PENDUDUK negara itu tidur sambil duduk. Mereka tak punya tempat tidur atau dipan. Jika makan, mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit. Kalau mau makan, pertama-tama mereka akan mencuci mulut mereka untuk membersihkan sisa pinang. Karena baik pria maupun perempuan, mereka terus menerus mengunyah pinang dengan daun sirih dan limau.
Setelah itu, mereka mencuci tangan dan duduk. Semangkuk penuh nasi mereka ambil. Di atasnya disiram dengan krim atau saus lainnya. Makanan ini dimasukkan ke mulut dengan tangan. Jika haus, mereka meminum air.
“Jika menerima tamu, mereka tidak menawarkan minum tetapi menawarkan pinang,” kata Ma Huan dalam catatannya, Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-pantai Samudra).
Ma Huan merupakan penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho. Sebagai Muslim yang mahir dalam bahasa Arab, Ma Huan dipilih sebagai juru bahasa Cheng Ho dalam tiga kali pelayarannya. Pada 1412, dia menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri.
Baca juga: Adakah peran Cheng Ho dan Cina dalam Islamisasi Nusantara?
Ma Huan mencatat segala sesuatu yang dilihat. Yingya Shenglan, yang terbit pada 1416, berisi catatannya tentang Negara Champa, Jawa, Palembang, Aru, Samudra, Nakur, Litai, Lambri, Liu San (Maldive, Male), Malaka, Bangal, Xi Lan San (Sri Lankan), Bangal kechil (Kulam, Quilon), Ko Chin, Kuli (Kalicut), Adam, Fazhu, Hormus, dan Tian Fang (Mecca).
Yingya Shenglan merupakan satu dari dua sumber penting Tiongkok yang banyak bercerita tentang Majapahit. Karya ini bukan termasuk sejarah resmi kerajaan tapi tulisan pribadi Ma Huan.
Baca juga: Majapahit dalam catatan Ma Huan dan sejarah Dinasti Ming
“Saat mencatat tentang Jawa, dia sangat teliti memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan budaya, kehidupan orang Jawa, termasuk upacara perkawinan, dan sistem penguburannya,” kata Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia.
Dalam catatannya itu, Ma Huan menyaksikan Majapahit, di mana dia berlabuh, sebagai tempat sang raja tinggal. Kediaman raja dikelilingi tembok bata setinggi lebih dari 9 meter. Panjangnya lebih dari 90 meter. Gerbangnya dua lapis dan sangat bersih serta terpelihara.
Rumah-rumah di dalamnya terletak 9-10 meter di atas tanah. Lantainya terbuat dari papan yang ditutupi dengan tikar rotan yang halus atau tikar rumput yang dianyam. Di atasnya orang-orang duduk bersila. Untuk atap, mereka menggunakan papan kayu keras yang dibelah dan dibentuk genting.
Di Majapahit, kata Ma huan, raja tak mengenakan tutup kepala. Kadang kala dia mengenakan hiasan kepala yang dibuat dari dedaunan dan bunga emas.
Tubuh bagian atasnya tidak ditutupi kain. Sementara bagian bawahnya ditutupi dengan satu atau dua kain berbunga-bunga. Untuk mengencangkan sarung itu, digunakan kain tipis atau linen yang dikencangkan di sekitar perut. Kain semacam ini disebut selendang. Raja juga tak mengenakan alas kaki.
Terkadang, raja mengendarai gajah atau duduk di atas kereta yang ditarik sapi. Raja membawa satu atau dua pisau pendek. Senjata ini dicatat Ma Huan sebagai pu-lak. Kata W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, kemungkinan ini merupakan terjemahan kata pribumi untuk badik. Senjata ini lebih kecil dari pedang dan lebih besar dari pisau.
“Sepertinya orang Tionghoa menggunakan nama ini untuk setiap senjata yang mirip. Tentu saja orang Jawa menyebutnya keris,” kata dia.
Baca juga: Catatan pertama kedatangan orang Tionghoa ke Nusantara
Adapun para pria di Majaphit membiarkan rambut mereka tergerai. Sementara para perempuan menyanggulnya.
Mereka mengenakan semacam mantel dan kain yang menutupi bagian bawah tubuh. Para pria membawa pu-lak, yang disisipkan di ikat pinggang mereka. Setiap orang membawa senjata semacam ini, dari anak berusia tiga tahun hingga orang tertua.
Senjata ini memiliki garis tipis dan bunga-bunga keputihan serta dibuat dari baja terbaik. Gagangnya terbuat dari emas, cula badak, atau gading gajah. Mereka dibentuk menjadi wajah manusia atau setan dan dikerjakan dengan sangat teliti.
Para penduduk tinggal dalam rumah yang dialasi jerami. Rumah itu dilengkapi dengan ruang penyimpanan yang terbuat dari batu. Tingginya sekira 1 m dan digunakan untuk menyimpan barang-barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan inilah mereka biasanya duduk.
Baca juga: Begini rumah-rumah di Majapahit
Dalam hal kesopanan, para pria dan perempuan di Majapahit sangat menghargai kepala mereka. Jika seseorang menyentuhnya, atau mereka terlibat pertikaian dalam berdagang atau mereka mabuk dan saling menghina, mereka akan mengeluarkan senjata dan mulai menusuk.
“Jadi permasalahan ini kan diselesaikan dengan kekerasan,” catat Ma Huan.