Hasil Light detection and ranging (LIDAR) menunjukkan adanya dugaan baru bahwa Kompleks Percandian Muarajambi, di Muaro Jambi, Jambi, lebih luas daripada yang diketahui sebelumnya. Pemindaian menggunakan teknologi sinar laser ini menampilkan banyak gejala temuan arkeologi baru di situs Buddhis itu.
Dalam dialog sejarah “Menemukan Kembali Peradaban yang Hilang” yang disiarkan live di kanal Youtube dan Facebook Historia.id, Selasa (27/10/ 2020), arkeolog Junus Satrio Atmodjo mengungkapkan bahwa awalnya situs Muarajambi diperkirakan memanjang di tepi Sungai Batanghari sejauh 7,5 km. Namun, berkat pemindaian LIDAR diduga situs itu panjangnya mencapai sekira 9 km.
“Ini terobosan luar biasa,” kata Junus yang pernah memimpin Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi pada 1990-1997.
Baca juga: Usaha Menemukan Muarajambi
Junus mengatakan, sudah menjadi pertanyaan sejak lama soal berapa banyak bangunan kuno yang mungkin ada di Kompleks Percandian Muarajambi. Masih sukar pula menjawab apakah kompleks ini bisa disebut sebagai pusat pemerintahan di Sumatra.
“Pertanyaan sejak dulu ini. Permasalahnnya selalu sama, kami selalu ketemu pohon-pohon besar,” ujar Junus yang juga menjabat sebagai Tenaga Ahli Cagar Budaya Nasional (TACB).
Proyek LIDAR yang dilakukan tahun lalu berkat inisiasi Djarum Foundation bekerja sama dengan Historia.id, berhasil mengungkap kemungkinan letak sebaran bangunan kuno di wilayah Percandian Muarajambi dengan lebih akurat. Vegetasi pepohonan yang selama ini menjadi halangan penelitian bisa dihilangkan secara digital oleh teknologi ini.
“Kalau dilihat ada pola-pola teratur yang dulu kita tidak bisa lihat. Ini suatu teknologi revolusioner,” kata Junus. “Untuk arkeolog ini jackpot, yang kita bayangkan selama ini akhirnya bisa terwujud.”
Baca juga: Mengingat Lagi Muarajambi
Menurut Junus, tahap selanjutnya adalah menguji coba kemungkinan temuan baru di beberapa kompleks candi di kawasan Muarajambi berdasarkan hasil LIDAR. Empat di antaranya adalah di Kompleks Candi Gumpung, Tinggi, Kedaton, dan Kotomahligai.
“Jadi di empat candi ini yang menurut saya kalaupun ingin menguji coba gagasan kita tentang pola permukiman Muarjambi,” kata Junus.
Junus pun bilang, ternyata dari hasil LIDAR, struktur kuno yang ada di Muarajambi bukan hanya berupa kanal, candi, atau menapo yakni gundukan tanah berisi bata kuno. Dari hasil LIDAR diketahui kalau ada gundukan tanah yang ditata dengan baik dan garis-garis yang harus dijelaskan dan diidentifikasi lebih jauh lagi. “Ini pekerjaan besar sekali!” kata Junus.
Baca juga: Muarajambi, Tempat Pendidikan Buddha di Nusantara
G.H. Anto, praktisi LIDAR dan foto udara yang tergabung dalam proyek ini, menjelaskan bahwa teknologi LIDAR dipilih karena mampu menghasilkan data paling cepat. Pemindaian ini bahkan mampu mengukur ketinggian suatu objek dengan sangat akurat.
Anto menceritakan bahwa pemetaan LIDAR akhir tahun lalu dilakukan pada wilayah seluas 7.200 ha yang mencakup situs Muarajambi dan sekitarnya.
“Terbang sekitar lima jam tergantung cuaca. Ini sangat cepat. Sejam bisa memetakan sekitar 2.000 ha,” kata Anto.
Dalam sepekan, data digital sudah bisa dikumpulkan. Sebulan kemudian data ini selesai diproses menjadi data yang lebih mudah diinterpretasi para arkeolog.
“Saya kira ini pertama kali untuk arkeologi di Indonesia. Karena pendanaan LIDAR di arkeologi dulu belum ada,” ujar Anto.
Baca juga: Mengunjungi Muarajambi, Tempat Belajar I-Tsing
Namun, data digital ini masih harus diterusan dengan penelitian ke lapangan. Ini untuk membuktikan apakah ketampakan dalam hasil LIDAR memang bangunan kuno yang perlu diteliti lebih lanjut.
“Semoga dari sini ada interpretasi yang lebih detail lagi. Jika diperlukan kami akan melakukan transfer teknologi untuk proses interpretasi. Kita memang harus kolaborasi,” kata Anto.
Jemmy Chayadi, Direktur Strategi dan Pembangunan Berkelanjutan Djarum Foundation, berharap proyek LIDAR ini akan menjadi dasar dalam penemuan arkeologi masa depan. Pihaknya menilai teknologi ini bisa sangat membantu dalam penelitian arkeologi. Misalnya, mengungkap skala besarnya situs maupun kepadatan penduduk.
“Jadi sudah tidak lagi bertumpu pada cara lama, membabat hutan dan lainnya,” kata Jemmy.
Baca juga: Mencari Sriwijaya di Muarajambi
Menurut Jemmy, terobosan ini bisa menjadi contoh bagaimana perusahaan swasta bisa secara aktif mendukung pelestarian budaya dan sejarah di Indonesia. “Perusahaan besar, juga yang ada di daerah perkebunan misalnya, bisa melihat ada simbiosis, sinergi, dan benefit misalnya daerah wisata baru, jadi bisa tertarik dan membantu mendukung usaha pelestarian ini,” kata Jemmy.
Penemuan ini, kata Jemmy, diharapkan bisa membangun rasa bangga terhadap indentitas kebangsaan di kalangan generasi muda. “Penemuan bisa jadi berita besar, melekat dan diingat, dan bagian dari identitas,” kata Jemmy.
Jemmy sadar pihaknya tak bisa bekerja sendiri. Dalam proyek ini Djarum pun membangun kolaborasi dengan pemerintah pusat dan daerah. Temuan ini pun diharapkan bukan menjadi akhir dari penelitian Muarajambi. Melainkan rintisan penelitian arkeologi di masa mendatang.