang Dewa Siwa dan Dewi Parwati.

Di hadapan candi induk, berjajar tiga candi perwara yang berukuran lebih kecil dan diduga dibangun untuk memuja Trimurti: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Candi perwara yang berada di tengah melindungi arca lembu Nandini, kendaraan Dewa Siwa.

Berdasarkan peninggalan-peninggalannya, Edi Sedyawati dkk memastikan bahwa kompleks Candi Ijo merupakan bangunan suci untuk pemujaan yang berlatar agama Hindu.

Penanaman ribuan pohon di area Candi Ijo. (Dok. Bakti Lingkungan Djarum Foundation).

Gerakan Candi Darling

Dari kejauhan, Candi Ijo dikelilingi pepohonan hijau. Tapi begitu memasuki areal kompleks candi, yang terlihat bangunan candi berdiri di tanah yang gersang. Apalagi jika musim kemarau. Hanya sedikit pepohonan rindang tumbuh di area ini, yang dimanfaatkan pengunjung untuk berteduh dan beristirahat.

Candi Ijo butuh penghijauan. Namun pemilihan tanamannya pun harus tepat. Menurut Bernadus Punta Patria Saksono dalam tugas akhirnya di Universitas Gadjah Mada berjudul “Komposisi Jenis Tingkat Tiang dan Pohon Penyusun Hutan Rakyat di Sekitar Kawasan Candi Ijo Yogyakarta”, pemilihan jenis tanaman harus memperhatikan jenis perakarannya agar tidak merusak situs tersebut. Tanaman hias yang punya nilai estetika bisa dipilih untuk memperindah sekaligus meningkatkan daya tarik dari candi tersebut.

Baca juga: Siksa Neraka dalam Relief Candi Jago

“Adapun tanaman penghias yang dapat ditanam dengan kondisi topografi miring serta untuk mempertahankan tapak agar tidak tererosi maka diberikan tanaman yang mampu menahan dan memperkokoh tanah. Tanaman tersebut dapat berupa angsana, flamboyan, bungur, johar, kupu-kupu, sikat botol, dan asoka,” catat Bernadus.

Seribu tanaman perdu dan semak berbunga pun telah ditanam tahun lalu untuk mempercantik kawasan Candi Ijo. Di antaranya soka, ruellia, dan melati. Penanaman dilakukan melalui Gerakan Siap Darling (Siap Sadar Lingkungan) atas inisiasi Bakti Lingkungan Djarum Foundation dengan menggandeng ratusan mahasiswa dari berbagai universitas di wilayah Yogyakarta. 

“Selain akan mempercantik wilayah Situs Ratu Boko dan Candi Ijo, gerakan ini diharapkan dapat mendorong generasi muda untuk semakin mencintai dan mempelajari warisan sejarah yang ada di Indonesia,” ungkap Tri Hartini, ketua unit kerja situs Ratu Boko dan Candi Ijo Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY, yang ikut mengapresiasi kegiatan ini.

TAG

candi darling siap darling darling squad bakti lingkungan djarum foundation

ARTIKEL TERKAIT

Runtuhnya Kesultanan Banten Cerita Dua Arca Ganesha di Pameran Repatriasi Mengungkap Lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah Seputar Prasasti Pucangan Liangan Bukan Permukiman Gersang Satu Rumpun Bahasa Susunan Pemerintahan VOC Cerita di Balik Repatriasi Arca Brahma Pulangnya Arca Ganesha dari Lereng Semeru Jalan Panjang Arca Bhairawa dan Arca Nandi Pulang ke Indonesia