Masuk Daftar
My Getplus

Mengingat Lagi Muarajambi

Muarajambi pernah jadi tempat belajar dan bermukim para biksu. Tiba-tiba ditinggalkan dan terlupakan. Apa penyebabnya?

Oleh: Risa Herdahita Putri | 20 Okt 2020
Pemandangan Kompleks Candi Kedaton dari atas yang termasuk ke dalam Kompleks Percandian Muarajambi. (Robby Kurniawan/Shutterstock).

Selama lima abad Kompleks Percandian Muarjambi ramai oleh pendatang. Para biksu dari berbagai tempat datang untuk belajar ajaran Buddha. Tiba-tiba ditinggalkan dan terlupakan.

Tak berpenghuni selama ratusan tahun, situs Muarajambi di Muaro Jambi, Jambi itu baru ditemukan pada 1823 oleh S.C. Crooke. Ia adalah Perwira Angkatan Laut Inggris yang bertugas mengumpulkan data di wilayah Jambi. Ia kemudian melaporkan reruntuhan bangunan kuno dari bata dan arca-arca batu di Desa Muaro Jambi.

Menurut Asyhadi Mufsi Sadzali, ketua Program Studi Arkeologi Universitas Jambi, baru pada 1970-an masyarakat kembali bermukim di sekitar percandian itu.

Advertising
Advertising

"Perkampungan itu malah ada di seberangnya, di sisi lain Sungai Batang Hari. Artinya, wilayah ini yang punya sebaran candi begitu banyak itu sempat ditinggalkan ratusan tahun," kata Asyhadi dalam dialog sejarah "Jejak Sriwijaya di Bumi Jambi" live di kanal Youtube dan Facebook Historia.id, Selasa, 20 Oktober 2020.

Baca juga: Mencari Sriwijaya di Jambi

Makanya, kata Asyhadi, jurang pemisah antara masyarakat hari ini dengan apa yang mereka lihat di Muarajambi lebih karena wilayah itu sudah terlalu lama ditinggalkan. "Bukan persoalan agama, tapi ada missing link," kata Asyhadi.

Oleh karena itu, Asyhadi menyebut hanya 40 persen masyarakat di sekitar situs yang peduli dengan bangunan-bangunan kuno itu. Ini terlihat dari bagaimana mereka ikut menjaga kebersihan dan keikutsertaan dalam pengelolaan pariwisata dan pelestarian.

"Ini bukan semata-mata kesalahan masyarakat," kata Asyhadi. "Rasa memilikinya saja yang belum tumbuh."

Muarajambi Ramai Dikunjungi

Retno Purwanti, peneliti Balai Arkeologi Sumatra Selatan, mengatakan berdasarkan analisis penanggalan karbon yang sampelnya diambil dari Candi Kedaton dan sebelah timur Kolam Telago Rajo, percandian ini digunakan sejak abad ke-9-10. Penanggalan ini sesuai dengan banyaknya temuan keramik Tiongkok dari masa Dinasti Tang dan Sung.

Khusus di Candi Kedaton, ada juga tulisan pendek yang terbaca pada permukaan bata. Secara paleografi, gaya tulisan ini pun berasal dari abad ke-9-10. "Inskripsi yang ditemukan di Candi Gedong, Tinggi, Kembar Batu juga dari abad ke-9-10. Tapi memang ada inskripsi di atas lembaran emas yang ditemukan di sumuran Candi Gumpung, paleografinya abad 8-9," kata Retno.

Baca juga: Mengunjungi Tempat Belajar I-Tsing

Kendati demikian, Muarajambi kerap dihubungkan dengan Mahavihara yang didatangi I-Tsing sewaktu singgah ke Mo-lo-yeu pada abad ke-7. Dalam catatannya, dia menyebut bahwa ribuan biksu tinggal dan belajar ajaran Buddha di Mahavihara.

Di dalam candi-candi Muarajambi, khususnya Candi Kedaton, terdapat halaman yang dibagi ke dalam ruang-ruang. Terdapat pula sumur dan berbagai temuan penyerta, seperti kuali dan pecahan-pecahan keramik. "Saya simpulkan Kedaton ini sebagai sebuah vihara, bukan hanya tempat beribadah tapi juga belajar," kata Retno.

Baca juga: Tempat Pendidikan Buddha di Nusantara

Namun, menurut Retno, ada sebagian yang tak sepaham dengan mereka yang mengidentifikasi Mo-lo-yeu sebagai Melayu di Jambi. Mereka menghubungkannya dengan Semenanjung Melayu di Kedah.

"Apakah Melayu di situ sama dengan di Jambi? Ini sama dengan perdebatan di mana letak pusat Sriwijaya, di Jambi atau di Palembang. Nah, ini harus beradu bukti," kata Retno.

Sementara itu, I-Tsing pun tak spesifik menyebut nama tempatnya belajar ketika singgah di Mo-lo-yeu. Tapi yang jelas, pada kali kedua ke Melayu (685), biksu asal Tiongkok ini menyebut wilayah itu sudah menjadi bagian dari Sriwijaya.

"Sriwijaya itu seperti negara, ibu kotanya misalnya di Jakarta, pusat pendidikan bisa di Yogyakarta," kata Retno.

Baca juga: Guru Buddha Terkemuka Belajar di Sriwijaya

Selain tempat beribadah dan belajar, temuan keramik Tiongkok di Muarajambi menunjukkan keramaian di sana kemungkinan berhubungan dengan komunitas pedagang.

"Mahavihara di India pun lebih banyak yang didirikan oleh para saudagar dibandingkan oleh raja. Kalau di Muarajambi katakanlah lebih ramai, mungkin para pedagang lebih menguntungkan di sana," kata Retno.

Baca juga: Serbuan Cola ke Sriwijaya

Penemuan keramik Tiongkok juga menjadi petunjuk penurunan keramaian di Muarajambi. Keramik yang paling sedikit ditemukan berasal dari masa Dinasti Ming. Artinya, kemungkinan sekira abad ke-14, Muarajambi mulai ditinggalkan.

"Muarjambi yang dulunya ramai tiba-tiba ditinggalkan oleh pendukung budayanya. Itu dilihat dari kepadatan temuan keramik dari Dinasti Sung, dari Dinasti Yuan mulai tipis, Ming jarang ditemukan," kata Asyhadi.

Namun, menurut Asyhadi, Muarajambi ditinggalkan kemungkinan besar karena ikut hancur akibat serangan Kerajaan Cola ke Sumatra. Raja Rajendracola dari India Selatan mengirim armada laut untuk menginvasi Semenanjung Malaka dan Sumatra.

"Rajendracola pernah menyerang Sumatra," kata Asyhadi. "Mungkin salah satunya yang dihancurkan Muarajambi."

TAG

sriwijaya muaro jambi lidar lidar 2020 lidar2020 muarajambi

ARTIKEL TERKAIT

Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Pesan Toleransi dari Muarajambi Menggali Peradaban Muarajambi Menemukan Kembali Peradaban yang Hilang dengan Lidar Teknologi Pemindai Muarajambi Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri Jambi Kota Seribu Biksu Sungai yang Membangun Peradaban di Sumatra Angin Muson, Mesin Perkembangan Budaya Menjemput Berkah dari Situs Percandian Muarajambi