BANYAK yang percaya Candi Kidal di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur ditemukan oleh Thomas Stanford Raffles (1781-1826) tahun 1817. Padahal, Raffles yang menulis History of Java hanya sebentar menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Jawa. Dalam Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PJP I, misalnya, I.G.N. Anom, Sri Sugiyanti, dan Hadniwati Hasibuan menyebutkan, ketika ditemukan Raffles pada 1817, Candi Kidal diselimuti oleh hutan.
Tanpa harus mengaitkanya dengan Raffles, Candi Kidal tetaplah candi menarik. Candi yang terletak di barat Gunung Bromo ini adalah warisan dari penganut Hindu-Siwa yang dulu berkembang di daerah ini. Di zaman Hindia Belanda, candi ini diteliti B. de Haan, J.F.G. Brumund, A.J. Bernet, dan Raden Soekmono.
Baca juga: Sesaji Sebelum Candi Berdiri
Candi Kidal tergolong dalam gaya seni klasik muda atau gaya Singosari. Bahannya terbuat dari batu yang mudah diperoleh dari sungai-sungai di sekitar Malang. Candi ini terdiri dari tiga bagian: kaki, tubuh, dan atas. Di Candi ini juga terdapat arca Siwa Mahadewa.
“Arca tersebut kemungkinan adalah arca perwujudan Raja Anusapati, Raja Kedua Kerajaan Singosari, karena dalam kitab Negarakartagama pipih 41:1, dikatakan ketika (Anusapati) dipulangkan ke tempat Raja Gunung (Girindrabhawan) arca perwujudannya ditempatkan di Kidal,” catat Edy Sedyawati dkk. dalam Candi Indonesia: Seri Jawa.
Anusapati menjadi raja setelah membunuh ayah tirinya, Ken Angrok. Putra pasangan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung ini doyan sabung ayam.
Baca juga: Menapak Tilas Ken Angrok
Anusapati tutup usia pada 1170 Saka atau 1248 Masehi. Menurut Otto Sukatno dan Untung Mulyono dalam Pararaton: Kerajaan Tumapel (Singhasari) dan Majapahit, Anusapati dibunuh Tohjaya. Anak-anak Anusapati kemudian berontak kepada Tohjaya dan akhirnya berkuasa bersama keturunan Ken Dedes yang punya darah keturunan dari Ken Angrok. Ken Angrok adalah orang yang menurunkan raja-raja di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Seperti umumnya candi, relief-relief cerita era Hindu ditemukan pula pada Candi Kidal. Cerita dalam relief-relief candi ini mengisahkan tentang ibu dan anak.
“Pada kaki candi, di tiga sisinya (utara, timur dan selatan) terdapat relief timbul motif garuda, yang merupakan fragmen dari cerita Garudeya. Apabila kita berjalan mengelilingi candi mengikuti arah jarum jam (pradaksina), berturut-turut terlihat fragmen cerita garuda menggendong ibunya Sang Winata (utara), Garuda membawa air amarta (timur), dan garuda dengan ular naga (selatan),” catat Edy Sedyawati dkk.
Baca juga: Garuda Sebelum Jadi Lambang Negara
Cerita tentang Garudeya masih berkembang di masyarakat jauh setelah kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa bubar. Tentu saja dengan sudut pandangnya berlainan meski sama-sama tentang perjuangan Garuda. Budayawan Jawa Timur yang pernah belajar di pesantren, Emha Ainun Najib, dan juga politisi Sri Bintang Pamungkas tahu cerita tersebut. Sri Bintang Pamungkas mengaku mendapat cerita tersebut dari Budayawan Cokro Wibowo Sumarsono. Ceritanya berkisar tentang dua perempuan. Perempuan yang satu melahirkan tiga ekor ular naga dan perempuan satunya lagi melahirkan seekor burung garuda.
“Atas siasat ibunya, tiga ular naga itu sengaja menjahati si Burung Garuda dengan menyandera sang Ibu Garuda dan menjadikannya budak. Dalam rangka membebaskan Sang Ibu dari perbudakan, burung garuda meminta tolong Hyang Wisnu dari Khayangan; yang kemudian memberinya senjata Tirta Sudi Amarta yang berasal dari Lautan Susu di dalam sebuah Kendi. Dalam pergulatannya, Sang Garuda berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan para ular naga dan membawa Sang Ibu kembali pulang,” catat Sri Bintang Pamungkas dalam Ganti Rezim Ganti Sistem, Pergulatan Menguasai Nusantara.
Tiga ular itu, menurut Sri Bintang, adalah simbol penjajah. Sementara Garuda sebagai pembebasnya. Kemenangan Garuda amat relate dengan kemenangan Indonesia terhadap Belanda yang menjajah berabad-abad lamanya.*