Masuk Daftar
My Getplus

Bukti Toleransi dari Candi

Tinggalan masa lalu berupa candi mengajarkan hidup toleransi. Sikap intoleran muncul karena ketidakadilan.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 30 Apr 2021
Candi Plaosan (dok. Kemendikbud RI)

Dua bangunan suci kembar yang megah dari masa lalu menyembul di tengah persawahan dan permukiman warga di Dusun Plaosan Lor, Bugisan, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Puncak-puncak stupa menghiasi atapnya. Di sekelilingnya 174 candi yang lebih mungil disusun dalam tiga baris. Sebagian besar sudah runtuh, sebagian lainnya telah dipugar kembali. 

Kompleks Percandian Plaosan Lor itu, menurut Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), adalah wujud toleransi yang telah berakar di tengah masyarakat Nusantara sejak masa silam. Percandian dari era Mataram Kuno abad ke-9 itu didirikan secara bergotong royong. 

“Dibangun oleh maharaja yang beragama Buddha Mahayana, tapi candi-candi kecilnya dibangun oleh raja beragama Hindu,” kata Bambang yang akrab disapa Tomi dalam diskusi daring yang diadakan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional berjudul “Toleransi, Akar Lama Penguat Bangsa”, Kamis, 29 April 2021.

Advertising
Advertising

Baca juga: Toleransi Beragama ala Sunan Kudus

Sikap toleransi bukan hal baru bagi masyarakat Nusantara. Mengingat kawasan Nusantara telah menjadi tempat bertemunya bangsa-bangsa dari segala penjuru dunia.

“Ada India, Tiongkok, lalu sekira abad ke-14 ada Eropa. Kita dari sini melihat yang tadinya dihuni penutur bahasa Austronesia lalu bercampur dengan lainnya, maka masyarakat kita jadi multikultural, bukan hanya multietnis,” kata Tomi.

Akar Toleransi Beragama

Dalam Candi Indonesia Seri Jawa, arkeolog Edi Sedyawati menjelaskan candi-candi di Plaosan Lor dibangun sebagai dharma yang dipersembahkan oleh raja, keluarganya, dan para pejabat tinggi kerajaan sebagai wakaf bangunan suci kebuddhaan.

Pada candi-candi kecil atau perwara terdapat prasasti pendek yang menyebutkan nama para penyumbang atau pemberi wakaf. Di antaranya adalah dharmma sri maharaja, asthupa sri maharaja Rakai Pikatan (Stupa persembahan Rakai Pikatan), anumoda sang kalung warak Pu Daksa (persembahan Sang Kalungwarak Pu Daksa), anumoda sri kahulunnan (persembahan Sri Kahulunnan), dan anumoda sang da pankur pu agam (persembahan Sang Da Pangkur Pu Agam).

Dalam “Laporan Penelitian Candi Sari, Prambanan, Yogyakarta” yang disusun arkeolog Soeroso SP, Titi Surti Nastiti, Bambang Budi Utomo, Richadiana Kartakusuma, dan P.E.J. Ferdinandus pada 1985, dijelaskan sesuai prasasti pendek itu, nama Rakai Pikatan bersama Sri Kahulunan mendirikan candi Buddhis. Sementara di dalam Prasasti Siwagrha (856 M) Rakai Pikatan dihubungkan dengan pembangunan candi untuk pemeluk agama Siwa. 

Baca juga: Raja Mataram Menjaga Keberagaman

Adapun Sri Kahulunan dalam beberapa prasasti dihubungkan dengan pendirian bangunan suci bagi penganut Buddha. Misalnya, Prasasti Tri Tpusan (842 M) menyebut dia meresmikan kamulan bernama Bhumisambhara yang banyak diartikan sebagai Candi Borobudur.

“Sri Kahulunan adalah gelar Pramodawardhani, putri Raja Samaratungga yang beragama Buddha. Dia menikah dengan Rakai Pikatan yang beragama Siwa. Tak heran jika bersama-sama mendirikan suatu bangunan suci,” tulis laporan penelitian itu.

Karenanya menurut Tomi, pada abad ke-9 para pemeluk Buddha dan Hindu hidup damai berdampingan. “Saling membantu dalam pendirian bangunan suci meski keyakinan berbeda,” kata Tomi.

Sekira pada masa yang sama hubungan harmonis antara kedua agama itu nampak pula dalam Arca Awalokiteswara yang ditemukan di Desa Bingin Janggut, Musi Rawas, Sumatra Selatan. Arca ini berasal dari masa Sriwijaya sekira abad ke-8 hingga ke-9. Di bagian punggungnya terpahat sebuah tulisan dalam bahasa Melayu Kuno: “dang acaryya syuta”.

“Ini adalah arca Buddha Mahayana, arca bodhisatva yang dibuat untuk dipersembahkan kepada masyarakat penganut Buddha dari seorang pendeta Hindu,” jelas Tomi. “Dihadiahkan oleh pendeta Hindu bernama Syuta. Dang acaryya adalah gelar pendeta Hindu.”

Baca juga: Toleransi Gender di Masyarakat Sulawesi Selatan

Toleransi antara pemeluk Hindu dan Buddha, menurut Tomi, muncul pula pada pembangunan Candi Jawi di Desa Candi Wates, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. Kakawin Nagarakrtagama menyebut Candi Jawi didirikan Kertanagara, raja terakhir Singhasari. Pengelolaan candi juga dilakukan oleh sang raja. 

Ketika Kertanagara wafat, candi ini dijadikan pendharmaan baginya. Kemudian dia diziarahi oleh Hayam Wuruk, yang tak lain adalah cicitnya, penerus Dinasti Rajasa.

“Di sinilah para penganut agama Siwa-Buddha melakukan ritual,” catatnya sebagaimana diterjemahkan Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama.

Pada Candi Jawi, Tomi menjelaskan, bagian atas tubuh candi melambangkan aliran Buddha, sedangkan bagian bawahnya bernapaskan ajaran Siwa. 

“Di candi inilah terbentuk toleransi di bidang agama, ajaran yang berkembang pada masa Singhasari (ajaran Siwa-Buddha),” jelas Tomi.

Baca juga: Masyarakat Singhasari Pada Masa Kertanagara

Pada masa yang lebih modern toleransi terlihat dari sikap penguasa Kesultanan Tidore terhadap para misionaris Jerman. Pada 5 Februari 1855, Carl Willem Ottow dan Johann Gotteb Geissler, pekabar Injil dari Jerman tiba di Pulau Mansinam, Papua. Mereka singgah terlebih dahulu di Ternate sebelum bertolak ke Papua.

“Di awal tugasnya mengkristenkan Papua, mereka mendapat izin dan bantuan Sultan Tidore. Dari Ternate mereka diantar Sultan Tidore menuju Papua dengan kapal,” jelas Tomi.

Hingga kini orang Papua memperingati Hari Pekabaran Injil setiap 5 Februari. Kedatangan Ottow dan Geissler dirayakan setiap lima tahun sekali dengan arak-arakan replika perahu yang digunakan Sultan Tidore saat mengantar kedua misionaris itu.

Jejak toleransi di Nusantara, kata Tomi, rupanya tak hanya dari sisi agama. Tapi juga dalam lingkup adat dan kebiasaan dari suku bangsa yang berbeda. 

Baca juga: Dua Rute Migrasi Leluhur Nusantara

Soal itu banyak yang bisa dipelajari dari temuan masa prasejarah. Misalnya, temuan di Gua Harimau di daerah hulu Sungai Ogan, Baturaja, Sumatra Selatan. Gua itu dihuni sejak sekira 22.000 tahun lalu hingga awal masehi. 

Para arkeolog menemukan sebanyak 81 individu kerangka manusia dari ras Australomelanesid dan Mongoloid di dalam gua itu. Ras Australomelanesid adalah penghuni awal. Sementara ras Mongoloid penghuni selanjutnya.

“Mungkin kedua ras itu sempat hidup berdampingan,” kata Tomi. “Mereka sudah bergaul antarras.”

Bahaya Intoleransi

Hidup tanpa sikap toleransi amat berbahaya, khususnya di Indonesia. Begitu menurut Franz Magnis-Suseno, guru besar filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. 

“Indonesia adalah negara paling majemuk di dunia, dengan ratusan etnik dan bahasa, perbedaan agama dan kepercayaan. Betapa berhasil Indonesia sampai sekarang dalam hal toleransi,” kata Magnis.

Baca juga: Agama-Agama di Majapahit

Perjalanan masyarakat Nusantara selama 2.000 tahun terakhir membuktikan keberhasilan itu. Bahwa perbedaan dalam agama dan ras tak membuat orang-orang saling membunuh. Namun itu justru memperkuat dan mengembangkan identitas masyarakat Nusantara.

“Saya pernah membaca tulisan orang Amerika, bahwa Indonesia adalah bangsa yang tak masuk akal selama 76 tahun, mantap berdiri tak memberi kesan akan pecah. Bagaimana prestasi ini mungkin?” kata Magnis.

Secara tradisional masyarakat Indonesia begitu terbuka dan toleran. “Orang Indonesia bahkan di pedalaman saja tahu di dekatnya ada orang berbahasa lain, kepercayaan lain, mereka menerima,” kata Magnis.

Baca juga: Tes DNA Buktikan Keragaman Manusia Indonesia

Menurut Magnis, sikap intoleran muncul pada masyarakat karena adanya tekanan yang mereka rasakan. Termasuk perasaan tidak adil dan terdeskriminasi.

“Suatu kelompok jika merasa diperlakukan tidak adil, intoleransi akan tumbuh. Maka penting bagi negara untuk memperhatikan keadilan sosial bagi semua,” tegas Magnis.

Maka, sebagaimana kata I Made Geria, Kepala Puslit Arkenas, “Kita berikhtiar merawat kekayaan alam pikir. Saat ini perlu penguatan warisan leluhur kita, akulturasi, saling menghargai, toleransi. Toleransi itu bukan pilihan tapi keharusan.”

TAG

candi toleransi

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Repatriasi Arca Brahma Jalan Panjang Arca Bhairawa dan Arca Nandi Pulang ke Indonesia Anusapati dan Candi Kidal Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Di Balik Arca Prajnaparamita, Nandi dan Bhairawa Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari Empat Arca Warisan Singhasari Akhirnya Tiba di Tanah Air Candi Singhasari dalam Catatan Thomas Stamford Raffles Perjalanan Arca Candi Singhasari Kembali ke Indonesia Menemukan Kembali Peradaban yang Hilang dengan Lidar