Masuk Daftar
My Getplus

Hiburan Masyarakat Jawa Kuno

Masyarakat Jawa Kuno menghibur diri dengan menonton wayang, tarian, dan pertunjukan lawak.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 07 Jan 2018
Relief Karmawibhangga memperlihatkan para pemusik jalanan yang menerima uang dari penonton seperti pengamen pada umumnya.

DI Jawa, seni pertunjukan jalanan sudah ada sejak abad 9. Kesenian itu dipertontonkan di kerumunan pasar dan di keramaian jalanan. Begitu pula dengan pertunjukan wayang yang semula digelar saat penetapan sima (tanah bebas pajak), kemudian hadir dalam pesta perkawinan rakyat.

Arkeolog Puslit Arkenas Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa menjelaskan, dalam prasasti dikenal juga pertunjukkan keliling. Para pemainnya disebut menmen. Candi Borobudur, melalui reliefnya memperlihatkan suasana bagaimana tarian pinggir jalan dilakukan sebagaimana pengamen jalanan di masa kini. Mereka mendapatkan penghasilan dari para penonton.

Berikut ini keterangan dari prasasti, naskah kesusastraan, dan relief di candi, mengenai hiburan masyarakat Jawa Kuno.

Advertising
Advertising

Sinden

Kata mangidung dijumpai dalam Prasasti Waharu I (873 M). Widu mangidung dapat diartikan sebagai penyanyi perempuan atau pesindhen. Kata widu, dalam Bahasa Indonesia sekarang artinya biduan. Profesi ini termasuk pejabat kerajaan yang disebut watak i jro atau golongan dalam (abdi dalem). Mereka termasuk profesi yang memperoleh gaji dari kraton.

Wayang

Bukti tertua yang menyebut kata dalang (haringgit) adalah Prasasti Kuti (840 M) yang ditemukan di Joho, Sidoarjo. Haringgit merupakan bentuk halus dari kata ringgit. Kata ini sampai sekarang masih ada dalam Bahasa Jawa, yang berarti wayang. Dalam Prasasti Kuti, haringgit dimasukkan ke dalam kelompok wargga i dalem artinya berada di lingkungan istana.

Prasasti Wukajana dari masa Balitung menyebut pertunjukkan lakon Bhimma Kumara, sebuah cerita sempalan dari Mahabharata. Kisahnya tentang Kicaka yang dimabuk asmara terhadap Drupadi. Menurut prasasti itu, sang dalang menampilkan lakon Bhimma Kumara untuk hyang. Sejauh ini Bhima Kumara adalah satu-satunya lakon wayang yang disebutkan dalam prasasti.

Tak hanya wayang kulit. Ada pula wayang orang dan wayang beber. Istilah wayang wwang (wayang orang) muncul pertama kali dalam Prasasti Dhimanasrama dari masa Mpu Sindok. Sementara informasi tentang wayang beber muncul dalam berita Cina, Ying-yai Sheng-lan. Disebutkan adanya pertunjukkan seorang laki-laki yang mempertontonkan gulungan bergambar yang disangga dengan dua batang kayu. Ia berbicara dengan suara keras, menjelaskan kisah dalam gulungan itu kepada penonton. Di atas gulungan itu ada gambar manusia, burung, binatang buas, rajawali, atau serangga.

Tarian

Beberapa prasasti meyebutkan seni tari. Kemungkinan pada masa Jawa Kuno dikenal dua jenis tarian. Manigel adalah tarian yang tidak menggunakan topeng. Tarian yang menggunakan topeng, seperti disebut dalam Prasasti Kuti, istilahnya mangrakat, matapukan, dan manapal. Tarian ini bisa dilakukan oleh orang yang berprofesi sebagai penari maupun masyarakat yang menarikan tarian tertentu.

Dalam naskah Nagarakrtagama disebutkan istilah Juru I angina yang merujuk pada penari perempuan. Ia bertugas menyanyi dan menari, menghibur para petinggi kerajaan.

Dalam Prasasti Paradah (943 M) dan Prasasti Alasantan (939 M) disebutkan adanya tarian yang dilakukan oleh para pejabat. Tarian ini dilakukan dengan mengikuti aturan tertentu. Jenis tarian yang disebut ada tuwung, bungkuk, ganding, dan rawanahasta. Tarian ini merupakan tarian adat yang biasa ditarikan dalam upacara penetapan sima.

Tarian lainnya yang dilakukan untuk hiburan disebutkan juga dalam Prasasti Poh (905 M). Digambarkan adanya tiga perempuan penari keliling. Mereka menari sambil diiringi oleh laki-laki.

“Mungkin sejenis penari thledek,” tulis Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa.

Lawak

Prasasti Poh menyebutkan adanya juru lawak. Selain penabuh gamelan dan penari, mereka pun diundang sebagai saksi dalam upacara penetapan sima. Setidaknya ada dua pelawak, Si Lugundung dari Desa Rasuk dan Si Kulika dari Desa Lunglang. Mereka diberi upah kain 1 yugala dan emas 6 masa.

Paling tidak ada dua jenis lawakan. Marirus adalah lawakan yang disampaikan dengan menggunakan kata-kata. Sedangkan mabanol adalah lawakan yang diekspresikan dengan gerakan.

Musik

Prasasti Waharu I juga mencatat adanya mapadahi. Profesi ini masuk dalam daftar pejabat kerajaan atau watak i jro atau golongan dalam. Mereka adalah abdi dalem yang digaji kraton. Adapun mapadahi berasal dari padahi, artinya kendang. Mapadahi merujuk pada pengendang. Dalam upacara penetapan sima, pengendang ini akan hadir dan menabuh kendang setelah acara pesta makan bersama.

“Setelah mereka selesai makan demikian lama, kemudian jnu skar maju dan sang penabuh kendang menabuh kendang,” tulis arkeolog Universitas Gadjah Mada, Timbul Haryono, “Masyarakat Jawa Kuno dan Lingkungannya pada masa Borobudur”, dalam 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur.

Para penabuh kendang ini ada yang bergabung membentuk kelompok. Terbukti dalam satu baris kalimat Prasasti Mulak (878 M), mengenai tokoh Si Kuwuk yang hadir dalam upacara sima. Ia merupakan pimpinan pengendang.

Akrobat

Pertunjukkan ini bisa dilihat melalui relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. Relief ini memperlihatkan beberapa orang sedang mengadakan pertunjukkan. Salah seorang meletakkan benda panjang dan tipis seperti papan di atas dagunya. Papan itu diberdirikan secara vertikal. Si seniman terlihat seperti berjoget tanpa menjatuhkan papan itu.

Penonton duduk di bawah pohon menyaksikan dengan gembira dan bertepuk tangan. Salah seorang membawa anak yang diangkat agar bisa menonton pertunjukkan dengan lebih jelas.

Seniman Profesional

Di lingkungan istana, ada jabatan Rakryan Demang. Tugasnya memastikan agar sang raja gembira. Dalam teks Nawanatya, yang berisi ajaran kepemimpinan, Rakryan Demang harus menjaga tujuh nada, nyanyian, tarian, selain menjaga aspek keindahan lainnya di istana. Ia pula yang bertugas menyediakan gamelan, terutama saron dan gendang, membuat kakawin, serta mengatur keindahan tarian.

Para seniman pada masa Jawa Kuno, tak hanya profesi di lingkungan istana. Beberapa menjalaninya dengan profesional sebagai mata pencaharian. Prasasti Wanua Tengah III (908 M) menyebut seorang pemimpin kelompok penari topeng dari Desa Hinor yang diberi upah emas 2 kupang. Dua orang penari topeng juga diberi upah emas sedangkan enam orang pemusik masing-masing diberi emas 1 kupang.

Seniman profesional dikenakan pajak. Prasasti Cane (921 M), Prasasti Turun Hyan A (1036 M), Prasasti Patakan yang mungkin dikeluarkan masa Airlangga menyebut profesi awayang atau aringgit sebagai warga kilalan yaitu penduduk yang mempunyai kewajiban membayar pajak.

Pertunjukkan seni tak hanya ketika upacara penetapan sima. Tak jauh beda dengan sekarang, masyarakat yang sedang merayakan pesta pernikahan juga menggelar pertunjukkan seni.

Teks Sumanasantaka melukiskan suasana sebuah pesta pernikahan yang diselingi pertunjukkan wwayang wang. Warga berbondong-bondong menontonnya. Ada yang membawa kekasih dan keluarganya. Mereka menonton sambil menikmati jajanan di tengah keramaian itu.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Diangkat jadi Nabi, Bung Karno tak Sudi Frozen Food Mengubah Kebiasaan Makan Orang Masa Kini Jatuh Bangun Juragan Tembakau Bule Jalan Perjuangan Tak Berujung dalam Perang Kota Dari Penaklukkan Carstensz hingga Serangan VOC ke Kesultanan Gowa Jejak Sejarah Seluncur Es Konservator: Profesi Penjaga dan Perawat Koleksi Sejak Kapan Toilet Dipisah untuk Laki-laki dan Perempuan? Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Setelah Inggris Menjadikan Bekasi Lautan Api