DI kota Foshi yang berbenteng, terdapat biksu Buddhis berjumlah ribuan. Hati mereka bertekad untuk belajar dan menjalankan tindakan bajik. Mereka menganalisis dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa, India). Tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda.
Begitulah catatan I-Tsing atau Yi Jing, seorang biksu Tiongkok, dalam Mulasarvativadaejasatakarman. Kota berbenteng yang dimaksud kemungkinan besar merujuk pada kawasan Candi Muara Jambi. Di tempat itu, banyak dari guru Buddha terkenal mendapatkan pengajaran.
Baca juga: I-Tsing mencatat letak ibu kota Sriwijaya
Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan Yi Jing menjelaskan, menurut catatan Yi Jing, semua biksu di Fo-shi mempelajari mata pelajaran yang sama dengan yang dipelajari di Nalanda. Misalnya, Pancavidya yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin.
“Beliau bahkan merekomendasikan jika biksu ingin ke Nalanda, yang konon susah sekali, baiknya belajar dulu di Sriwijaya,” kata dia.
Baca juga: Tujuan perjalanan I-Tsing, biksu dari Tiongkok
Dalam karyanya yang lain, Da Tang, Yi Jing menyebut 57 mahabiksu dan guru-guru besar. Dia menemuinya selama perjalanan terutama di India, di pulau-pulau Lautan Selatan (Nusantara), dan negeri-negeri tetangga. Adapun dalam Nanhai, Yi Jing mencatat, Sakyakirti merupakan salah satu yang tinggal di Shili Foshi ketika itu. Dia merupakan salah satu di antara lima guru terkemuka pada masanya.
Empat abad setelah kunjungan Yi Jing, Dipamkara Srijinana pada abad ke-11, juga datang ke Suvarnadwipa. Biksu dari Benggala itu belajar di sana selama 12 tahun.
“Sumber lain mengatakan biksu penerjemah, Danapala atau Shihu dari Swat (sekarang Pakistan Barat) pada 1018 menguasai bahasa Sriwijaya dan tinggal di sana selama beberapa waktu,” jelas Shinta.
Selain itu, ada pula Atiśa Dipankara Sri Jnana, guru Buddha yang berasal dari Kekaisaran Pala. Pada 1013, Atisha memulai perjalanan ke Sriwijaya dengan menumpang kapal pedagang. Di dalam rombongan ini, terdapat juga guru lain beserta muridnya. Mereka berangkat ke Sumatra untuk menerima instruksi ajaran secara langsung dari Swarnadwipa Dharmakirti, salah satu guru Buddhis paling tersohor pada masa itu.
“Ke Swarnadwipa itu demi mencari ajaran yang paling tinggi. Minta diajar guru di Swarnadwipa, karena guru Swarnadwipa itu pemegang silsilah,” jelas Biksu Bhardra Ruci dalam makalahnya “Hayat dan Karya Atisha: Bagaimana Sriwijaya Menitipkan Ajaran ke Tibet”, yang diterbitkan dalam acara Borobudur Writers Cultural Festival ke-7 2008.
Baca juga: Pertukaran pelajar antara Sriwijaya dan Nalanda
Dia menjelaskan dalam tradisi Sanskerta semua ajaran diturunkan lisan kepada murid. Begitu pula guru yang ditemui Atisha di Swarnadwipa. Sang guru belajar di Vikramashila, India, menerima warisan ilmu dan berhak meneruskan ajaran itu.
Apa yang dipelajari Atisha selama di Swarnadwipa adalah filosofi Buddha, yaitu Prajnaparamitha. Ajaran ini melatih seseorang untuk mencapai kebuddhaan dengan cepat.
“Guru Atisha ini belajar prajnaparamitha, yaitu kebijakan yang paling tinggi. Ibu ilmu semua buddha. Mau aliran Pali atau Sanskerta dia butuh kebijaksanaan supaya hidupnya berguna semua makhluk,” kata Biksu Bhardra Ruci.
Baca juga: Sriwijaya, tempat pendidikan Buddha di Nusantara
Dari Sriwijaya, selanjutnya Atisha diberi pesan untuk meneruskan ajaran itu ke utara, yaitu ke Tibet. Inilah yang membuat hubungan Buddha di Indonesia dan Tibet begitu dekat.
“Studi Atisha selama 12 tahun di Sriwijaya kelak terbukti menjadi bekal pengalaman dalam mereformasi Buddhisme di Tibet,” jelasnya.
Dengan begitu, Shinta menjelaskan, paling tidak selama 400 tahun lebih, Sriwijaya sudah merupakan pusat pembelajaran terkenal. Itu sejak abad ke-7, yaitu ketika Yi Jing tiba hingga abad ke-11, yaitu tahun 1025 ketika Dipamkara Srijnana meninggalkan Nusantara.
“Di Nusantara sudah berdiri pusat pembelajaran atau universitas tertua dan terlanggeng di Nusantara,” kata Shinta.