REZA Rahadian mungkin saja satu dari segelintir aktor yang mampu berperan dalam berbagai genre film. Sementara dunia film Indonesia lawas punya nama besar Abdul Hamid Arief, yang bermain baik dalam film-film bergenre drama, aksi, maupun komedi.
Hamid Arief dilahirkan di Jakarta, 25 November 1924. Menurut Wim Umboh dalam majalah Aneka edisi 1 November 1952, studi Hamid harus berhenti di tengah jalan saat masih duduk di bangku MULO―Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah lanjutan setingkat SMP. Sebab, waktu itu Jepang keburu mengambil alih kekuasaan atas Indonesia pada 1942.
Di masa Jepang, Hamid terjun di bidang kesenian. Menurut majalah Siasat edisi 26 Juni 1949, Hamid ikut dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya, sebuah perkumpulan sandiwara besar yang dibentuk pengusaha bioskop era kolonial, Fred Young.
“Selain jadi pemain, Hamid juga mempunyai suara yang lumayan, sehingga dia kadang-kadang memenuhi nomor ekstra selaku penyanyi,” tulis Siasat.
Baca juga: Kiprah Ratmi B-29
Ketika masa revolusi, Hamid berjuang lewat kesenian. Dia bergabung ke dalam rombongan sandiwara Pantjawarna. Menurut Sud M. dalam Minggu Pagi edisi 9 Agustus 1953, Hamid menghibur masyarakat, termasuk tentara dan polisi dengan suaranya yang merdu dan aktingnya yang memikat.
Pada 1950-an, Hamid juga menjadi penyanyi di RRI Jakarta. Dia terkenal dengan suaranya yang empuk. Wim Umboh menyebut, Hamid merupakan anggota orkes pimpinan Ping Astono, dan memakai nama samaran Kelana Djaja.
Anak Emas
Hamid bermain film pertama kali pada 1948. Saat itu, dia menandatangani kontrak kerjasama dengan South Pacific Film Coorporation (SPFC), dan bermain dalam film Anggrek Bulan (1948) bersama Rd. Sukarno dan Iscandar Sukarno.
“Sebagai pemain yang mendampingi Iscandar Sukarno sebagai detektif, ia dapat mengimbangi karakternya, sehingga permainannya tampak kuat, yang menimbulkan kemutuan film tersebut,” tulis Sud M.
Menurut Siasat, film itu dalam satu minggu pemutaran di Palembang mendapatkan keuntungan f.38.000.
Usai sukses dengan Anggrek Bulan, dia berturut-turut bermain di film-film produksi SPFC lainnya, seperti Aneka Warna (1949), Harta Karun (1949), Tjitra (1949), Menanti Kekasih (1949), dan Inspektur Rachman (1950). Setelah itu, dia menyeberang ke Persari dan Golden Arrow.
Baca juga: Bernapas dalam Film Panas
Di perusahaan film Golden Arrow, Hamid memperoleh puncak keemasan. Dia mendapatkan peran utama dalam film-film Golden Arrow selama 1952-1955. Tak heran jika dia mendapat julukan The Golden Boy alias anak emas. Selepas dari Golden Arrow, dia menjadi pemain “bebas”, yang bisa main untuk produksi manapun.
Pada pertengahan 1960-an, ketika dunia film Indonesia lesu, Hamid kembali muncul dalam panggung pertunjukan sebagai penyanyi, pemain, bahkan pelawak. Dunia panggung tak benar-benar ditinggalkannya.
Musuh Pitung dan Benyamin
Pada 1970-an, Hamid bermain di banyak film aksi dan komedi. Perannya sebagai komandan polisi kompeni Scott Heyne dalam film Si Pitung (1970) sangat baik, dan barangkali yang masih diingat para penggemar film. Bukan hanya model rambutnya yang dibuat bule ala Eropa, tapi juga logatnya yang cadel.
Hamid merupakan musuh bebuyutan Dicky Zulkarnaen, yang berperan sebagai Pitung sang jagoan Betawi. Peran Hamid sebagai kompeni berlanjut di film Banteng Betawi (1971). Film ini merupakan lanjutan Si Pitung. Di film ini, Pitung berhasil ditaklukkan dengan peluru emas yang ditembakkan oleh Heyne.
Baca juga: Siapa Sebenarnya Si Pitung?
Lanjutan film itu baru dirilis 10 tahun kemudian, dengan judul Si Pitung Beraksi Kembali (1981). Di sini, Heyne baru kalah, karena tertembak peluru dari anak buahnya yang mental dari tubuh Pitung.
Hamid juga populer karena menjadi “musuh bebuyutan” Benyamin S. Dimulai dari film Benyamin Biang Kerok (1972), lantas Hamid menjadi langganan film-film Benyamin S.
Di film-film Benyamin, Hamid kerap berperan sebagai bapak-bapak galak, yang siap memberondong Benyamin dengan sumpah serapah dan caci maki kasar berlogat Betawi. Benyamin pasti mati kutu dengan omelan dari Hamid di film-filmnya.
Baca juga: Benyamin Sueb Penyambung Lidah Orang Betawi
Mengenai banyak aktingnya di film-film berbagai genre, Hamid sebenarnya hanya menyukai film drama.
“Saya sebenarnya tak punya bakat lawak, saya lebih tertarik pada cerita drama,” katanya dalam buku Apa dan Siapa Orang Indonesia 1926-1978.
Selain di film, Hamid muncul di layar kaca lewat acara Komedia Jakarta. Pada 1977, Hamid menjadi pemimpin produksi untuk film-film Komedia Jakarta Films, seperti Diana (1977) dan Kembalilah Mama (1977). Dia juga bermain dalam serial Rumah Masa Depan. Film terakhirnya, Pengorbanan (1982). Praktis, dia sudah berkiprah dalam 121 judul film.
Pada 1988, Hamid menerima penghargaan Surjosoemanto dari Dewan Film Nasional, atas dedikasinya. Hamid wafat pada 20 Desember 1992. Dia hidup melajang hingga akhir hayatnya.*
Baca juga: Mak Wok, Figuran Sepanjang Zaman