Usai Reformasi, Pocong Mendominasi
Bukan siapa-siapa di tahun 1970-an hingga 1990-an, pocong mendominasi peran utama film horor yang muncul setelah reformasi.
PENGAJAR sastra Prancis Universitas Indonesia Dr. Suma Riella Rusdiarti punya perhatian menarik terkait reformasi. Menurutnya, reformasi tak hanya menggulingkan kediktatoran Soeharto dan mengembalikan demokrasi di Indonesia, tapi juga menumbangkan dominasi tokoh-tokoh mistis macam Nyi Roro Kidul atau Nyi Blorong sebagai hantu utama di layar lebar. Peran mereka digantikan oleh pocong.
“Film dulu berkitan dengan mitos. Makin ke sini berkitan dengan pocong. Hantu khas Indonesia hari ini adalah pocong. Dua puluh tahun yang lalu, hantu pocong belum jadi hantu utama. Sesudah reformasi, hantu pocong jadi pemeran utama dan muncul di layar,” ujar Riella.
Jenis hantu pocong, yakni hantu berbungkus kain putih, sebenarnya telah ada sejak lama. Naskah-naskah Jawa kuna menamakan hantu jenis itu “wedon”. “Pocong dan wedon sama. Itu tradisi lisan. Munculnya sejak kapan, agak sulit dilacak,” kata Suwardi Endraswara, dosen bahasa Jawa di Universitas Negeri Yogyakarta. Suwardi menambahkan, wedon termasuk dalam arwah yang belum sempurna (nglambrang) dan menjadi anak buah dari penguasa lelembut di suatu wilayah.
“Jaman Kasunanan Surakarta ke sini itu ada (pembahasan tentang –red.) penguasa-penguasa hantu di tanah Jawa. Dalam karya-karya Ronggowarsito ada yang menyebut tentang wedon. Termasuk ramalan Jayabaya tentang hantu-hantu wedon. Itu ada dalam ramalan jangka,” kata Suwardi.
Kepercayaan soal hantu itu terus bertahan dalam memori masyarakat hingga zaman berganti. Pocong akhirnya menjadi tema atau sekadar peran dalam banyak film horor meski awalnya masih sedikit. Dalam kurun 1970-an hingga 1990-an, peran pocong sebagai hantu utama dalam film bisa dihitung jari. Umumnya, pocong muncul sebagai “figuran”. Film-film yang diperankan Suzanna, misalnya, mayoritas menampilkan sundel bolong sebagai hantu utama. Kemunculan pocong hanya ada sesaat di film Sundel Bolong (1981). Film Setan Kuburan (1975), yang diperankan Benyamin Sueb, juga menampilkan hal tak jauh beda. Pocong muncul baru pada sepertiga terakhir film.
Di Pengabdi Setan (1981) lain lagi, pocong yang muncul lebih mirip sebagai mayat hidup lantaran tak seluruh tubuhnya terbungkus kafan. Pocong yang muncul juga tak independen karena kemunculannya dikendalikan seorang antagonis bernama Darmina (Ruth Pelupessy).
Dari penelusuran Historia, ada sekira 40 film yang menggunakan pocong sebagai judul dan hantu utama. Mayoritas merupakan film-film dari masa setelah reformasi. Sebelum reformasi, hanya film Setan Pocong (1988) yang menampilkan pocong sebagai hantu utama. Meski di tahun yang sama Setan Keramat juga memunculkan hantu pocong, ia tak menjadi hantu utama.
Pasca-reformasi, film pocong muncul pertamakali pada 2006 lewat film garapan Rudi Sudjarwo berjudul Pocong. Namun, Pocong tak lulus sensor LSF karena dianggap terlalu banyak menampilkan adegan kekerasan. Film pocong pun baru muncul beberapa bulan kemudian lewat sekuelnya, Pocong 2. Setelah itu, pocong terus bermunculan mendominasi film-film horor Indonesia.
Menurut Suwardi dan Riella, pergeseran tokoh utama dalam film-film horor di Indonesia bukan tren semata. Itu terkait erat dengan kondisi sosial-budaya, sosial, ekonomi, dan sosial politik masyarakat. “Hantu itu bisa menjadi proyeksi dari ketakutan,” kata Riella.
Di masa lalu, ketakutan itu antara lain diabadikan dalam ramalan Ronggowarsito pada abad ke-19. “Tebu saujun, ana wedon saka lor kulon, akemul mori putih, ateken tebu wulung,” kata ramalan itu. Artinya, ada seonggok batang tebu, ada hantu dari barat laut, berselimut mori putih, bertongkat tebu hitam. Meski secara harfiah ramalan itu tak menyebut hantu pocong, tapi ia menyimbolkan para penjajah, yang dianggap mengganggu, dengan wedon.
Hantu, kata Riella, dengan demikian menyimbolkan ketakutan atau ancaman dalam satu masa. Kemunculan pocong tak mungkin bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat yang teraktual. “Pocong itu kan satu-satunya hantu yang bisa diidentifikasi agamanya. Pocong kan menakutkan di Jawa tapi apa itu menakutkan di Papua di mana Islam tidak dominan?” kata Riella. Banyaknya kemunculan pocong dalam film, menurut Riella, menjadi gambaran betapa wacana Islam dan Jawa begitu mendominasi film horor Indonesia dewasa ini. “Padahal, apa yang menakutkan dari pocong? Dia kan diikat, bukan vampir yang bisa menyedot darah.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar