Masuk Daftar
My Getplus

Menjemput Berkah dari Situs Percandian Muarajambi

Penelitian tentang Muarajambi sudah banyak dilakukan. Namun, bagaimana keberadaannya bisa berdampak bagi masyarakat setempat?

Oleh: Risa Herdahita Putri | 05 Nov 2020
Salah seorang juru pelihara tengah membersihkan area Candi Gumpung di Kompleks Percandian Muarajambi. (Dok. Historia)

Konon, sebelum Islam masuk, di Jambi pernah ada seorang raja yang memerintah bernama Tun Telanai. Dipercaya sang raja bertakhta di kawasan Muaro Jambi sekarang. Masyarakat pun menduga bahwa Percandian Muarajambi yang ada di sana adalah bekas kerajaannya. 

"Sebelum dipugar dipikir ini kerajaan Tun Telanai. Tapi setelah dipugar katanya bukan. Ini Kerajaan Sriwijaya gitu," kata Sulaeman (55), juru pelihara di kawasan Candi Gumpung menerjemahkan cerita yang disampaikan Datuk Ibrahim Akbar (73). Mantan Kepala Desa Muaro Jambi pada era 80-an itu lebih lancar bercakap-cakap dalam bahasa Melayu. 

Kisah Tun Telanai juga dijelaskan oleh Asyhadi Mufsi Sadzali, ketua prodi Arkeologi Universitas Jambi. Kisah ini sangat populer di masyarakat Jambi secara umum. Ceritanya tentang Raja Tun Telanai yang mencoba melamar Putri Pinang Masak, tetapi gagal. 

Advertising
Advertising

Di sisi lain, masyarakat Muaro Jambi pun memaknai banyaknya candi di daerahnya akibat kemarahan seorang raja yang tak berhasil meminang putri idamannya.

Berdasarkan cerita turun temurun, sang raja itu kemudian mengamuk. Ia lalu menendang candi yang ia bangun untuk sang putri dan karena itu berserakanlah puingnya. 

Baca juga: Muarajambi, Kota Seribu Biksu

Berbagai mitos yang ada merupakan cara masyarakat dalam menjelaskan keberadaan struktur-struktur kuno di sekitarnya. Kalau menurut Asyhadi, ini pun memperlihatkan lebarnya jurang antara masyarakat dan Situs Muarajambi. 

Wajar saja, Situs Muarajambi sempat tak dihuni kembali selama ratusan tahun. "Baru pada 1970-an masyarakat kembali bermukim di sekitar percandian," kata Asyhadi. 

Jurang itu ternyata berdampak pada tingkat kepedulian masyarakat di sekitar situs. Berdasarkan penelitiannya, Asyhadi menyebut hanya 40 persen masyarakat di sekitar situs yang peduli dengan bangunan-bangunan kuno di sana. 

"Ini bukan semata-mata kesalahan masyarakat," kata Asyhadi. "Rasa memilikinya saja yang belum tumbuh."

Sulaeman dan Datuk Ibrahim Akbar saat berbincang-bincang di area Candi Gumpung. (Dok. Historia.id).

Masyarakat Peduli Situs

Salah satu yang peduli adalah Subrata, warga di sekitar kompleks candi sekaligus anggota Forum Pemuda Pelestari Candi Muarajambi. Ia cukup optimistis bahwa peran masyarakat dalam pelestarian dan pengelolaan Situs Muarajambi telah bangkit. 

Sejauh ini masih banyak menapo, gundukan tanah berisi reruntuhan bata kuno, yang berada di dalam lahan milik masyarakat. Belum semua dibebaskan oleh pemerintah. 

"Salah satunya yang sangat kita apresiasi, ketika mereka berkebun, bercocok tanam, lalu menemukan suatu artefak berupa benda bersejarah selalu melapor ke BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya, red.) Jambi," kata Subrata. 

Baca juga: Mengingat Lagi Muarajambi

Subrata mengakui dulunya masyarakat memang belum banyak yang sadar kalau keberadaan Situs Muarajambi bisa menjadi peluang ekonomi baru. Kini mereka sudah ada yang mengelola persewaan sepeda dan becak motor, ada yang menjadi pemandu wisata, dan ada pula yang berjualan suvenir. 

"Kalau dulu cuma berkebun, dari beberapa tahun ini mulai mendatangkan ekonomi tambahan. Jadi pariwisata berbasis masyarakat,” kata Subrata.

Banyak cita-cita yang ia pikirkan. Bersama masyarakat mereka tengah mencoba untuk mengemas beragam atraksi kebudayaan dan kuliner khas Muaro Jambi. 

"Jadi, waktu datang bukan hanya mengenal sejarah tapi kultur budayanya juga, bahwa ada desa dengan kearifan lokal," kata Subrata. 

Salah satu yang menjadi persoalan adalah kebersihan. Ribuan orang yang berwisata ke candi banyak yang tak peduli akan itu. 

"Jika sudah ada rumah makan tradisional, mereka tidak perlu khawatir bawa bekal yang sampahnya bisa jadi mengotori candi," ujar Subrata.

Baca juga: Teknologi Pemindai Muarajambi

Subrata kini mengelola pondok berupa rumah panggung di tengah kebun karet. Lokasinya dekat dengan Candi Kembar Batu. Di sana pengunjung bisa menikmati kopi Jambi sekaligus melihat proses penyajiannya. 

Ke depannya, Subrata dan pemuda setempat berharap rute wisatawan dapat diarahkan ke permukiman warga. Dengan begitu, semakin banyak yang akan ikut merasakan keramaian Situs Muarajambi.

Subrata, salah satu anggota Forum Pemuda Pelestari Candi Muarajambi. (Dok. Historia.id).

Menanti Zonasi 

Sementara pengelolaan candi yang belum maksimal rupanya menjadi salah satu yang menghambat situs ini diakui UNESCO sebagai warisan dunia. Padahal Kompleks Percandian Muarajambi sudah masuk ke dalam daftar tunggu (tentative list) Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 2009.

"Ini keterlambatan kita. Pemda Jambi ingin segera ini diakui UNESCO," kata Erwansyah, PLT Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Muaro Jambi. 

Jika sudah diakui dunia, harapannya Muarajambi akan semakin terbuka. Jumlah wisatawan juga ikut meningkat.

“Diharapkan juga akan semakin banyak bantuan dalam pengembangan Candi Muarajambi,” ujar Erwansyah.

Baca juga: Usaha Menemukan Muarajambi

Sebagai upaya pemerintah dalam pengembangan Situs Muarajambi adalah dengan memasukkannya ke dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional 2010-2025. Namun, Erwansyah mengaku hingga kini belum banyak yang bisa diperbuat karena persoalan zonasi. 

"Kawasan Cagar Budaya tidak bisa asal diolah. Artinya harus ada zonasi, di mana pemerintah bisa berbuat di sini," jelas Erwansyah.

Salah satu yang paling dibutuhkan dalam pengelolaan Muarajambi adalah lahan parkir. Di lahan ini pula pihaknya bermaksud mengatur tempat untuk berjualan oleh-oleh dan kuliner khas Muaro Jambi. 

"Dari BPCB draf zonasi sudah ada. Keputusannya yang belum, mana wilayah inti, mana penyangga," kata Erwansyah.

Baca juga: Temuan Baru di Situs Muarajambi

Sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, perlindungan cagar budaya dilakukan dengan menetapkan batas-batas pemanfaatan ruang melalui sistem zonasi. Sistem zonasi ini biasanya terdiri atas zona inti, yakni area perlindungan utama untuk menjaga bagian terpenting cagar budaya. Di luarnya ada zona penyangga yang berfungsi melindungi zona inti. Kemudian ada zona pengembangan yang diperuntukan bagi pengembangan potensi cagar budaya. Lalu zona penunjang yang bisa digunakan untuk kegiatan komersial dan rekreasi. 

"Masalah zonasi ini kami tunggu," tegas Erwansyah. "Ketika penetapan sudah ada, baru pemda bisa masuk."

Soal pengelolaan, kata Erwansyah, Situs Muarajambi sebetulnya sudah pernah dilirik PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko atau PT TWC Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (Persero). Namun, pemerintah daerah masih berharap kalau Kompleks Percandian Muarajambi bisa lebih banyak dikelola oleh masyarakatar sekitar. Sebab, Erwansyah meyakini bahwa pembangunan daerah yang baik adalah yang membawa dampak bagi masyarakatnya.

"Mereka (masyarakat, red.) sudah ikut serta dalam pemugaran, pemeliharaan, juga sudah menyiapkan semacam home stay dan makanan khas Muaro Jambi," kata Erwansyah.

TAG

mencarijejakperadabannusantara menemukanperadabanhilang muarajambi sriwijaya lidar lidar 2020 lidar2020

ARTIKEL TERKAIT

Pesan Toleransi dari Muarajambi Menggali Peradaban Muarajambi Menemukan Kembali Peradaban yang Hilang dengan Lidar Teknologi Pemindai Muarajambi Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri Jambi Kota Seribu Biksu Sungai yang Membangun Peradaban di Sumatra Angin Muson, Mesin Perkembangan Budaya Jejak Peradaban di Sepanjang Sungai Batanghari Saksi Bisu Dua Kekuatan Besar Sumatra