Masuk Daftar
My Getplus

Makhluk Halus dalam Catatan Perjalanan Orang Belanda

Catatan perjalanan para pelancong Eropa umumnya tentang kuliner dan kebiasaan-kebiasaan unik masyarakat di Hindia Belanda. Namun, ada pula yang menuliskan cerita makhluk halus.

Oleh: Amanda Rachmadita | 30 Agt 2023
Augusta de Wit. (Letterkundig Museum).

MEMASUKI abad ke-19, Hindia Belanda, khususnya Pulau Jawa, telah menarik minat banyak pelancong asing. Mereka umumnya menulis catatan perjalanan yang berisi tentang kondisi geografis dan keindahan alam daerah-daerah yang dikunjunginya. Tak jarang mereka juga menulis tentang kuliner dan kebiasaan-kebiasaan unik masyarakat setempat.

Menurut Achmad Sunjayadi, pengajar dan peneliti di Program Studi Belanda dan Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, catatan perjalanan tak hanya berguna bagi penulis sebagai sarana aktualisasi diri, tetapi juga berharga bagi orang lain, terutama berkaitan dengan informasi wilayah yang dikunjungi. “Catatan perjalanan merupakan salah satu sumber untuk mengetahui kondisi masyarakat dan memberikan gambaran wilayah di Hindia Belanda,” tulisnya dalam Pariwisata di Hindia-Belanda (18911942).

Kebanyakan penulis catatan perjalanan berasal dari Eropa dan Amerika dengan beragam latar belakang pekerjaan, mulai dari pegawai sipil, perwira militer, peneliti (naturalis), hingga pemuka agama. Salah satunya Augusta de Wit, kontributor The Strait Times, surat kabar berbahasa Inggris di Singapura. Penulis perempuan asal Belanda itu berkunjung ke Jawa pada 1894.

Advertising
Advertising

Baca juga: Awal Mula Pariwisata di Indonesia

Hindia Belanda menarik perhatian de Wit, salah satu alasannya karena ia dilahirkan di Sumatra, tempat ayahnya menjadi residen kemudian di Timor. Ia mengenyam pendidikan di Eropa. Meski keluarganya telah kembali ke Belanda, koneksi antara de Wit dan Hindia Belanda seakan tak hilang. Oleh karena itu, ia kembali ke Hindia Belanda sebagai pelancong dan mengunjungi pulau-pulau besar, salah satunya Pulau Jawa.

Saat menginjakan kaki di Batavia dan mengunjungi sejumlah daerah di Pulau Jawa, de Wit mengamati kehidupan masyarakat setempat. Ia memberikan gambaran sekilas tentang pasar bunga, penduduk asli yang mandi di sungai, pedagang keliling, permainan sabung ayam, hingga mitos serta legenda yang dipercaya masyarakat.

Kumpulan catatan perjalanan de Wit diterbitkan dalam buku berjudul Java, Facts and Fancies. Dalam The George Hicks Collection At the National Library, Singapore yang disusun oleh Eunice Low disebutkan bahwa catatan perjalanan de Wit selama mengunjungi Jawa dipublikasikan sebagai artikel-artikel pendek di surat kabar The Strait Times. Tulisan-tulisan itu kemudian dikumpulkan serta dibukukan dan pertama kali diterbitkan pada 1898 oleh Strait Times Press.

Baca juga: Khazanah Hantu Indonesia

Salah satu cerita dalam buku catatan perjalanan de Wit adalah tentang sosok makhluk halus yang menghantui pohon waringin dan dikenal dengan sebutan pontianak.

“Pernahkan anda melihatnya melintas, putih di bawah sinar rembulan perak? Pernahkan anda mendengar tawanya, keras dan panjang, ketika semua hening? Dia adalah jiwa seorang perawan yang telah mati, yang tidak pernah dicium oleh seorang kekasih. Dan sekarang ia tidak dapat beristirahat, karena ia tidak pernah mengenal cinta; dan ia akan segera mendapatkannya meski tidak dalam bentuk cinta-kasih tetapi dalam bentuk kebencian dan kedengkian yang mematikan,” tulis de Wit.

Menurut penulis Amerika Serikat, John Gordon Melton dalam The Vampire Book The Encyclopedia of the Undead, pontianak memiliki gambaran yang beragam. Bila Augusta de Wit menggambarkan sosoknya sebagai wanita yang meninggal dalam keadaan perawan, sementara Raymond Kennedy, penulis The Ageless Indies, justru menggambarkannya sebagai seorang wanita yang meninggal saat melahirkan. Meski begitu dalam kedua kasus tersebut, makhluk ini muncul sebagai wanita muda yang cantik dan menyasar pria sebagai targetnya.

Baca juga: Usai Reformasi, Pocong Mendominasi

Dalam catatan perjalanannya, de Wit menyebut bahwa pontianak, yang digambarkan lebih cantik daripada dewi cinta manapun, kerap duduk di dahan-dahan pohon, bernyanyi pelan sembari menyisir rambutnya yang panjang. Dan ketika ada seorang pemuda yang mendengar nyanyiannya lalu berhenti sejenak untuk mendengarkan, maka di waktu itu pula pontianak akan datang untuk menemuinya. Di hadapan pria tersebut pontianak akan tersenyum lembut hingga menarik sang pria untuk memeluknya.

“Namun, ketika sang pria hendak memeluknya, ia merasakan luka menganga di punggung pontianak yang ia sembunyikan di balik rambut panjangnya. Dan, saat pria itu terpaku karena ngeri, pontianak akan melepaskan diri darinya dengan tawa panjang dan keras, dan menangis: Engkau telah mencium Pontianak maka engkau harus mati!” tulis de Wit.

Seperti diungkapkan makhluk halus tersebut, sebelum bulan purnama kembali, pria yang telah mencium pontianak itu pun mati. Akan tetapi, menurut de Wit, kematian dapat dihindari bila sang pria mampu meraih rambut pontianak dan menarik sehelai rambutnya. Jika sang pria berhasil melakukannya, ia tidak hanya berhasil lolos dari maut tetapi juga akan hidup sampai usia tua, kaya, terhormat, dan bahagia.*

TAG

makhluk halus

ARTIKEL TERKAIT

Moonlight Sonata dan Kisah Cinta Tak Sampai Ludwig van Beethoven Potret Pribumi Ainu di Balik Golden Kamuy I Nyoman Ngendon, Perupa Pita Maha yang Terjun ke Medan Perang Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I) Warisan Budaya Terkini Diresmikan Menteri Kebudayaan Merekatkan Sejarah Lakban Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Kisah Tukang Daging yang Menipu Bangsawan Inggris Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk