Awal Mula Pariwisata di Indonesia
Pariwisata di Indonesia diawali oleh perkumpulan dan perorangan yang melakukan perjalanan. Pembentukan organisasi pariwisata meniru Jepang.
Cikal bakal pariwisata di Hindia Belanda yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan suatu perkumpulan olahraga dan gaya hidup (sepeda dan motor), perkumpulan sosial masyarakat dan komersial, serta perseorangan. Orang-orang yang menjadi perintis pariwisata di Hindia Belanda seperti pendeta Marius Buys, wartawan Karel Zaalberg, profesional bidang perhotelan Johan Martinus Gantvoort, pegawai negeri Louis Constant Westenenk, dan militer yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van Heutsz.
“Pariwisata di Hindia Belanda merupakan suatu gagasan dari para individu dan sekelompok individu yang diawali dengan kegiatan perjalanan mengunjungi tempat lain di luar tempat tinggalnya,” tulis Achmad Sunjayadi dalam disertasinya berjudul “Dari Vreemdelingenverkeer ke Toeristenverkeee: Dinamika Pariwisata Di Hindia-Belanda 1891-1942,” yang dipertahankan dalam sidang terbuka senat akademik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 6 Juli 2017.
Mereka mencatat perjalanannya yang memuat tempat-tempat yang dikunjungi, objek-objek yang dilihat, dan tata cara dan kebiasaan hidup di Hindia Belanda. Catatan perjalanan ini kemudian menjadi panduan atau pedoman bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke Hindia Belanda. Namun, ketika datang ke Hindia Belanda, mereka mengeluhkan keadaan pariwisata yang belum terorganisir, tidak ada fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata, seperti pusat informasi dan akomodasi di wilayah yang memiliki objek wisata.
Hal itu menjadi perhatian pemerintah Hindia Belanda, masyarakat, dan swasta, yang melihat ada kebutuhan terkait kegiatan pariwisata, terutama untuk menarik wisatawan datang ke Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah dan swasta membentuk organisasi yang bergerak dalam menangani pariwisata.
“Dalam proses mewujudkan gagasan tersebut, pemerintah Hindia Belanda meniru Kihinkai (Welcome Society) yang dibentuk pada 1893 di Jepang. Perhimpunan pariwisata di Jepang yang mengatur kegiatan pariwisata,” tulis Achmad. Awalnya, Kihinkai belum melibatkan pemerintah sehingga perhimpunan tersebut bersifat nonpemerintah. Kihinkai didukung dan didanai dari sumbangan perusahaan kereta api dan pelayaran swasta, pemilik hotel dan penginapan.
Pada 1907, Konsul Belanda di Kobe, Jepang, J. Barendrecht mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van Heutsz mengusulkan agar pemerintah Hindia Belanda meniru Kihinkai dalam mengelola pariwisata.
Sebelumnya, pada 1905, Karel Zaalberg, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad menuliskan pendapatnya tentang pariwisata yang menurutnya jika dikelola dengan baik dapat menjadi potensi pemasukan besar bagi pemerintah Hindia Belanda. J.M. Gantvoort, direktur Hotel des Indes, juga mengusulkan soal promosi pariwisata di Hindia Belanda.
Akhirnya, pada 13 April 1908, didirikan Perhimpunan Pariwisata (Vereeniging Toeristenverkeer atau VTV) di Batavia. Sebagai perhimpunan pertama di Hindia Belanda, pendirian VTV bertujuan untuk mengembangkan vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) di Hindia Belanda. Struktur organisasi VTV mirip dengan Kihinkai, khususnya dalam bentuk perhimpunan yang terdiri dari para pengusaha dan inisiatif pihak swasta. Seperti Kihinkai, para anggotanya terdiri dari pihak swasta, seperti perusahaan pelayaran, perhotelan, dan perbankan. Pemerintah menempatkan wakilnya dalam susunan pengurus VTV.
Untuk mendukung kegiatannya, VTV memiliki jaringan yang luas baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri, VTV membuka kantor cabang di Surabaya, Semarang, Padang, dan Medan, serta perwakilan di Surakarta, Yogyakarta, Kedu, Singapura, Amsterdam, Hongkong, dan Shanghai. Pada periode berikutnya, VTV juga memiliki perwakilan baru di Amerika, Australia, dan Afrika. Selain itu, upaya lain yang juga dilakukan adalah menjalin kerjasama dengan organisasi sejenis dan lainnya di Belanda guna mempromosikan pariwisata di Hindia Belanda.
Kemunculan VTV turut mendorong menculnya berbagai organisasi pariwisata di tingkat lokal, seperti di Padang, Bandung, Magelang, Malang, Lawang, Yogyakarta, dan Batavia.
Dengan demikian, menurut Achmad, para pelaku yang berperan sebagai penggerak pariwisata di Hindia Belanda adalah masyarakat, swasta, dan pemerintah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar