SEIRING pergantian hari, warga dunia yang terjangkit COVID-19 alias virus corona makin bertambah. Semakin bertambah pula korban jiwa akibat pandemi bak malaikat maut itu.
Di Indonesia, persentasenya kini paling tinggi dari 176 negara. Per Kamis (19/3/2020), kasus positif COVID-19 dilaporkan sudah bertambah menjadi 309. Sementara case fatality rate (CFR)-nya sudah di atas 8 persen, tertinggi dari ratusan negara yang dilanda pandemi COVID-19 lantaran kini sudah 25 pasien yang meninggal.
Pandemi COVID-19 tak pilih-pilih sasaran. Seperti di mancanegara, di Indonesia pandemi itu juga menjangkiti golongan elit maupun kaum melarat. Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, misalnya, COVID-19 menjangkiti Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Baca juga: Karnaval Rio yang disetop sebagai imbas pagebuk COVID-19
Masyarakat yang panik berusaha menyelamatkan diri dengan berbagai cara, tak peduli dengan cara egois bahkan culas. Selain banyak yang menimbun masker dan hand sanitizer, mereka juga memborong sejumlah komoditas herbal macam temulawak.
Kondisi semacam itu sedikit-banyak serupa dengan gambaran The Triumph of Death, salah satu mahakarya pelukis Belanda Pieter Bruegel the Elder. Lukisan cat minyak di atas panel kayu berdimensi 117 cm x 162 cm yang dibuat sekitar tahun 1562 itu sejak 1827 bersemayam di ruang pamer Museo del Prado, Madrid, Spanyol.
Maut Tak Pandang Bulu
Bruegel –atau di beberapa sumber dituliskan Brueghel– pelukis beraliran petit genre dari era Flemish Renaissance itu melukis banyak adegan kengerian tentang kematian akibat Black Death (Maut Hitam) atau Black Plague (Wabah Hitam). Pandemi akibat bakteri Yersinia pestis penyebab pes itu bermula pada tahun 1346.
Pandemi itu kembali melanda Eropa dan seluruh dunia berturut-turut di abad ke-15, 16, dan abad ke-17. Total 200 juta jiwa manusia melayang karenanya. Bruegel, diungkapkan sejarawan seni James Snyder dalam Northern Renaissance Art: Painting, Sculpture, the Graphic Arts from 1350 to 1575, turut melewati dua gelombang pandemi Black Death yang menerjang Eropa pada periode 1563-1566 dan 1573-1588. Maka pandemi Black Death yang mengerikan itu terekam kuat di kepalanya, yang lalu dituangkannya ke atas kanvas.
Dalam lukisan The Triumph of Death, Bruegel menggambarkan banyak detail bagaimana orang-orang menghadapi maut masing-masing dengan latar panorama bumi nan tandus. “Lautan dipenuhi bangkai-bangkai kapal berserakan. Dari tepi pantai terlihat bumi yang tandus dan hangus tanpa kehidupan apapun sejauh mata memandang,” tulis Snyder.
Detail lainnya adalah barisan tengkorak yang hidup dan meneror setiap manusia yang ditemuinya berikut beragam adegan kematian mengerikan. Mulai dari pemenggalan kepala, pembakaran hidup-hidup, penenggelaman, hingga eksekusi dengan roda kereta kuda. Adegan-adegan itu merupakan aneka metode eksekusi mati manusia yang jamak di abad ke-16.
Lalu, penggambaran manusia dari kelas bawah hingga bangsawan yang digiring sejumlah tengkorak hidup ke dalam sebuah peti raksasa. Peti itu ternyata merupakan perangkap kematian berhias salib di atasnya, seiring sejumlah tengkorak membunyikan lonceng kematian.
Baca juga: Pandemi COVID-19 yang memaksa batalnya gelaran Carnevale Venezia
Di bagian kiri bawah, Bruegel menggambarkan seorang raja yang juga tak berdaya. Pundi-pundi emasnya tak bisa menyelamatkannya dari maut. Sementara di kanan bawah, Bruegel menggambarkan kaum yang gemar hidup glamor yang berusaha melawan namun akhirnya gentar ketika berhadapan langsung dengan maut itu sendiri. Ia menggambarkan kaum yang senang hidup foya-foya, judi, dan main perempuan yang mulanya merasa tak takut mati, akhirnya tetap ditelan maut. Begitulah Bruegel mendeskripsikan keadaan manusia “kota” di Eropa yang tak berdaya membendung Black Death.
“Lukisan Bruegel memperlihatkan adegan kepunahan massal, dengan maut dan barisan tengkorak membunuh apa yang ditemuinya, adegan yang merujuk wabah besar (Black Death, red.) yang menewaskan berjuta-juta orang di Eropa. Wabah itu terus terjadi hingga abad ke-19,” tulis Paul Rockett dalam Pieter Bruegel the Elder.
Inspirasi di Balik Karya
Selain melihat sendiri dampak pandemi Black Death, inspirasi Bruegel membuat The Triumph of Death datang dari kisah di Alkitab dan perjalanannya ke Belgia hingga Italia dalam kurun 1551-1555. Penggunaan media panel kayunya terilhami lukisan bertajuk sama, The Triumph of Death, yang pelukisnya hingga kini belum diketahui. Lukisan di tembok itu dia lihat di Palazzo Sclafani di Palermo, Italia.
“Juga tentang tema kematian dengan penggambaran tengkorak yang kemungkinan besar Bruegel terinspirasi lukisan Dance of Death di sebuah pemakaman di Paris yang sudah ada sejak 1424, dan kemudian dibuat ulang di atas panel kayu oleh penerbit Guyot Marchant pada 1485. Dalam lukisan itu juga digambarkan bagaimana sejumlah tengkorak hidup menggiring seorang manusia suci menghadapi maut,” lanjut Rockett.
Baca juga: Kala Black Death Hampir Memusnahkan Eropa
“Penggambaran itu, bahwa manusia baik ia bangsawan maupun rakyat jelata, berbagi penderitaan, merupakan pesan bahwa kematian bisa datang tanpa peringatan. Inspirasi itu kemungkinan besar terilhami dari karya-karya Hans Holbein the Younger (1497-1543) yang lazim membuat karya tentang manusia-manusia yang digiring malaikat kematian menghadapi maut,” lanjutnya.
Inspirasi dari kisah di Alkitab dituangkan Bruegel dalam bentuk seseorang yang dipasung dengan batu di lehernya dan hendak ditenggelamkan oleh sejumlah tengkorak hidup. Kisah itu didalilkan dalam Matius 18:6 yang berbunyi: “Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ditenggelamkan ke dalam laut.” Juga dalam Lukas 17:2 yang berbunyi: “Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, daripada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini.”
Baca juga: Keris dalam Lukisan Rembrandt
Terakhir, tentang simbol betapa lemahnya manusia, terlepas dari kesombongan semasa hidup. Bruegel menggambarkannya dalam satu adegan seorang wanita yang tergeletak di depan sebuah kereta kuda yang hendak melindasnya. Wanita itu memegang kayu gulungan benang dan sebuah gunting, interpretasi Atropos.
Atropos atau Aisa dalam mitos Yunani adalah salah satu dari tiga serangkai Moirai, yakni dewi-dewi yang memegang takdir manusia. Menurut James Baldwin dalam The Story of Atalanta, Atropos digambarkan sebagai dewi yang memegang benang gulung dan gunting karena dari ketiga Moirai, Atroposlah yang berurusan dalam menentukan kematian seorang manusia dengan menggunting benangnya.
Riwayat lukisan itu, menukil laman resmi Museo del Prado, hingga tahun 1591 dimiliki diplomat Italia Vespasiano Gonzaga yang juga Adipati Sabbioneta, sebuah kota di kawasan Lombardia. Lukisa itu lalu berpindah tangan ke sesama bangsawan Isabella Gonzaga sebelum dimiliki Putri Anna Carraffa dari Stigliano pada 1644.
Setelah berpindah tangan kembali pada 1644, lukisan itu menjadi koleksi Ramiro Núñez de Guzmán II, adipati Medina de las Torres. Pada 1746, lukisan itu masuk ke koleksi di Istana La Granja de San Ildefoso setelah dibeli Ratu Spanyol Isabel de Farnesio dan sejak 1827 lukisannya dipindah ke Museo del Prado hingga sekarang.
Baca juga: Hikayat Lukisan Gatotkaca