Masuk Daftar
My Getplus

Menggali Peradaban Muarajambi

Film dokumenter yang merekam narasi lintas era dari Peradaban Muarajambi. Mulai dari kisah masa lalu, hubungan antar-manusia, hingga pesan toleransi disisipkan di dalamnya.

Oleh: Martin Sitompul | 18 Sep 2023
Sutradara Nia Dinata (tengah) dalam jumpa pers pemutaran film dokumenter "Unearthing Muarajambi Temples". Foto: Rusli Riyono/Historia.

Tidak banyak orang tahu, situs percandian Muarajambi merupakan situs percandian Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara. Bentang medannya setara dengan 21 kali luas Candi Borobudur atau 3 kali Candi Angkor Wat di Kamboja. Kompleks percandian Muarajambi eksis sebagai pusat pendidikan agama Buddha merentang dari abad ke-7 sampai abad ke-13.  

Itulah sekelumit gambaran yang disajikan dalam film dokumenter Unearthing Muarajambi Temples karya sineas kawakan Indonesia Nia Dinata.

“Sangat disayangkan jika kita tidak mengenal situs Muarajambi, bahkan saya pun tidak pernah tahu tentangnya saat saya masih sekolah dulu,” kata Nia dalam jumpa pers pemutaran film tersebut di Cinepolis Senayan Park, 15 September 2023.

Advertising
Advertising

“Padahal,” sambungnya, “situs ini mencerminkan kemegahan peradaban nenek moyang kita dan pemikiran spiritual mereka.”

Baca juga: Utamakan Nilai Ekonomi, Ancaman Bagi Situs Bersejarah

Ini adalah pemutaran kedua film Unearthing Muarajambi Temples atau yang dialihbahasakan menjadi Muarajambi Bertutur. Sebelumnya, ia telah tayang perdana di Candi Borobudur saat perayaan Hari Waisak Nasional pada Juni 2023 silam. Film dokumenter ini diproduksi Kalyana Shira Foundation berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Riset dan produksi dokumenter ini berlangsung sepanjang tahun 2022.

Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan peradaban Muarajambi adalah bagian dari peradaban yang lebih besar, yaitu Peradaban Batanghari. Ia membentang sepanjang 800 kilometer dari hilir sampai hulu di Dharmasraya. Peninggalan-peninggalan Peradaban Muarajambi sangatlah berharga, dan sepatutnya diangkat ke tengah publik.

“Namun, kami juga ingin melibatkan masyarakat dalam aspek spiritual dan kultural dari peradaban ini, bukan hanya sebatas urusan teknis cagar budaya,” kata Hilmar dalam rilis persnya.

Baca juga: Mengingat Lagi Muarajambi

Banyak hal yang disampaikan dalam film dokumenter berdurasi 93 menit ini. Mulai dari lansekap bangunan candi, jejak arkeologis, hingga tuturan sejarahnya. Di masa kejayaannya, situs percandian Muarajambi menjadi pusat studi agama Buddha atau yang disebut mahavihara. Dari Muarajambi, agama Buddha bertumbuh pesat di Sumatra hingga menyebar ke Nusantara.

Dikisahkan bahwa selama 600 tahun, Muarajambi bahkan diakui sebagai tempat tujuan ribuan biksu dari segala penjuru dunia untuk belajar agama Buddha. Bukti sejarahnya berasal dari catatan perjalanan I-Tsing, biksu asal Tiongkok yang pernah melawat ke Sumatra pada abad ke-7 dalam perjalanannya ke Nalanda, India. Dia membukukan catatan perjalanan itu dalam kitab Mulasarvativadaesatakarman.

Warga setempat yang sedang membersihkan salah satu candi di Muarajambi. Foto: Film Dokumenter "Unaerthing Muarajambi Temples".

Selain I-Tsing, Atisha Dipankara Sri Jnana, guru Buddha yang berasal dari Kekaisaran Pala, juga berkunjung ke Muara Jambi pada 1013. Atisa bahkan menetap selama 12 tahun untuk berguru kepada Swarnadwipa Dharmakirti, pangeran Kerajaan Sriwijaya sekaligus guru Buddhis paling tersohor masa itu. Dari Muarajambi, Atisha meneruskan dogma yang dipelajarinya ke utara, yaitu ke negeri Tibet. Inilah benang merah mengapa hubungan dan ajaran Buddha di Indonesia dengan Tibet begitu mirip.

Baca juga: Guru Buddha Terkemuka Belajar di Sriwijaya

Daya tarik lain dari dokumenter ini bercerita pula tentang empat orang sahabat masa kecil: Ahock, Borju, Brata, dan Aina. Mereka tumbuh bersama di sekitar Muarajambi; menyaksikan situs ini mulai dari timbunan belukar hingga pemugaran. Ketika dewasa, keempatnya sama-sama merawat dan melestarikan situs percandian Muarajambi dengan jalan hidup masing-masing.  

Selain itu, Nia Dinata juga hendak menyampaikan isu pluralisme dan lingkungan di Muarajambi. Bagaimana penduduk lokal suku Melayu Muslim dapat hidup berdampingan dengan damai bersama para peziarah Buddhis yang berkunjung ke Muarajambi. Di sisi lain, pencemaran lingkungan di Sungai Muarajambi turut mengancam kelestarian situs ini. Tapi, yang paling utama, Nia menekankan pentingnya pesan toleransi dalam film ini.

“Film ini mengangkat berbagai isu, namun yang paling kuat adalah pesan tentang toleransi. Selama proses syuting, saya merasakan bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat desa di situs Buddha ini penuh kedamaian dan penerimaan, yang sekaligus menjadi pengingat bagi masyarakat Indonesia akan indahnya toleransi,” pungkas Nia.

Baca juga: Bukti Toleransi dari Candi

Selain para juru warta, pemutaran film ini turut disaksikan oleh beberapa komunitas Buddha di Indonesia. Film ini, menurut Ketua Umum Wanita Theravada Indonesia (Wandani) Wenny Lo, mengangkat keagungan Candi Muarajambi sebagai warisan luhur dari nenek moyang. Sementara itu, Sujanto Latip, ketua dewan pimpinan pusat Majelis Buddhayana Indonesia, menambahkan, “Ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk menyebarkan kebaikan tentang kearifan sejarah Muarajambi, sebuah pengetahuan yang harus disebarkan.”

Menurut rencana, film ini akan diputar kembali pada 30 September 2023 di Flix Cinema - Mall of Indonesia, Kelapa Gading secara gratis kepada publik. Atau opsi lainnya dapat ditonton di saluran Indonesiana.TV, kanal budaya milik Kemendikbudristek dalam bentuk web series. 

TAG

film muarajambi film dokumenter

ARTIKEL TERKAIT

Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Sisi Lain dan Anomali Alexander Napoleon yang Sarat Dramatisasi Harta Berdarah Indian Osage dalam Killers of the Flower Moon Alkisah Bing Slamet