Atisha Dipankara Sri Jnana, guru Buddha dari Kekaisaran Pala memulai perjalanan ke Swarnadwipa dengan menumpang kapal pedagang. Di dalam rombongan ini, terdapat juga guru lain dan muridnya. Atisha bertolak ke Swarnadwipa untuk menerima ajaran langsung dari Dharmakirti, salah satu guru Buddhis tersohor pada masa itu.
“Orang Tibet menyebutnya Sherlingpa Darmakirti, Sherling itu artinya Sumatra, Pa itu orang, orang Sumatera. Ia seorang Bikku asli Nusantara,” jelas Agus Widiatmoko, arkeolog yang lama mempelajari Muarajambi dan menulis disertasi berjudul “Situs Muarajambi sebagai Mahavihara Abad ke-7-12 Masehi”, ketika ditemui di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Perjalanan Atisha dimulai pada 1013. Apa yang dipelajarinya selama di Swarnadwipa atau yang kini Sumatra adalah filosofi Buddha, yaitu Prajnaparamitha. “Tak heran kalau di Muarajambi ditemukan dengan arca Prajnaparamitha, memang terkait ajaran ini,” ujarnya lagi.
Studi Atisha selama 12 tahun di Sumatra kelak terbukti menjadi bekal pengalaman dalam mereformasi Buddhisme di Tibet.
Lokasi Strategis
Tenarnya Sumatra sebagai tempat belajar agama Buddha sudah disebutkan sejak kemunculan I-Tsing, biksu Tiongkok pada abad ke-7. Dalam laporan perjalanannya dari Tiongkok ke Nalanda, India pada 672, I-Tsing bercerita kalau sempat singgah di Fo-shi (Sriwijaya) dan Mo-lo-yeu (Melayu). Ia lalu mampir lagi di Melayu sekembalinya dari Nalanda pada 685. Menurut dia, waktu itu Melayu sudah menjadi bagian dari Shili-Foshi (Sriwijaya).
Baca juga: Mengingat Lagi Muarajambi
Dalam persinggahannya, I-Tsing bilang kalau dia memperdalam pengetahuannya tentang ajaran Buddha dan tata bahasa Sansekerta. Katanya di sebuah kota yang berbenteng, terdapat biksu Buddhis yang jumlahnya ribuan yang bertekad untuk belajar dan menjalankan tindakan bajik.
“Mereka menganalisa dan mempelajari semua mata pelajaran, persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa India), tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda,” tulis I-Tsing, sebagaimana yang diterjemahkan Shinta Lee dari Komunitas Sudimuja & Jinabhumi.
I-Tsing juga mencatat, Sakyakirti merupakan salah satu yang tinggal di Shili-Foshi ketika itu. Dia merupakan salah satu di antara lima guru terkemuka pada masanya.
Empat abad kemudian datanglah Atisha Dipankara Sri Jnana ke Sumatra. Setelahnya, ada lagi biksu penerjemah, Danapala atau Shihu dari Swat, sekarang Pakistan Barat, pada 1018.
Andrea Acri, arkeolog Ecole Pratique des Hautes Etudes, PSL University, Prancis, membahasnya dalam “The Place of Nusantara in the Sanskritic Buddhist Cosmopolis” yang terbit di TRaNS. Kata dia, Danapala tinggal di Sriwijaya beberapa waktu hingga bisa menguasai bahasa Sriwijaya dan Jawa.
“Setelah I-Tsing ada banyak pendeta lain. Kira-kira ada 30 pendeta yang dicatat. Bukan hanya dari Tiongkok, tapi ada juga dari Kamboja, Thailand, dan sebagainya,” jelas Junus Satrio Atmodjo, arkeolog yang kini menjadi bagian dari Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACB), ketika ditemui di Kemendikbud.
Baca juga: Tempat Pendidikan Buddha di Nusantara
Swarnadwipa pada era Sriwijaya berjaya, sekira abad ke-7 sampai ke-12, merupakan titik yang strategis dalam pelayaran dunia. Titik temu antarnegara inilah kemudian yang membuat Sumatra menjadi tempat singgah para pelayar dari berbagai negara.
Para pelayar yang melakukan perjalanan dengan rute Tiongkok-India biasanya akan singgah di Sumatra. Minimal mereka menghabiskan waktu setengah tahun. Mereka mengikuti musim angin yang berganti enam bulan sekali.
“Atisha itu ke Sumatra 1012-1024. Abad ke-11 itu sedang mekar-mekarnya (perdagangan maritim, red.). Kalau lihat banyaknya temuan keramik Tiongkok, dari Dinasti Sung, perdagangan saat itu lagi seru-serunya,” kata Junus.
Muarajambi sebagai Pusat Pengajaran
Sampai saat ini Muarajambi banyak dikaitkan dengan Mahavihara yang didatangi I-Tsing, di mana banyak biksu belajar. Kendati catatan kuno, seperti yang ditulis I-Tsing misalnya, tak pernah secara jelas menyebutkan nama tempat ia belajar.
Bahkan catatan I-Tsing itu sebenarnya cukup membingungkan. Ia mengatakan dirinya singgah di Mo-lo-yeu untuk memperdalam pengetahuannya tentang ajaran Buddha dan Bahasa Sansekerta. Tapi ia juga melaporkan bahwa pusat pengajaran Buddhis ada di Sriwijaya. Padahal kali pertama I-Tsing singgah, Melayu masih belum menjadi bagian Sriwjiaya.
Baca juga: Mengunjungi Tempat Belajar I-Tsing
Tak heran kalau ada sebagian yang menolak mengidentifikasi Mo-lo-yeu sebagai Melayu di Jambi. "Apakah Melayu di situ sama dengan di Jambi? Ini sama dengan perdebatan di mana letak pusat Sriwijaya, di Jambi atau di Palembang. Nah, ini harus beradu bukti," kata Retno Purwanti, peneliti Balai Arkeologi Sumatra Selatan, dalam dialog sejarah "Jejak Sriwijaya di Bumi Jambi" live di kanal Youtube dan Facebook Historia.id.
Yang jelas, kata dia, Sriwijaya itu seperti negara dengan ibukota yang pusat pendidikannya bisa saja di tempat berbeda. “Ibu kotanya misalnya Jakarta, pusat pendidikan bisa di Yogyakarta," kata Retno.
Lalu di mana perguruan Buddhis terkenal itu berada? Dilihat dari perjalanannya, I-Tsing menyusuri pantai timur Sumatra, lalu berhenti di suatu tempat, dan naik perahu yang lebih kecil.
“Artinya ada di pedalaman. Yang paling memungkinkan kalau kita bicara dari abad ke-7, permukiman pedalaman ya Muarajambi,” jelas Junus.
Hingga kini memang hanya Muarajambi yang masih memperlihatkan bukti adanya sebuah peradaban dari era Sriwijaya dan Melayu Kuno. Pun dari kajian arkeologi, percandian di sini berlatar Buddhis. Ditambah lagi, jika dibandingkan dengan Mahavihara di India, Muarajambi punya banyak kemiripan.
Mirip dengan di India
India, khususnya Nalanda, terbukti memang terhubung dengan Sumatra. Prasasti Nalanda memberitakan Raja Balaputradewa, dari trah Sailendra penguasa Swarnadwipa abad ke-9, meminta Dewapaladewa, dari wangsa Pala di India, untuk mendirikan vihara di Nalanda.
Bukan hanya itu, Agus Widiatmoko menjelaskan, dua situs Buddha di India punya kronologi masa perkembangan yang saling bekesinambungan dengan di Muarajambi. Situs Nalanda dari abad ke-5-12 M. Situs Vikramashila dari abad ke-8-13 M. Sementara Situs Muarajambi, menurut Agus berasal dari abad ke-7-12 M. Meskipun, kalau menurut Retno Purwanti bukti tertuanya dari abad ke-9-10.
Dari sisi arsitektur dan teknologi bangunan, ketiganya pun nampak mirip. Sama-sama memakai bata sebagai bahan utama. Masing-masing situs juga mempunyai kompleks bangunan vihara dan kuil pemujaan walaupun berbeda variasi.
Baca juga: Kota Seribu Biksu
“Ketiganya punya mandapa (pendopo), setyagara atau candi induk, serta kuil-kuil kecil,” lanjut Agus. “Ini sama dengan di Candi Kedaton dan ada stupa.
Ia menerangkan, stupa dalam kompleks vihara didirikan untuk mengormati para guru. Abu para guru yang sudah wafat biasanya diwadahkan dalam stupa. Stupa juga digunakak untuk menyimpan teks suci Buddhis.
“Itu kenapa di Candi Gumpung banyak stupa. Banyak guru penting di situ. Ini penting bahwa orang-orang tertentu dibuatkan stupa,” lanjutnya.
Ketiganya juga memilih pola lokasi yang sama. Bangunan-bangunan itu tak jauh dari aliran sungai besar.
Baca juga: Usaha Menemukan Muarajambi
Temuan-temuan seperti belanga besar di Candi Kedaton dan pecahan mangkuk di luar candi itu dan Gumpung menjadi temuan penting. Temuan yang jadi pertanda adanya kebiasaan masyarakat pendukung candi yang mirip dengan yang ditemukan di sebuah kompleks vihara.
“Belanga yang besar itu untuk masak di sana. Karena setiap pagi biksu datang, makanan dan minuman dibagikan. Wadahnya mangkuk dan keramik. Mereka datang hanya modal alat makan,” kata Agus.
Agus meyakini, meski mirip dengan di India, pusat pendidikan di Sumatra sebenarnya sudah berkembang sebelum Balaputradewa mendirikan vihara di Nalanda. “Sriwijaya mendirikan vihara di Nalanda dapat dimaknai sebagai upaya menjadikan Swarnadwipa setara dengan pusat pendidikan di Nalanda,” ujar dia.
Silsilah dari Sumatra
Apa yang menginisiasi sang penguasa Sriwijaya untuk membangun salah satu vihara terbesar di Nalanda itu adalah tokoh bernama Dharmakirti Sherlingpa. Dalam hikayat Tibet, Dharmakirti adalah putra Syailendra yang waktu muda belajar di Vikramashila, Rajgir, India.
“Vihara itu tempat tinggal. Dua yang dibangun, vihara dan perpustakaan,” ujar dia.
Darmakirti tinggal selama tujuh tahun di Mahavihara Vikramashila. Di sana ia belajar tentang Boddhisattva Prajnaparamita. Setelah lulus, Darmakirti kembali ke Swarnadwipa untuk meneruskan ajaran ini.
Sampai kemudian datang Atisha Dwipangkara, yang sebelumnya sempat belajar di Nalanda. Pada umur 21 tahun, ia menyelesaikan studinya di sana. Lalu direkomendasikan untuk memperdalam ajaran tentang Boddhisattva di Sumatra.
Atisha belajar langsung kepada Darmakirti. Setelah paham betul dengan ajarannya, dia kembali ke India menjadi rektor di Universitas Vikramashila. Melakukan perbaikan kurikulum.
“Gelar Darmakirti ini acharya, setingkat Profesor atau mahaguru. Tingkatannya ada Guru, itu untuk biksu biasa, diatasnya ada pandit, baru acharya,” jelasnya.
Baca juga: Guru Buddha Terkemuka Belajar di Sriwijaya
Setelah di Vikramashila, diundanglah Atisha oleh Raja Tibet untuk mereformasi Buddha di negerinya. “Dalam otobiografinya disebut, orang Vikramashila, biksunya maupun muridnya bilang kalau guru mereka dicuri orang Tibet,” ujar Agus.
Ketika itu, Mahavihara Nalanda sudah mulai drop. Pusat pendidikan yang sebelumnya terkenal itu hancur pada abad ke-12.
“Dihancurkan oleh Sultan Bakhtiyar dari Afganistan, dibakar habis, hampir tiga bulan tak padam apinya,” jelas Agus.
Baca juga: Temuan Baru di Situs Muarajambi
Setelah Atisha mangkat pada awal abad ke-12, kira-kira 50 tahun kemudian, sistem ajarannya telah mulai menjadi panduan utama bagi studi Buddhisme di Tibet. Kelak pada abad ke-15 ajaran ini sampai dan diteruskan oleh sarjana besar bernama Tsongkhapa. Ajaran ini yang kemudian diturunkan kepada Dalai Lama pertama hingga sekarang ke-14.
“Bahwa apa yang sekarang dipercayai oleh kaum Tibetan, Buddhisme Mahayana Prajnaparamitha itu silsilahnya dari kita,” tegas Agus.