PERJALANAN mengunjungi sejumlah wilayah di Indonesia pada 1950-an menjadi pengalaman yang berkesan bagi Nina Consuelo Epton (1913–2010). Tak heran bila tiga tahun setelah perjalanan pertamanya, wanita yang pernah bekerja sebagai wartawan BBC London itu kembali ke Indonesia untuk melakukan ekspedisi. Kali ini misinya menemui Suku Baduy yang ia sebut sebagai “the invisible people” atau “orang-orang tak terlihat”.
Dalam bukunya, Magic and Mystic of Java, Epton berkisah awal mula perkenalannya dengan Suku Baduy. Wanita kelahiran Hampstead, London tahun 1913 itu mulai tertarik dengan suku yang mendiami wilayah Banten tersebut sejak membaca tentang mereka di buku The History of Java karya Sir Thomas Stamford Raffles. Mantan Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Jawa itu menulis bahwa Suku Baduy yang tinggal di pedalaman Banten merupakan keturunan dari orang-orang yang lari ke dalam hutan setelah runtuhnya bagian barat kota Pajajaran pada abad kelima belas.
Meski tidak sempat bertemu orang-orang Baduy selama masa tugasnya di Hindia Belanda, Raffles memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu yang besar terhadap masyarakat tersebut. Oleh karena itu, ia mengumpulkan informasi mengenai Suku Baduy dan menuliskannya ke dalam salah satu bagian bukunya.
Baca juga: Raffles dan Dua Abad The History of Java
Setelah membaca buku Raffles, Epton penasaran akan keberadaan Suku Baduy. Ia khawatir setelah ratusan tahun sejak The History of Java dipublikasikan, suku itu tak lagi dapat ditemukan. “Saya takut bahwa Baduy telah punah atau terserap ke dalam kehidupan perkotaan, tetapi seorang etnografer Belanda yang saya kirimi surat dari Inggris meyakinkan saya bahwa mereka masih hidup di dalam hutan mereka,” tulis Epton.
Berangkat dari rasa keingintahuan, Epton menyusun rencana kembali ke Indonesia untuk mencari Suku Baduy. Sadar tak mungkin langsung pergi ke Banten, ia pun menjalin kontak dengan keluarga Djajadiningrat di Jakarta, yaitu Hoesein dan Hilman Djajadiningrat. Tak hanya dikenal sebagai keluarga terpandang dari Banten, keluarga Djajadiningrat juga memiliki kaitan erat dengan Suku Baduy.
Epton menceritakan, pada pertengahan abad ketujuh belas, seorang anak laki-laki Baduy, putra seorang pemimpin yang sangat dihormati, yang bosan dengan kehidupan hutan dan aturan ketat yang diberlakukan pada semua anggota suku, memiliki keberanian untuk melarikan diri ke kota. Rincian pelariannya tidak tercatat, namun akhirnya ia sampai di istana Sultan Banten, yang berkenalan dengan anak itu dan memberinya pekerjaan sebagai penjaga kuda di istana.
“Tak lama kemudian, ia dipromosikan menjadi pengawal pribadi Sultan, dan menjadi penasihat penguasa yang dipercaya, karena ia diberkahi dengan kebijaksanaan alami yang luar biasa. Akhirnya, ia masuk ke dalam lingkaran istana dan diizinkan untuk menikahi salah satu putri Sultan. Bangsawan Djajadiningrat dari Jakarta adalah keturunan dari orang Baduy yang sangat sukses ini,” tambahnya.
Baca juga: Nina Epton Menceritakan Nini Towong
Cerita berbeda dikisahkan Raden Adipati Aria Achmad Djajadiningrat, bupati Batavia (1924–1929) dan anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Ia menceritakan, sekitar masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, seorang Pu’un Cibeo memiliki seorang putra bernama Raden Wirasoeta, yang tak suka hidup dalam masyarakat Baduy karena merasa terlalu sempit baginya.
Wirasoeta memohon izin kepada sang ayah untuk mengabdi kepada Sultan Banten. Setelah ayahnya mengizinkan, Wirasoeta pergi menuju keraton Sultan Banten. Ia diterima menjadi hamba di keraton, mula-mula sebagai abdi dan dalam waktu singkat menjadi prajurit. Wirasoeta yang ahli dalam peperangan lalu diangkat menjadi pangeran, bahkan Sultan menikahkannya dengan salah seorang putrinya.
“Pangeran Wirasoeta kemudian diangkat menjadi patih dari Kesultanan. Pada 1663, ketika memadamkan suatu pemberontakan di Lampung, ia terluka pada tangannya. Luka inilah yang menjadi penyebab mautnya. Karena itu, setelah wafatnya, ia terkenal dengan nama Pangeran Astapati (asta=tangan, pati=mati). Dari garis keturunan Pangeran Wirasoeta inilah saya berasal,” kata Achmad Djajadiningrat dalam Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat.
Baca juga: Petualangan Pelancong Inggris Mencari Suku Baduy Dalam (2)
Saat bertemu Hoesein Djajadiningrat, Epton mengungkapkan keinginannya menemui orang-orang Baduy. Namun, Hoesein meragukan ekspedisi Epton akan berhasil karena tidak ada perempuan yang pernah melakukannya sebelumnya, dan beberapa laki-laki –seorang antropolog Belanda dan seorang dokter– yang telah melakukannya beberapa tahun yang lalu, tidak pernah berhasil menemukan “orang-orang tak terlihat” itu di pedalaman. “Mereka bertemu dan bercakap-cakap dengan orang Baduy di wilayah luar, tetapi tidak pernah dengan orang-orang Baduy Dalam yang sangat tertutup dan tidak mau berkomunikasi dengan dunia luar,” tulis Epton.
Meski begitu, dari Hoesein, Epton mendapat informasi bahwa Suku Baduy dibedakan menjadi dua kelompok, yakni Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Suku Baduy Dalam mengenakan pakaian putih dan mengikuti aturan perilaku yang ketat dan tidak pernah meninggalkan hutan mereka. Sementara Suku Baduy Luar, yang tinggal di pinggiran wilayah Baduy, mengenakan pakaian berwarna gelap –biru maupun hitam– dan hidup dalam peraturan yang tidak terlalu ketat. Mereka tak jarang melakukan barter atas nama “orang-orang tak terlihat” di pedalaman, dan sering pula bertindak sebagai petugas hubungan eksternal mereka.
Baca juga: Petualangan Pelancong Inggris Mencari Suku Baduy Dalam (3)
Tak patah arang, Epton bertanya ke Hoesein bagaimana caranya menuju wilayah hutan “orang-orang tak terlihat” itu di Banten Selatan. Hoesein, yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor dan profesor pertama di Indonesia tersebut, mengatakan kepada Epton bahwa ia bisa menggunakan kendaraan bermotor namun hingga di wilayah tertentu, setelah itu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati hutan. “Setibanya di batas wilayah Baduy, perjalanan anda hampir pasti akan dihentikan dan tidak diizinkan untuk melangkah lebih jauh,” kata Hoesein.
“Apa yang akan terjadi jika saya memaksa? Apakah mereka akan menembak saya, atau melempar anak panah beracun ke arah saya?” tanya Epton.
Hoesein tersenyum lebar. “Ya ampun, tidak. Orang Baduy tidak akan pernah melakukan hal seperti itu. Mereka cinta damai. Mereka juga tidak memiliki senjata apapun,” katanya.
Baca juga: Di Balik Hitam Putih Baju Baduy
Tak berselang lama Hoesein menunduk dan senyumnya lenyap dari wajahnya. Ia mengatakan, kecelakaan-kecelakaan misterius telah terjadi pada lebih dari satu orang Belanda yang melakukan upaya serupa (mencari orang-orang Baduy Dalam, red). “Tapi bolehkah saya bertanya kepada anda, apa gunanya menerobos masuk? Anda tidak akan menemukan siapa-siapa. Orang Baduy akan melebur ke dalam hutan mereka. Jangan lupa bahwa mereka disebut sebagai ‘orang-orang tak terlihat’. Mereka tidak akan bisa dibedakan dengan dedaunan dan tanaman merambat di wilayah mereka. Mereka mengenal hutan mereka, sementara anda tidak. Anda akan berada dalam posisi yang tidak berdaya,” kata Hoesein.
Epton mengangguk. Ia menyadari betul kebenaran perkataan Hoesein. “Meski begitu saya masih ingin mencoba melihat mereka,” kata Epton.
“Kamu adalah perempuan yang gigih,” kata Hoesein. Ia kemudian bertanya kepada Epton dari mana ia mengetahui tentang Suku Baduy. Setelah mengamati jawaban Epton, Hoesein berdiri lalu berjalan perlahan ke jendela yang terbuka dan melihat ke arah pohon-pohon magnolia di kebunnya.
“Betapa mengherankan,” seru Hoesein setelah terdiam sejenak, “bahwa sudah hampir seratus lima puluh tahun sejak Raffles menulis The History of Java –untuk imajinasi seorang Inggris– dan kini seorang wanita Inggris datang kepada saya karena tertarik pada suku leluhur saya yang terasing ini –Baduy,” sebut Hoesein.
Baca juga: Pertemuan Sukarno dan Baduy
Hoesein kemudian melanjutkan kata-katanya. “Saya kira kamu pasti sudah diberitahu bahwa kami (keluarga Djajadiningrat) tidak kehilangan kontak dengan orang-orang ini. Mereka masih datang kepada kami untuk memberi penghormatan –dan untuk melindungi kami di saat-saat bahaya. Ada banyak hal di hutan kami yang belum pernah ditulis dalam buku,” kata Hoesein sembari mengamati rak-rak buku di ruangannya.
“Kalau begitu, katakan kepadaku bagaimana aku bisa bertemu dan berkomunikasi dengan mereka,” desak Epton.
“Saya khawatir mereka tak mau melakukannya. Orang Baduy sangat tertutup, bahkan terhadap orang Jawa. Kamu, sebagai orang Barat, dicurigai dua kali lipat. Mereka takut terkontaminasi oleh sesuatu yang baru. Kehidupan mereka mengacu ke masa lalu. Saya telah melihat tempat-tempat di Eropa –rumah-rumah, istana-istana, di mana seseorang yang terkenal meninggal dan di mana setiap benda disimpan persis seperti saat kematiannya. Orang Baduy memandang seluruh kehidupan dengan cara seperti itu. Aturan hidup ditetapkan sekali dan untuk selamanya oleh leluhur yang mereka percaya suatu hari nanti akan kembali kepada mereka. Sementara itu, tidak ada yang boleh diganggu. Tidak ada unsur baru yang boleh ditambahkan ke dalam apa yang telah ditetapkan untuk mereka,” jawab Hoesein.
Baca juga: Mang Odon di Tanah Kabuyutan Baduy
Hoesein berhenti sejenak, tak lama kemudian ia mengucapkan sesuatu kepada Epton. “Jika anda benar-benar telah memutuskan untuk melakukan ekspedisi ke pedalaman Banten,” katanya, “maka temuilah saudaraku Hilman. Dia bisa memberikan semua jenis informasi praktis yang tidak saya miliki.”
Hoesein kemudian mengangkat telepon dan melakukan percakapan singkat dalam bahasa Belanda dengan saudaranya. Setelah itu, Hoesein memberikan sebuah alamat kepada Epton dan memanggil becak di luar gerbang untuk mengantar wanita itu ke alamat yang dituju.
“Apakah saya benar-benar akan dibantu dalam ekspedisi ini? Atau saya hanya dipindah-pindah dari satu orang ke orang lain karena tidak ada yang berani mengatakan ‘tidak’ secara langsung kepada saya?” pikir Epton. (Bersambung).*