Masuk Daftar
My Getplus

Nini Towong, Permainan Memanggil Arwah Selain Jelangkung

Nini Towong dikenal sebagai permainan memanggil arwah dengan menggunakan medium boneka. Permainan khusus anak perempuan ini disebut muncul lebih dulu dari jelangkung.

Oleh: Amanda Rachmadita | 06 Okt 2023
Nini Thowong sebagai seni pertunjukan rakyat ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda DI Yogyakarta pada 2018, (budaya.jogjaprov.go.id).

“APAKAH Anda ingin melihat pemanggilan arwah Ni Tuwong? Saya bisa menunjukkannya kepada Anda di sebuah kampung sore ini,” kata Arafa kepada Nina Consuelo Epton.

“Ni Tuwong? Apakah maksud Anda boneka ajaib? Saya pikir itu sudah ketinggalan zaman, tetapi tentu saja saya ingin sekali menontonnya,” jawab Epton.

Percakapan itu ditulis Epton dalam salah satu bagian bukunya yang berjudul Magic and Mystics of Java. Buku catatan perjalanannya tersebut berisi berbagai cerita selama melakukan kunjungan ke sejumlah wilayah di Indonesia, salah satunya Jakarta. Wartawan perempuan asal Inggris itu mengunjungi Indonesia pada 1950-an. Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah menyaksikan secara langsung prosesi pemanggilan arwah menggunakan medium boneka yang dikenal dengan nama Ni Tuwong.

Advertising
Advertising

“Setelah makan siang, saya dan Arafa pergi ke sebuah kampung di pinggir kota, jaraknya sekitar empat belas mil di sebelah barat Jakarta. Hari itu adalah hari Kamis –atau dalam kalender Jawa, disebut malam Jumat, dan upacara Ni Tuwong, seperti biasa, dilaksanakan di sebuah pemakaman,” tulis Epton.

Baca juga: Makhluk Halus dalam Catatan Perjalanan Orang Belanda

Di tengah perjalanan, Epton melihat sejumlah perempuan berjalan menuju pemakaman untuk ikut ambil bagian dalam permainan Ni Tuwong. Di area pemakaman, tampak sekelompok wanita tua yang membungkuk di atas batu nisan sedang berbicara serius dengan nada rendah. Mereka tengah mengatur beberapa benda di kaki mereka dengan terburu-buru.

Sementara itu, sekelompok wanita yang lebih muda, dengan mata berbinar-binar penuh semangat, duduk bersila di tanah, menunggu para tetua menyelesaikan urusan mereka. Gumpalan asap dupa mengepul dari mangkuk-mangkuk kuningan kecil yang diletakkan di sekeliling batu nisan, yang telah diisi dengan kelopak bunga mawar dan daun pandan yang digunakan sebagai persembahan untuk para dewa dan arwah leluhur.

Setelah menyelesaikan urusannya, para wanita tua itu berkerumun di samping objek yang menjadi pusat perhatian mereka. Dua di antaranya menundukkan kepala mereka yang telah putih dan mulai merapalkan mantra-mantra. Di tengah, disandarkan pada batu nisan, terlihat sebuah boneka yang nantinya akan digerakkan oleh roh yang disebut Ni Tuwong.

“Boneka ini tampak aneh seperti patung Guy Fawkes, dengan kepala batok kelapa yang di atasnya terdapat mata putih besar yang digambar dengan kapur, sedangkan sapu bambu digunakan sebagai lengan, dan rangka bambu berfungsi sebagai badan. Boneka itu tampak dibungkus dengan sarung yang khusus ‘dicuri’ untuk acara tersebut,” ungkap Epton.

Baca juga: Penulis Belanda Berkisah Tentang Nyi Blorong

Pembakaran dupa dan perapalan mantra-mantra telah dilakukan sejak beberapa jam sebelumnya. Setelah dirasa cukup, para wanita tua yang memimpin upacara memutuskan bahwa boneka tersebut sudah cukup lama berada di pemakaman sehingga roh Ni Tuwong telah masuk ke dalamnya. Selanjutnya boneka itu dibawa kembali ke kampung dengan diiringi oleh sejumlah wanita yang terlihat memegang cermin serta mangkuk-mangkuk berisi dupa sembari merapalkan mantra.

Setibanya di lokasi yang telah ditentukan, boneka itu diletakkan di batang pohon kelapa, sementara sejumlah gadis menata kembali mangkuk-mangkuk dupa di sekeliling pohon. Semua obrolan terhenti ketika salah satu perempuan tua memegang cermin di depan boneka roh tersebut. Wanita tua itu bergumam pada boneka dengan penuh kasih sayang dan tak lama kemudian kepala boneka bergerak dengan sangat jelas.

“Ia berpaling perlahan dari cermin dan menatap gadis-gadis muda yang berkumpul di depannya. Lengan sapu mulai bergerak-gerak tanpa ada siapa pun di balik pohon itu yang dapat ditunjuk sebagai penyebab gerakan tersebut,” tulis Epton.

Wanita tua itu menurunkan cermin dan bergumam kepada gadis-gadis di belakangnya. Mereka saling menyenggol dan mulai berbisik hingga akhirnya salah satu di antara mereka mengajukan pertanyaan kepada boneka itu. Perlahan-lahan Ni Tuwong menoleh dari satu sisi ke sisi lainnya. “Dia bilang tidak –kamu tidak akan menikah tahun ini,” tafsir sang nenek.

Baca juga: Asal Usul Valak, Setan dari Masa Kegelapan

Semua mata tertuju pada boneka yang tampak mengerikan itu, yang menggelengkan kepalanya ke atas dan ke bawah. “Bagus, ibunya akan sembuh dari penyakitnya,” komentar seorang gadis yang ikut menonton peristiwa itu.

Pertanyaan-pertanyaan datang silih berganti dan boneka itu memutar kepalanya serta menggerakkan tangannya semakin cepat. Tiba-tiba Arafa membungkuk dan mengajukan sebuah pertanyaan. “Ni Tuwong,” katanya, “Ni Tuwong, apakah ada teman baru (orang asing, red.) yang menyaksikan prosesi ini?”

Keheningan terasa begitu kuat saat boneka itu memiringkan kepalanya ke satu sisi. Epton semakin takjub ketika beberapa saat kemudian boneka itu membungkuk ke depan dan mengarahkan salah satu lengannya ke arah dirinya. Ni Tuwong yang mencondongkan tubuhnya ke depan secara tiba-tiba kemudian terjatuh dengan menghadap ke bawah dan tangan terentang.

“Dia telah meninggalkan kita –semuanya sudah berakhir,” kata salah seorang gadis. Kerumunan orang mulai berdiri dan menjauh meninggalkan lokasi ritual tersebut. Boneka yang kembali diam tak bergerak itu dibiarkan tergeletak di kaki pohon seperti mainan yang terlupakan.

Bagi sebagian orang di masa kini, Ni Tuwong atau dikenal juga dengan Nini Towong mungkin dianggap sebagai sebuah permainan yang asing. Namun, di masa lalu permainan ini cukup marak dilakukan oleh penduduk di berbagai wilayah, khususnya di Jawa.

Baca juga: Janda Terkaya dan Makhluk Tak Kasat Mata

Menurut Margaret Chan dalam “The The Sinophone Roots of Javanese Nini Towong”, yang termuat di Asian Ethnology, Vol. 76, No. 1, 2017, Nini Towong merupakan sebuah boneka yang digerakkan oleh roh leluhur. Boneka ini umumnya dibuat dan dihias layaknya seorang wanita, hal itu berkaitan dengan nama boneka tersebut yang terdiri dari kata Nini dan Towong. “Nini” berarti nenek, tetapi juga merupakan panggilan sayang untuk menyebut anak perempuan.

Sementara “Towong” merujuk pada pucatnya wajah boneka, yang terbuat dari tempurung kelapa, biasanya diwarnai putih dengan kapur dan digambar dengan warna hitam pekat. Meski begitu ada pula yang memandang bahwa kata “Towong” berasal dari kata wong, yang dalam bahasa Jawa berarti orang. Dengan demikian, Nini Towong dapat diartikan sebagai boneka yang dapat bergerak seperti manusia.

Di sejumlah tempat, Nini Towong ditampilkan sebagai ritual pemanggil hujan atau sebagai permainan ramal-meramal. Boneka ini diminta meramalkan hasil panen yang akan datang, menyebutkan nama jodoh di masa depan, maupun menunjukkan di mana tanaman obat atau barang yang hilang dapat ditemukan.

Baca juga: Jodoh Dono Ditunjukkan Jailangkung

Indolog W.H. Rassers menyebut bahwa “dolanan Nini Towong” merupakan permainan khusus anak perempuan dan dengan demikian anak laki-laki tidak diperbolehkan ikut serta. “Nini Towong ‘dibuat’ hanya pada salah satu hari ketika ada bulan (antara tanggal 10 dan 15), dan sebaiknya pada malem Jumungah atau lebih baik lagi pada malem Anggara-Kasih (= Selasa-Kliwon). Hanya wanita tua, khususnya prawan tuwa yang boleh atau bisa ‘anggawe Nini Towong’,” tulis Rassers dalam Panji, The Culture Hero: A Structural Study of Religion in Java.

Proses pembuatan boneka Nini Towong dilakukan pada pagi hari dan diupayakan selesai sebelum matahari terbenam. Saat matahari mulai tenggelam boneka itu dibawa ke tempat suci, seperti tempat yang dikeramatkan, sumur yang telah mengering, pohon tua, dan pemakaman, untuk ritual pemanggilan arwah.

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat Nini Towong di antaranya sebuah siwur atau gayur yang sudah usang yang melambangkan kepala, jala (wuwu atau ichir) atau terkadang kukusan atau penanak nasi untuk melambangkan tubuh, dan beberapa batang padi atau sapu yang digunakan sebagai tangan. Kepala boneka itu dihias dengan kapur, bubuk beras, dan jelaga agar terlihat seperti manusia. Tubuh boneka juga didandani dan dihias seperti biasa dilakukan untuk pengantin wanita. Setelah itu boneka diletakkan di atas anyaman bambu dengan diikat kuat sehingga dapat diangkat dan dibawa.

Baca juga: Jadi Tentara karena Jailangkung

Rassers menyebut bahan-bahan untuk membuat boneka Nini Towong biasanya didapatkan dengan cara mencuri. “Karena para gadis berpikir bahwa hanya dengan cara demikian ‘dolanan Nini Towong’ mereka dapat berhasil. Dan mereka sangat senang ketika mereka tertangkap basah melakukan pencurian dan dimarahi oleh korbannya: maka semuanya akan berjalan dengan baik,” sebutnya.

Mengenai asal-asul permainan ini, Rassers mencatat bahwa Nini Towong merupakan nama seorang tokoh pelayan wanita yang namanya disebut sepintas dalam dua lakon wayang kulit Pandupapa dan Sudamala. Dalam lakon yang terakhir, ia menikah dengan Semar sehingga indolog Belanda itu mengusulkan Nini Towong sebagai nenek moyang perempuan orang Jawa. Namun, ada pula yang menganggap bahwa permainan ini merupakan “sebuah ritual keagamaan yang diperkirakan berasal dari masa ketika paganisme masih berkuasa di Jawa”.

Sementara itu, Margaret Chan beranggapan bahwa Nini Towong merupakan sebuah evolusi budaya dari boneka ramalan yang dimasuki arwah Zigu, selir Tiongkok yang dijadikan dewi toilet, yang telah masuk ke Indonesia lebih awal dari permainan jelangkung yang diperkenalkan oleh para imigran Tionghoa pada abad ke-19 ke pusat-pusat kota di Indonesia.

“Kemiripan yang mencolok antara boneka ramalan yang dimasuki arwah Zigu dan permainan Nini Towong terlihat dari mediumnya serta waktu untuk melaksanakan permainan tersebut, di mana waktu favorit untuk memainkan keduanya sama-sama pada malam bulan purnama,” tulis Chan.*

TAG

permainan

ARTIKEL TERKAIT

Dari Video Game hingga Game Online Dulu Clackers Kini Latto-latto Membangkitkan Kasti yang Mati Suri Jejak Permainan Congklak Moonlight Sonata dan Kisah Cinta Tak Sampai Ludwig van Beethoven Potret Pribumi Ainu di Balik Golden Kamuy I Nyoman Ngendon, Perupa Pita Maha yang Terjun ke Medan Perang Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I) Warisan Budaya Terkini Diresmikan Menteri Kebudayaan