Masuk Daftar
My Getplus

Siksa Neraka dalam Relief Candi Jago

Bukan cuma dalam relief Karmawibhangga di Candi Borobudur, siksa neraka juga muncul dalam relief candi pendharmaan raja Singhasari.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 09 Jan 2019
Gambaran neraka dalam relief Candi Jago tentang siksaan bagi para pendosa direbus dalam periuk. (Risa Herdahita Putri/Historia).

Yaksa Kunajarakarna melakukan meditasi Buddha di Gunung Semeru agar dapat dibebaskan dari watak sebagai setan dalam inkarnasinya. Setelah diizinkan menghadap Buddha, dia mengajukan permohonan agar diberikan pelajaran mengenai dharma. Dia berharap diberi penerangan mengenai berbagai nasib yang dialami makhluk hidup.

Sang Buddha pun memuji keprihatinannya. Dia kemudian memerintahkan Kunjarakarna agar mengunjungi daerah para orang mati, yang menjadi daerah kekuasaan Dewa Yama. Kunjarakarna mematuhi perintah itu.

Di persimpangan, dia berjumpa raksasa Kalagupta dan Niskala. Keduanya tengah menunjukkan jalan kepada arwah-arwah yang lewat. Entah ditunjukkan ke surga maupun neraka, itu tergantung perbuatan para arwah di masa lampau.

Advertising
Advertising

Salah satunya jalan selatan yang menuju “daerah besi”. Jalur itu berisi pohon-pohon pedang, sebuah gunung yang terbuat dari besi yang menganga dan menutup diri, burung-burung berekor pisau-pisau belati dan rerumputan dengan paku-paku sebagai dedaunan. Di sana, dia menyaksikan, bagaimana arwah orang mati disiksa oleh para pembantu Yama, para kingkara, dalam aneka bentuk yang mengerikan.

Kunjarakarna sangat terharu dengan apa yang dilihatnya. Dia pun berterima kasih kepada Dewa Yama yang telah memberinya kesempatan untuk melihat nasib bagi seorang pendosa.

Begitulah Kunjarakarna menjalani pertobatannya agar lepas dari wujudnya sebagai raksasa. Kisah ini muncul dalam Kakawin Kunjarakarna, teks religius dalam bentuk lontar. Versi kakawin ini merupakan bagian dari lontar yang ditemukan di Lombok, yang juga memuat teks Nagarakrtagama.

Selain dalam versi kakawin, kisah Kunjarakarna juga ditemukan pada dinding relief Candi Jago di Malang, atau yang dalam Nagarakrtagama disebut dengan Jajaghu. Candi Jago yang merupakan candi pendharmaan bagi Raja Singhasari, Wisnuwardhana (1248-1268) itu sekaligus menjadi satu-satunya candi yang menampilkan kisah ini.

Kendati begitu, menurut pakar sastra Jawa, P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan, agaknya belum bisa disimpulkan apakah kisah yang ada di dinding candi dari abad ke-13 itu bersumber dari Kakawin Kunjarakarna. Dalam relief, cerita ini ditampilkan singkat. Lebih singkat dari relief cerita lainnya di candi itu, misalnya Partayajna. Kata Zoetmulder, tak ada detil-detil yang mirip dengan teks dalam kakawin.

Kesamaannya, relief ini cukup banyak menggambarkan suasana di neraka. Misalnya terdapat penggambaran periuk berbentuk lembu dengan kobaran api di bawahnya. Di dalam tempat pembakaran itu terdapat orang-orang yang direbus.

“Atas pertanyaannya (Kunjarakarna, red.), dia mendapat jawaban bahwa itu (periuk, red.) adalah untuk seorang pedosa besar yang jiwanya akan direbus di dalamnya selama 100.000 tahun,” tulis Zoetmulder berdasarkan Kakawin Kunjarakarna.

Baca juga: Melihat surga dan neraka melalui komik

Kemudian, terdapat adegan yang memunculkan tokoh berwajah raksasa (Dewa Yama) dalam posisi dan tangan berkacak pinggang. Sebelah tangan lainnya menunjuk ke depan seolah memberi perintah. Di depannya seorang manusia tengah merangkak ke arah tempat penyiksaan berbentuk lembu tadi.

Lalu ada gambaran sebuah jembatan yang mirip jungkat jungkit. Para arwah harus melewati itu dengan hati-hati atau bisa tergelincir dan masuk ke dalam kobaran api di bawahnya. Relief itu kemudian diikuti adegan arwah-arwah yang berjalan berbaris dalam bentuk manusia berkepala aneka binatang dan setan.  

Penggambaran tentang neraka juga sebelumnya sudah muncul di kaki Candi Borobudur, candi Buddha dari abad ke-9 M. Suasana neraka itu ada dalam relief kisah Karmawibhangga.

Baca juga: Surga-neraka di kaki Candi Borobudur

Mirip dengan di Candi Jago, dalam relief Karmawibhangga pun salah satunya mencitrakan hukuman bagi manusia yang jahat, yaitu direbus dalam periuk besar di atas api yang membara. Arkeolog Universitas Indonesia, Hariani Santiko dalam Adegan dan Ajaran Hukum Karma pada Relief Karmawibhangga menjelaskan menurut Karmawibhangga, perbuatan manusia juga akan berakibat pada bentuk kelahirannya kembali.

“Seseorang bahkan bisa dilahirkan menjadi dewa, binatang, hantu kelaparan, asura,” catatnya.

Misalnya, orang yang suka bergunjing atau memukul orang lain akan dilahirkan kembali sebagai binatang. Mereka yang merusak kuil, pemarah, pembohong, dan durhaka kepada orang tua terlahir dengan buruk rupa.

Menariknya, kedua kisah tentang neraka itu bisa jadi muncul dari ekspresi lokal. Zoetmulder berpendapat, Kakawin Kunjarakarna asalnya dari masa Majapahit. Pengarangnya menulis berdasarkan sumber teks prosa lain. Dia bukan pula dari lingkungan keraton, melainkan seseorang dari dusun.

“Dia ingin mempersembahkan karyanya sebagai hormat baktinya kepada yang memberikan bimbingan. Saya mempunyai kesan yang dimaksud bukan sang raja atau bangsawan, melainkan guru rohani,” tulis Zoetmulder.

Begitu pula dengan relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. Arkeolog UGM, Djaliati Sri Nugrahani, dalam Adegan dan Ajaran Hukum Karma Pada Relief Karmawibhangga menulis kendati relief itu bersumber dari salah satu kitab suci Buddha Mahayana, yaitu Maha Karmawibhangga, kemungkinan ceritanya telah diintepretasi ulang.

“Sehingga menghasilkan gambaran yang berbeda dari kitab aslinya. Pantas diasumsikan Kitab Maha Karmawibhangga telah mengalami proses pelokalan,” tulisnya.

TAG

Candi

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Repatriasi Arca Brahma Jalan Panjang Arca Bhairawa dan Arca Nandi Pulang ke Indonesia Anusapati dan Candi Kidal Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Di Balik Arca Prajnaparamita, Nandi dan Bhairawa Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari Empat Arca Warisan Singhasari Akhirnya Tiba di Tanah Air Candi Singhasari dalam Catatan Thomas Stamford Raffles Perjalanan Arca Candi Singhasari Kembali ke Indonesia Menemukan Kembali Peradaban yang Hilang dengan Lidar