Masuk Daftar
My Getplus

Masyarakat Singhasari Pada Masa Kertanagara

Data prasasti selalu terkait raja-raja. Prasasti-prasasti ini mengungkap keadaan masyarakat Singhasari.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 24 Agt 2019
Ilustrasi kegiatan masyarakat yang berprofesi sebagai perajin keris. Tergambar dalam relief Candi Sukuh di Karanganyar dari abad ke-15. (Wikipedia).

Singhasari mencapai masa jayanya ketika Kertanagara berkuasa. Kendati begitu tak banyak pembahasan mengenai kondisi sosial Singhasari selama 24 tahun masa gemilang itu.

Kertanagara naik takhta pada 1268 menggantikan ayahnya, Wisnuwardhana. Situasi pemerintahan tertulis di berbagai naskah kesusastraan, khususnya akhir masa jabatannya yang sekaligus menjadi ujung nasib Kerajaan Singhasari.

Pemerintahan Kertanagara dipuji dalam Kakawin Nagarakrtagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca pada abad ke-14. Pun disebut dalam Pararaton dari abad ke-15.

Advertising
Advertising

Akhir riwayatnya juga tertulis singkat dalam beberapa catatan Tionghoa. Dinasti Yuan mencatatnya sebagai raja pemberontak yang harus diberi pelajaran.

Baca juga: Alasan Khubilai Khan Menyerang Jawa

Namun, dari karya-karya itu, tak banyak informasi soal kondisi masyarakat. Catatan Sejarah Dinati Yuan sangat singkat membahasnya. “Penduduknya (Jawa, red.) jelek dan aneh. Sifat alami dan ucapan mereka tak bisa dimengerti orang Tionghoa,” sebutnya.

Dalam catatan itu diakui kalau mereka pun tak banyak mengetahui kebiasaan dan hasil produksi di Jawa. Mereka hanya tahu kalau segala sesuatu dari wilayah yang mereka sebut negara barbar di seberang lautan itu, umumnya adalah benda langka yang bernilai tinggi di Tiongkok.

Sementara, dari sumber prasasti, sejarah sosial masyarakat masa itu lebih banyak terungkap. Itu seperti yang dikatakan peneliti EFEO, Arlo Griffiths.

Prasasti yang dimaksud berupa prasasti Jawa kuno, Sanskreta, dan Melayu Kuno. “Kata Krom (N.J. Krom, arkeolog Belanda, red.) totalnya ada 26 prasasti, di antaranya hanya lima yang punya info berguna soal Kertanagara,” kata Arlo ketika membicarakan penelitian terbarunya itu di Institut Français d'Indonésie (IFI) baru-baru ini.

Artinya, kata Arlo, prasasti-prasasti yang dinilai tak berguna oleh Krom itu tak membicarakan Kertanagara. Meskipun dikeluarkan pada masa pemerintahannya. Isinya lebih kepada kondisi sosial dan informasi administratif pada masa itu.

“Itu bukan informasi yang berguna kalau memakai sudut pandang Krom, tapi kenapa semuanya harus tentang raja-raja?” ujar Arlo.

Baca juga: Hiburan Masyarakat Jawa Kuno

Misalnya, sebuah prasasti dari 1203 yang kini dijadikan nisan di situs Makam Panjang, Trowulan. Di sana hanya tertulis informasi soal penanaman pohon beringin.

“Setidaknya bisa dibayangkan kalau dulu ada kegiatan menanam pohon di sana,” kata Arlo.

Lalu dalam prasasti yang ditemukan di Vietnam dari Kerajaan Champa. Menurut Arlo, dari penanggalan candrasengkala yang terbaca, prasasti itu berasal dari 1196 Saka (1274).  Isinya tentang hubungan Kerajaan Singhasari dengan Kerajaan Champa. Adik Kertanagara, Putri Tapasi dinikahkan dengan Raja Jaya Simhawarman III.

“Intinya, Putri Jawa punya koneksi dengan Champa. Jawa dan Champa kan bersekutu. Khususnya terlihat saat kedatangan pasukan Kubilai Khan,” kata Arlo.

Berkat pernikahan politik itu, selain hubungan dagang yang meningkat, Jawa mendapat bantuan ketika pasukan Khubilai Khan datang. Raja Jaya Simhawarman waktu itu menolak armada Mongol transit untuk mengisi perbekalan di pelabuhan Champa pada 1292.

“Bahasa Cham yang dipakai di pesisir juga mirip dengan bahasa Melayu. Saya pikir ini relevan, mungkin memang hubungannya erat. Kebiasaan memakai candrasengkala juga bukan kebiasaan di sana, tapi di Jawa,” kata Arlo.

Baca juga: Persiapan Kertanagara Hadapi Khubilai Khan

Lalu dalam prasasti tembaga, Prasasti Sanga yang lempengannya tak ditemukan lengkap. Prasasti ini juga tak diketahui penanggalannya. Namun dari gaya penulisannya, prasasti ini dibuat pada masa Kertanagara.

Isinya tentang penganugerahan status sima terhadap Desa Sanga. Ada banyak profesi yang termasuk pelayan kerajaan yang terdata di sana. Itu seperti tukang mengawinkan kuda, sais atau pawang gajah, peternak burung puyuh. Mereka ini dilarang memasuki desa setelah desa itu berstatus sima.

Ada pula keterangan pemberian anugerah atau hak-hak yang kini bisa dilakukan oleh penduduk desa. Itu misalnya, mengenakan payung putih, membunyikan bel siang dan malam, memiliki bangku dari pring gading, memakai bros emas.

“Bisa diketahui juga kalau pada masa itu, pangeran boleh membagikan anugerah. Bukan hanya raja,” kata Arlo.

Baca juga: Pejabat yang Bersyahwat Tinggi

Hal yang menarik, kata Arlo, ada di dalam Prasasti Parablyan yang tak bertanggal, tetapi menyebut nama Kertanagara. Di sana disebutkan pendamping spiritual Kertanagara adalah seorang ahli Yayurveda, salah satu bagian dari Kitab Veda, yang berasal dari Sekolah Madhyanditta.

“Kalau kita ke India pada abad ke-13 hampir semua prasastinya menyebutkan adanya sekolah Veda. Itu tak biasa di Indonesia. Tapi dalam prasasti ini, pada masa yang sama, disebut Madhyanditta sebagai sekolah Veda,” kata Arlo. “Mungkin raja meminta Brahmin dari India untuk menjadi pengajar di sekolahnya.”

Kemudian dari prasasti tembaga Patitihan, yang kini menjadi salah satu benda milik kolektor di Hong Kong. Lempengannya tak lengkap, sehingga tak ditemukan angka tahunnya. Namun, gaya tulisannya menunjukkan masa Kertanagara.

Baca juga: Catatan Ma Huan tentang Masyarakat Majapahit

Isinya unik. Bahwa pada masa itu terdapat sekelompok pedagang di Patitihan yang tergabung dalam sebuah asosiasi. Mereka melakukan penerimaan gadai, sehingga raja harus membuat aturan transaksinya. Terutama soal batas waktu, apakah tiga tahun, tiga bulan, ataukah tiga malam, sebelum akhirnya hangus.

Lalu juga ada aturan jika barang yang digadaikan hilang. Misalnya, jika itu emas, maka harus diganti dengan barang yang ditaburi emas, sehingga sama bentuknya. Begitu pula dengan perak, harus dibuat supaya mirip. Sementara jika barang yang digadaikan adalah permata, maka harus diganti barang yang bernilai sama.

Sejauh ini, Arlo melanjutkan, di Indonesia data-data prasasti selalu dikaitkan dengan raja-raja besar. Karenanya banyak data yang belum dikaji mendalam. “Mungkin karena pola pendidikan sejarahnya yang lebih senang membahas pemimpin, raja, dan urusan istana,” kata Arlo.

Menurut Arlo, itu tak jauh dari warisan pendidikan masa kolonial. Hampir 100 persen pendidikan sejarah diturunkan dari cara Belanda. “Saya pikir orang Lamongan (Lamoṅan), misalnya, akan sangat senang jika tahu kalau nama kotanya sudah disebut dalam Prasasti Sanga,” kata Arlo.

TAG

Singhasari Kertanagara

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Repatriasi Arca Brahma Jalan Panjang Arca Bhairawa dan Arca Nandi Pulang ke Indonesia Jejak Kejayaan Raja-raja Jawa Raja-Raja Jawa dalam Lintasan Masa Epos Majapahit Lebih Seru dari Game of Thrones Di Balik Arca Prajnaparamita, Nandi dan Bhairawa Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari Empat Arca Warisan Singhasari Akhirnya Tiba di Tanah Air Candi Singhasari dalam Catatan Thomas Stamford Raffles Perjalanan Arca Candi Singhasari Kembali ke Indonesia