SEKALI waktu Presiden Sukarno bercengkrama dengan Duta Besar AS, Howard Palfrey Jones. Jones menceritakan tentang keluarganya. kata Jones, dirinya beruntung memiliki seorang putri yang cantik dan dua orang cucu yang lucu. Tiba-tiba Sukarno menimpalinya dengan kelakar. Jones merekam percakapan itu dalam memoarnya, Indonesia the Possible Dreams.
“Kau tentu bukan orang Indonesia,” kata Sukarno kepada Jones. “Orang Indonesia berkembang biak seperti kelinci. Sepuluh, dua belas, empat belas anak. Ini adalah biasa dan kami memiliki negara yang besar.”
Baca juga: Howard Jones, Duta Besar AS Karib Sukarno
Sukarno punya pandangan yang berbeda tentang keluarga berencana sebagaimana yang dimafhumi kini. Alih-alih membatasi jumlah anak, Sukarno menginginkan agar setiap keluarga Indonesia beranak pinak dalam jumlah banyak. Gagasan Sukarno ini sangat dipengaruhi tradisi lama: banyak anak, banyak rezeki.
Menurut Sukarno, kekayaan negeri Indonesia sanggup mencukupi kebutuhan pangan 250 juta orang penduduk. Ini pernah disampaikannya di hadapan para mahasiswa yang akan mengadakan studi tur ke Sumatera, di Istana Negara pada 9 Juli 1963. Sukarno mengajak para mahasiswa itu memahami kondisi objektif wilayah Indonesia guna memecahkan persoalan demografi.
“Jawa sekarang ini mempunyai penduduk 65 juta. Sumatera barangkali bisa memberi makan kepada penduduk 120 juta. Ya wong begitu kok kita mau birth control, Saudara-saudara!,” kata Bung Karno dalam kumpulan pidatonya Warisilah Api Sumpah Pemuda. “(Penduduk) Indonesia sekarang 100 juta, Indonesia bisa memberi makan sedikitnya 250 juta manusia.” Sukarno melanjutkan, selain Jawa dan Sumatera semua wilayah Indonesia menjanjikan untuk kelangsungan kehidupan. Demikian pula halnya dengan Kalimantan, Pulau Seram, Sulawesi, bahkan hingga Irian Barat dengan segala potensi khasnya masing-masing.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Pertama
Bagi Sukarno yang terpenting bukan membatasi kelahiran bayi. Keluarga berencana dapat diterapkan dengan mengatur jarak kelahiran. Idealnya, kelahiran anak dapat direncanakan dalam periode tiga tahun sekali.
“Jangan kok tiap tahun ndhrindhil (lahir) satu, tiap tahun satu, tiap tahun satu, tiap tahun satu. Spacing of birth. Ya tiga tahunlah sekali,” ujar Sukarno.
Dengan metode “tiga tahun seorang anak”, Sukarno mengatakan, ibu-ibu akan tercegah dari kemerosotan secara fisik. Sang ibu juga mempunyai kesempatan untuk mengurus anak-anaknya dengan lebih baik ketimbang punya anak dengan jarak rapat. Dengan demikian, kualitas hidup keluarga tentunya jadi lebih semarak dan berwarna.
Selama dekade 1950-an di masa pemerintahan Sukarno, Firman Lubis dalam Jakarta 1950-1970 mencatat, tingkat kesuburan atau fertilitas pasangan usia subur di Indonesia kisaran 5,7. Artinya rata-rata setiap ibu di Indonesia mempunyai 5,7 anak. Jangan heran kalau banyak keluarga mempunyai anak sekira 5-6 orang.
“Sesudah 1990-an tingkat kesuburan ini turun menjadi 2,7 yang disebabkan terutama karena adanya program nasional KB sejak 1970-an dan perbaikan taraf sosial ekonomi masyarakat,” tulis Firman Lubis.
Baca juga: Malu-Malu Mau pada Kondom
Sukarno sendiri konsisten dengan gagasannya. Pun sepanjang hayatnya, Sukarno merupakan ayah dari banyak anak. Dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno mengenang percakapannya dengan Fatmawati – yang kelak dipersuntingnya sebagai Ibu Negara – kala di pengasingan di Bengkulu. Di suatu sore, ketika keduanya sedang berjalan bersama.
“Saya menyukai perempuan yang merasa berbahagia dengan anak banyak. Saya sangat mencintai anak-anak,” kata Sukarno.
“Saya juga,” balas Fatmawati.
Dan dari Fatmawati, Sukarno memperoleh lima buah cinta pernikahan: Guntur (1944), Megawati (1947), Rachmawati (1950), Sukmawati (1952), Guruh (1953).
Baca juga: Ketika Bung Besar Digugat Cerai