DALAM otobiografinya, Sukarno menyebut beberapa pemuka asing namun punya peran penting. Misalnya, Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, termasuk dua presiden AS: Dwight Eisenhower dan John F. Kennedy. Dari sekian nama, hanya seorang dari kelompok duta besar (dubes) yang paling berkesan bagi Bung Besar.
“Seorang asing yang mengerti kepadaku adalah Duta Besar Amerika di Indonesia, Howard Jones,” kata Sukarno kepada penulis Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. “Kami sering terlibat dalam perdebatan-perdebatan sengit dan pahit, akan tetapi aku semakin memandangnya sebagai seorang kawan tercinta.”
Jones memang piawai mengambil hati Sukarno yang senang sanjungan. Kepada Sukarno, Jones menggambarkan sosok sang presiden sebagai perpaduan antara Franklin Delano Roosevelt, presiden Amerika ke-32 dan Clark Gable, aktor tampan Hollywood. Sebagai lobi-lobi diplomatik, pujian Jones berhasil. Namun Jones bisa jadi tak membual atas ucapannya.
Baca juga:
Howard Jones, Duta Besar Penyambung Jakarta-Washington
Dalam memoarnya Indonesia: The Possible Dream, Jones menguraikan pengalamannya semasa menjadi dubes di Indonesia. Secara gamblang, Jones mengungkap kesannya terhadap Sukarno. “Kesan saya dia adalah seorang lelaki bermata cokelat cemerlang yang luar biasa dengan senyuman berkedip yang membawa kehangatan yang menyejukkan,” ujar Jones.
“Dia (Sukarno) tidak mudah terganggu kecuali kesombongannya yang terlalu kuat disentuh atau emosinya terangsang; maka dia bisa menjadi eksplosif.”
Dari Perang Dunia ke Jakarta
Sebelum menjadi dubes, Jones yang kelahiran 2 Januari 1899 adalah veteran Perang Dunia II untuk Angkatan Darat Amerika. Pangkat terakhirnya kolonel. Selepas perang, Jones bekerja di lembaga donor Amerika (USAID).
Pada 1954, untuk kali pertama Jones berkunjung ke Indonesia dalam kedudukannya sebagai direktur USAID di Indonesia merangkap konselor ekonomi kedutaan. Jones bersua dengan Sukarno. Semula, mereka membicarakan tentang program bantuan ekonomi untuk Indonesia. Sebagaimana dituturkan Jones, percakapan dengan Sukarno malah beralih ke beragam soal: dunia, daging, bintang film, filsafat, hingga keluarga. Jones mengatakan bahwa dia memiliki seorang putri yang cantik dan dua orang cucu. Sukarno tertawa mendengarnya.
Baca juga:
Keluarga Berencana ala Bung Karno
“Kau tentu bukan orang Indonesia,” kata Sukarno. “Orang Indonesia berkembang biak seperti kelinci. Sepuluh, dua belas, empat belas anak. Ini adalah biasa dan kami memiliki negara yang besar.” Menurut Jones, Sukarno adalah orang yang bergairah; mengungkapkan kegembiraan dan antusias dalam semua yang dia lakukan meski kadangkala memiliki sisi kekanak-kanakan yang luar biasa.
Ketika hubungan Amerika-Indonesia memburuk terkait pemberontakan PRRI Permesta, Jones segera ditunjuk pemerintahnya sebagai dubes di Jakarta pada 1958. Misinya di Indonesia tak gampang. Jones harus bisa meyakinkan Sukarno bahwa Amerika tak berniat mengintervensi urusan internal Indonesia. Paul F. Gardner, mantan diplomat Amerika cum sejarawan dalam Fifty Years of U.S.-Indonesian Relations mengatakan, Jones sukses dalam misinya menyembunyikan keterlibatan Amerika dalam gerakan pembangkangan di sejumlah daerah Indonesia.
Doyan Nasi Goreng
Di Jakarta, Jones menempati rumah dinas yang terletak di kawasan elite di Taman Surapati. Ganis Harsono, juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia mencatat, Jones kadang-kadang mengenakan peci ala Indonesia di kepalanya. Setelah beberapa lama tinggal di Jakarta, Jones dan istrinya Marylou mengadakan jamuan mewah untuk Presiden Sukarno dan Nyonya Hartini.
Baca juga:
Hartini, First Lady yang Tak Diakui
“Ini adalah suatu kemenangan diplomatik bagi Jones karena sampai waktu itu belum ada duta besar asing yang berhasil mengundang presiden untuk jamuan makan malam,” ujar Ganis dalam Cakrawala Politik Era Sukarno. Dan sebaliknya, Sukarno mengadakan jamuan balasan.
Sukarno mengisahkan momen kebersamaan dirinya dengan Jones. Pada suatu hari minggu, Jones dan istrinya makan bersama Sukarno ditemani Hartini di salah satu paviliun Istana Bogor. Bagi Sukarno, pertemuan itu penuh nuansa kekeluargaan. Dalam menyambut Jones, Sukarno tak mengenakan sepatu dan hanya mengenakan kaos sport. “Hartini membuat nasi goreng karena, karena dia tahu bahwa keluarga Jones sangat doyan pada nasi goreng ayam,” ujar Sukarno.
Baca juga:
Saling sowan diantara keduanya tak sampai disitu. Rumah kediaman Jones kerap menjadi pusat pesta-pesta Lenso selain di Istana Bogor dan Istana Cipanas. Selama bertahun-tahun Jones selalu menjadi orang pertama yang memulai dansa karena presiden meminta berdansa dengan isterinya.
Selama delapan tahun menjalankan misi diplomatik, Jones telah dengan baik menjembatani hubungan Indonesia dengan Amerika. Sebagaimana diungkap jurnalis kawakan Belanda Willem Oltmans dalam memoarnya Bung Karno Sahabatku, meskipun persekongkolan CIA di Indonesia urung berhenti, “tetapi hubungan dengan Amerika mengalami fase yang relatif tenang, juga dengan adanya Howard Jones sebagai dutabesar di Indonesia.” (Bersambung).