Selama puluhan tahun, orang mengenal situs Kompleks Percandian Muarajambi sebagai tempat wisata yang bertema religi. Banyak catatan sejarah menunjukan bahwa kompleks ini berperan penting dalam penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara.
Muarajambi memiliki beberapa candi. Beberapa di antaranya merupakan temuan seorang Perwira Angkatan Laut bernama S.C Crooke pada 1820. Penasaran dengan candi-candi tersebut, Crooke mencoba menelitinya. Kemudian arkeolog R. Soekmono melanjutkan penelitian tentang situs Muarajambi pada 1954. Arkeolog yang juga meneliti candi Borobudur ini mengunjungi Candi Gumpung, Candi Tinggi, dan Astano yang masih berbentuk gundukan tanah.
Untuk kepentingan penelitian lebih lanjut, kawasan Muarajambi baru dibersihkan dan dipugar pada 1976. Dari sini mulai banyak penelitian arkeologi tentang situs ini dan menguak sejumlah hal. Tapi lebih banyak lagi belum terungkap dari situs ini. Sebab masih banyak pepohonan yang tumbuh di sekitarnya. Pepohonan itu tak bisa dibersihkan sembarangan. Karena diduga ada struktur bangunan di antara rimbunan pohon itu. Akarnya bisa jadi sudah terikat dengan struktur bangunan itu.
Setelah puluhan tahun, kini penelitian di wilayah yang pernah didatangi biksu asal Tiongkok I-Tsing pada abad ke-7, kembali menggeliat. Djarum Foundation bekerja sama dengan Historia.ID melakukan terobosan baru untuk menemukan kembali peradaban di kawasan Kompleks Percandian Muarajambi. Menggunakan teknologi Light Distance And Ranging (LIDAR), penelitian ini diharapkan akan mengungkap lebih jauh kawasan Muarajambi.
LIDAR adalah teknologi peraba jarak jauh optik yang mengukur properti cahaya yang tersebar untuk menemukan jarak dan informasi lain dari target yang jauh. Selain itu, LIDAR juga menggunakan metode pulsa laser untuk menentukan jarak ke objek atau permukaan tanah. Teknologi ini kali pertama digunakan pada 1960-an untuk penerbangan. Baru pada dekade 1980-an, LIDAR mulai digunakan untuk sistem pemetaan.
Dengan demikian, LIDAR mampu menembus apa yang berada di balik rimbunan pepohonan tanpa perlu membersihkan pepohonannya. Karena itu, LIDAR diterapkan sebagai alat foto udara untuk menemukan peradaban baru di kawasan Kompleks Percandian Muarajambi.
Selama empat hari, tim gabungan yang terdiri dari teknisi LIDAR, jurnalis, dan arkeolog bekerja keras menyingkap sisa-sisa peradaban lama di Muarajambi. Kehadiran teknologi LIDAR dalam membantu dunia arkeologi Indonesia menjadi angin segar dalam upaya menemukan bukti-bukti peradaban masa lalu di Nusantara.