Supinah pergi ke Jakarta mencari suaminya. Bukannya bertemu sang suami, dia malah diperkosa dua orang tak dikenal dalam satu malam. Ketika luntang-lantung di jalan, seorang lelaki menawarinya tempat tinggal. Di rumah lelaki ini, dia diperkosa oleh anak tuan rumah. Dia lalu diusir.
Nasib malang Supinah berlanjut. Dia bertemu suaminya, namun sayangnya sang suami sudah menikah lagi. Dia pun kembali luntang-lantung hingga bertemu dengan Rais. Laki-laki yang menolongnya sekaligus menjerumuskannya ke dalam dunia pelacuran.
Supinah ialah tokoh utama dalam film Bernafas Dalam Lumpur (1970) yang dibintangi oleh Suzanna dan Rahmat Kartolo. Film yang disutradarai oleh Turino Djunaedy ini merupakan salah satu film Indonesia pertama yang menonjolkan adegan seks, pemerkosaan, dan dialog kasar. Setelah Bernafas Dalam Lumpur, film-film dengan resep serupa menjadi populer di Indonesia.
Resep Populer
Pada 3 Oktober 1966, Menteri Penerangan Burhanuddin Mohammad Diah mengeluarkan kebijakan yang membuka keran film impor selebar-lebarnya. Tujuannya untuk menghidupkan kembali dunia perfilman Indonesia serta membari hiburan murah bagi masyarakat. Sejak itu, film-film Amerika Serikat mulai membanjiri bioskop-bioskop tanah air.
Ekky Imanjaya, dosen film Universitas Bina Nusantara, menyebut impor film juga menjadi salah satu cara pemerintahan Soeharto untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia. Namun, film-film Holywood yang diimpor kala itu ternyata banyak yang mengandung unsur kekerasan dan seks.
“(Agar bisa masuk) maka salah satu yang dijalani adalah memperlonggar sensor,” kata Ekky kepada Historia.
Semenjak itu, pada dekade 1970-an, bumbu-bumbu seks menjadi resep populer pembuatan film. Mulai dari situ pula, dunia perfilman Indonesia mulai mengenal istilah baru, yaitu film seks dan bomb sex.
Baca juga: Suzanna “Bangkit” dari Kubur
Film seks merujuk pada film-film yang memasukan unsur seks di dalamnya sebagai bumbu. Sedangkan bomb sex, dipakai untuk menyebut bintang film yang berani bermain dalam film seks, lebih tepatnya bintang yang berani memainkan adegan seks, meskipun tidak terang-terangan.
Setelah Bernafas Dalam Lumpur, beberapa film dengan adegan seks di antaranya, Bumi Makin Panas (1973) dan Akibat Pergaulan Bebas (1977). Pada dekade 1980-an muncul film Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) yang menghebohkan.
Pembalasan Ratu Laut Selatan berkisah mengenai balas dendam Ratu Laut Selatan (Suzanna) kepada seorang pria yang telah mempermalukannya. Ratu Laut Selatan menggunakan jasad Wanda (Yurike Prastika) untuk balas dendam. Setiap laki-laki yang bersetubuh dengan Wanda akan mati karena di dalam alat kelamin Wanda terdapat seekor ular. Terdapat pula adegan seks perempuan asing dengan dua orang laki-laki di dalam mobil.
Baca juga: Panjang Umur Lembaga Sensor
Meski adegan seks tidak ditunjukkan terang-terangan, film ini sempat menimbulkan banyak protes karena mengeksploitasi seks. Sempat ditarik oleh Badan Sendor Film (BSF), lalu ditayangkan kembali pada 1994 setelah kena sensor.
Sedangkan pada dekade 1990-an, film dengan unsur seks bahkan bisa diketahui hanya dari judulnya saja, seperti Wanita Dalam Gairah (1994), Bebas Bercinta (1995), Akibat Bebas Sex (1996), dan Gairah Seksual (1997).
Film yang Laku
Kritikus film J.B. Kristanto dalam "Kerepotan Dunia Film Indonesia (2) Bagaimana Seksnya Hot Nggak?" termuat dalam Nonton Film Nonton Indonesia, menyebut distributor juga berperan terhadap berjamurnya film-film tersebut.
“Buat apa adegan ‘a’ itu? Potong saja. Mustinya ditambah seksnya. You bikin film terbalik sih. Drama 70 persen, seks 30 persen. Dibalik perbandingan ini,” kata seorang distributor kepada seorang produser seperti ditulis Kristanto.
Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali ditanyakan oleh distributor kepada produser. Film-film kemudian dibuat dengan memperhatikan pendapat-pendapat distributor yang dianggap mengetahui selera penonton.
“Perlombaan untuk semakin hot pun terjadi. Seorang produser bisa saja meminta sutradara membuat adegan-adegan ranjang yang benar-benar hot. Adegan ini tentu saja akan dipotong oleh sensor, tapi still fotonya toh bisa diperlihatkan kepada distributor untuk menarik hari mereka,” tulis Kristanto.
Merebaknya film-film dengan bumbu seks nampaknya membuat pemerintah dilema. Bila sensor diperketat, dunia perfilman menjadi lesu. Sedangkan jika sensor dilonggarkan, pemerintah mendapat kritik dari masyarakat.
Baca juga: Artis Indonesia dan Bom Sex
Di sisi lain, masyarakat juga terbelah. Di samping muncul protes dari berbagai pihak, nyatanya film-film "panas" juga jadi favorit. Film-film dengan unsur seks seringkali meraup ratusan ribu penonton, sedangkan film tanpa unsur seks hanya ditonton ribuan hingga puluhan ribu saja.
“Ada kontradiksi. Pemerintah ingin film berkualitas. Sedangkan penonton harus diberikan yang mereka suka,” kata Ekky.
Kerepotan tak hanya sampai di situ, persoalan lain mengenai penyensoran muncul. Film Pembalasan Ratu Laut Selatan misalnya, yang sempat ditarik dari peredaran rupanya beredar versi home video-nya di luar negri. “Sensornya banyak yang lost. Karena post produksinya di Hongkong,” kata Ekky.
Usaha untuk menampilkan wajah perfilman Indonesia yang dianggap lebih berkualitas daripada film-film "panas" itu pernah dilakukan Pokjatap Prosar (Kelompok Kerja Tetap Promosi dan Pemasaran Film Indonesia di Luar Negeri).
“Di sana, ingin memasukan film Indonesia yang 'sebenarnya' tapi gagal,” kata Ekky.
Sebuah Kritik
Eksploitasi terhadap seks dan perempuan seringkali menjadi sorotan badan sensor dan sebagian masyarakat. Namun, di sisi lain, ada pula film-film menggunakan adegan seks namun bukan sebagai jualan utamanya.
“Tergantung kita baca film yang mana juga sih. Film-film Usmar Ismail misalnya, punya kritik sosial yang sangat keras. Kebetulan untuk itu harus ada adegan (seks) itu,” kata Ekky.
Ekky mencontohkan film Ananda (1970) karya Usmar Ismail. Ananda (Leni Marlina) terenggut keperawanannya oleh lelaki yang kemudian meninggalkannya. Ananda kemudian bergaul dengan anak berandal hingga masuk penjara. Adegan-adegan berbau seks dan dunia malam banyak ditemui dalam film ini.
Film Ananda, menurut Ekky, tidak menggunakan adegan-adegan seks untuk menarik penonton semata, melainkan terdapat kritik di dalamnya. “Bukan mengeksploitasi tubuh, melainkan punya kritik yang kuat,” kata Ekky.
Baca juga: Membersihkan Najis dari Film
Hal ini juga bisa dilihat pada film Bernafas Dalam Lumpur. Suatu malam, Supinah yang telah berganti nama menjadi Mila, masuk ke sebuah kelab bersama seorang laki-laki. Orang-orang yang tahu kalau dia pelacur menggunjing dan menertawakannya.
Laki-laki yang bersama Mila malu dan mengajaknya keluar. Mila menolak.
“Biarin mereka ketawa,” kata Mila membuat orang-orang terdiam.
“Mereka ketawa karena aku pelacur. Pernah aku mau berhenti jadi pelacur, mereka juga ketawa. Lalu kapan mereka tidak lagi menertawakan perempuan-perempuan seperti aku? Sungguh munafik. Orang-orang yang di mulut mencela maksiat, tapi sembunyi-sembunyi makan tai di luar rumah,” kata Mila.