Masuk Daftar
My Getplus

Benyamin Sueb Penyambung Lidah Orang Betawi

Benyamin Sueb mewakili perasaan umum orang Betawi yang kian terpinggirkan. Suaranya aspirasi orang Betawi. Dia tak tergantikan.

Oleh: Bonnie Triyana | 14 Jul 2010
Benyamin Sueb. (Adhitya Maheswara/Historia.id).

Ketika Ben wafat pada 5 September 1995, sontak semua stasiun televisi, untuk beberapa jam lamanya, menunda program acaranya dan menggantinya dengan acara in memoriam Benyamin Sueb. Hal itu seakan meneguhkan sebuah pameo: seseorang baru berarti ketika dia mati.

Ben sangat berarti, paling tidak buat orang Betawi. Ia juga memperkaya khasanah dunia hiburan kita.

Ben menghadirkan realitas. Wajah Ben adalah potret orang Betawi. Akting Ben di dalam film adalah realita keseharian orang Betawi: yang acapkali harus menerima nasib tersingkirkan oleh derap pembangunan kota Jakarta. Namun di antara segala penderitaan itu selalu terselip rasa humor yang tinggi, seperti juga yang dilakukan Ben dalam setiap aksi panggung dan filmnya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Benyamin Sueb Ikon dari Kemayoran

Begitulah Ben, gambaran orang Betawi yang apa adanya, lugas, dan terbuka. Ben dibesarkan dalam tradisi Betawi yang kental dan justru karena itulah menurut penulis skenario dan sutradara senior Misbach Yusa Biran membuat Ben jadi orisinil.

“Ben punya bakat alami dan itu didorong oleh latar belakang kebudayaannya sebagai orang Betawi. Hidupnya serba humor, apa saja bisa jadi bahan lawakan,” kata Misbach yang pernah jadi menyutradarai film yang dibintangi Ben.

Banyolan Ben bukannya tanpa isi sama sekali. Ia piawai menyelipkan kritik di dalam setiap celetukan, dialog, dan lewat syair lagunya. Bahkan lagu "Pungli" (1977) karya Ben mendapat penghargaan dari Pangkopkamtib Soedomo karena dianggap membantu pemerintah memerangi korupsi saat itu. Sementara itu lagu "Salah Comot" karya Ben yang belum sempat dipublikasikan, beberapa tahun lalu diserahkan oleh pihak keluarga kepada KPK untuk dijadikan lagu antikorupsi. Syair lagu "Salah Comot" itu tak berkurang nilai kritiknya kendati penuh canda.

Gara-gara Siti Hawa

Adam dibuang ke Bumi

Yang tadinya hidup di surga

Gara-gara Siti Hawa yang kolokan dengan suami

Adam yang patuh ilahi kena bujukan sang bini

Adam disuruh Hawa korupsi untuk curi buah kuldi

Adam dan Hawa kena murka Perintah Tuhan dilanggarnya

Mereka diusir dari surga (swarga ceuk sunda)

Menyesal pun tiada guna

 

Dari itu, wahai sang bini Jangan paksa sang suami membujuk korupsi

Akhirnya ditangkep polisi

Semua bagai perumpamaan

Untukmu wahai perempuan

Kuatkan kau punya iman

Agar hidup di dunia aman

Aman dan tentram

Dari itu, nyok kita berenti korupsi (stop stop stop)

Syair lagu "Salah Comot" itu tak berkurang nilai kritiknya kendati penuh canda. Ben justru taktis. Menyampaikan kritik bernada humor membuatnya jauh dari jeratan hukum penguasa Orde Baru yang kala itu sedang jaya-jayanya.

Misbach menilai Ben sebagai orang yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan tak pernah minder kendati berpendidikan rendah. “Dia itu seniman polos apa adanya. Saya lihat dulu perkembangannya cukup pesat. Tadinya dia seniman biasa, tapi lama-lama dia berani tampil bersama Bing Slamet dan seniman terkemuka lainnya. Rasa percaya dirinya tinggi, dia tak pernah minder,” kata Misbach.

Baca juga: Benyamin Sueb, Perkutut Berhenti di Lampu Merah

Sementara itu menurut sejarawan J.J. Rizal kehadiran Ben di panggung hiburan nasional menjadi representasi keluguan orang Betawi. Ia “maujud dari seluruh kebudayaan Betawi,” kata Rizal.

Lagu "Superman" yang dinyanyikan Ben dengan syair dialek Betawi bercampur bahasa Inggris yang blepotan seperti hendak meneguhkan figur orang Betawi yang datang dari pinggiran kota Jakarta dan jauh dari bangku sekolahan. Dengan menyanyikan lagu-lagu yang bersyair nyeleneh dan ngocol Ben ingin mengatakan ada ketidakadilan yang menimpa orang Betawi.

Ben adalah bentuk respons orang Betawi terhadap sebuah zaman yang menjadikan pembangunan sebagai dewa sementara itu masyarakat justru terasing dari pembangunan itu sendiri.

Baca juga: Benyamin Sueb Ngider Ngelenong Ngerap

Jauh sebelum Ben orang Betawi pernah punya M.H. Thamrin. Thamrin juga mewakili suara orang Betawi dalam arus besar pergerakan nasional Indonesia. Thamrin adalah simbol respons orang Betawi terhadap penjajahan sementara Ben mewakili perasaan umum orang Betawi yang tersisihkan dari kampungnya sendiri.

Ben tak tergantikan sampai hari ini. Pertanyaannya apakah memang karena kepiawaian Ben yang sulit tertandingi atau masyarakat Betawi sudah mandul sehingga tak lagi bisa menghasilkan tokoh sekaliber Ben?

“Tokoh seperti Ben cuma lahir seabad sekali, seperti juga Pramoedya dalam dunia kepenulisan kita,” kata sejarawan Rizal.

Baca juga: Benyamin Sueb, Raja Lenong Main Film

Menurut Rizal masyarakat Betawi dewasa ini menghadapi begitu banyak persoalan yang membuatnya semakin terpinggirkan dan hal itulah yang membuat kebudayaan Betawi tak bisa bertahan serta menghasilkan tokoh sekaliber Ben.

“Orang Betawi kehilangan kebudayaannya karena habitat hidupnya semakin lama semakin tersingkirkan,” ujar Rizal.

Sulitnya menemukan tradisi Betawi dalam berbagai prosesi perhelatan adat menurut JJ Rizal menandakan kebudayaan Betawi secara perlahan hilang tergerus zaman.

“Coba liat aja di mana kita bisa nemuin acara buka ‘palang pintu’ dalam prosesi pernikahan adat Betawi?” kata Rizal.

Lantas apakah kita harus menyelamatkan terlebih dulu kebudayaan Betawi yang hampir punah dan pernah melahirkan tokoh seperti Ben? Atau menunggu seratus tahun lagi untuk dapat melihat aksi seorang seniman sekaliber Ben?

TAG

benyamin sueb film musik

ARTIKEL TERKAIT

Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Komponis dari Betawi Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea God Bless di Mata Roy Jeconiah Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Sisi Lain dan Anomali Alexander