MELIHAT pertunjukan tari gandrung membuat hati ingin turut menari. Suara sindennya manja. Ditingkahi irama gending gamelan nan rancak dan iringan nada tinggi-rendah biola yang menyayat.
Kehadiran biola, yang notabene alat musik gesek dari Barat, membuat pertunjukan gandrung kian menarik. Jarang ditemui sebuah kesenian tradisional menggandeng biola sebagai salah satu unsur dalam pementasan.
Dalam pementasan gandrung, biola membantu melodi lagu-lagu yang dinyanyikan sang penari. Biola dan vokal terjalin erat dan isi-mengisi. Keduanya membangun melodi lagu dan menentukan gerak tari. Maka, posisi penggesek biola (baola) menjadi sentral. Pemain biola tak melihat usia, tua atau muda. Asalkan mumpuni dalam memainkan biola, bisa ikut terjun dalam pementasan.
Beberapa waktu lalu, komunitas Banyuwangi Tempo Doeloe mengunjungi seorang pemain biola gandrung yang sudah senior. Dia adalah Mbah Timbul dari daerah Mangir, sebuah desa di Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi.
“Saya mulai pegang baolah sejak tahun 1930-an. Lalu setelah cukup mahir mulai ikut dalam pementasan pada tahun 1940-an. Tidak ada guru. Ya cuma ikut melihat pas latihan lalu coba-coba sendiri. Hasilnya dulu tidak mesti, kadang dapat 15 rupiah, kadang sampai 100 rupiah,” ujarnya kepada tim Banyuwangi Tempo Doeloe, yang diunggah di laman Youtube dengan nama BTD channel.
Pengaruh Eropa
Gandrung merupakan salah satu kesenian asli dan tertua Banyuwangi. Kemunculan gandrung berkaitan erat dengan seblang, ritual suku Osing di Banyuwangi untuk keperluan bersih desa dan tolak bala. Sementara tari seblang mirip dengan tari sang hyang di Bali, yang di masa lalu ditemui juga di Banyuwangi dengan sebutan tari sanyang.
“Lintasan gerak dan pose-pose dasar ketiga tarian tersebut pun masih menunjukkan banyak kesamaan,” tulis Sal M. Murgiyanto dan A.M. Munardi dalam Seblang dan Gandrung.
Perubahan dan adaptasi pun mengiringi perkembangan kesenian gandrung. Gandrung, yang awalnya dibawakan penari laki-laki, kemudian diisi penari perempuan. Begitu pula dengan penggunaan instrumen musiknya.
Baca juga: Tarian yang Mempesona
“Susunan orkes gandrung berubah lagi sejak Mak Midah mulai menyelenggarakan pertunjukan gandrung dengan Semi sebagai penari gandrung putri yang pertama pada tahun 1895. Kala itu, mulai menggunakan instrumen diatonik biola,” tulis Bambang Sularto dalam Kesenian Rakyat Gandrung dari Banyuwangi.
Semi kerap disebut-sebut dalam lahirnya kesenian gandrung. Tapi apakah Semi pula yang kali pertama menggunakan biola butuh penelitian lebih jauh.
Murgiyanto dan Munardi menuturkan kisah masuknya biola dalam pertunjukan gandrung. Konon, seorang pemain musik Barat, belum jelas apakah dari Prancis atau Belanda, secara kebetulan menyaksikan pertunjukan gandrung. Mendengar nyanyian dan musik pengiringnya yang erotis, dia tertarik. Diambilnya biola miliknya dan dia pun ikut bermain. Ternyata dihasilkan suara “baru” yang dianggap enak.
“Masyarakat Banyuwangi pun agaknya sangat terpesona akan barang baru ini, dan selanjutnya menggunakannya di dalam pertunjukan gandrung mereka,” tulis mereka.
Baca juga: Merawat Kisah Nabi Yusuf
Jaap Kunst dalam Music in Java (1937) menyebut penggunaan dua biola sebagai musik pengiring gandrung terjadi belum begitu lama. Biola menggantikan alat musik yang disebutnya sebagai “shawms” –sebuah alat musik kuno dengan dua buluh, yang merupakan bentuk mula dari oboe. Murgiyanto dan Munardi menduga alat musik itu sejenis serunai, terompet, atau bahkan seruling.
Dalam tari sanyang, musik pengiringnya terdiri dari seruling, kendhang, dan gong. Seruling berfungsi sebagai pembentuk melodi. Tapi pada pertunjukan gandrung, posisinya diambil-alih biola sebagai pengganti seruling. Seblang, yang mempergunakan kendhang, gong, dan kenong untuk memperjelas pola irama, kemudian ikut menggunakan biola –terutama seblang di Bakungan.
“Agaknya orang lebih suka memainkan alat musik yang baru (biola) daripada harus menghabiskan napas semalam suntuk untuk meniup seruling. Memainkan biola nampaknya juga lebih ‘maju’ daripada meniup seruling dan gesekannya pun mampu mengatasi vokal manusia,” tulis Murgiyanto dan Munardi.
Penambahan biola tentu saja membuat iringan musik gandrung semakin tajam dan berwarna.
Improvisasi
Secara fisik, biola yang digunakan dalam gandrung tidak berbeda dengan biola Barat. Tapi cara dan teknik memainkannya berbeda. Ini disebabkan sistem penggunaan senarnya.
“Pada instrumen biola barat senar yang digunakan untuk biola sopran adalah senar G-D-A-E dengan ukuran terbesar hingga senar E yang terkecil. Dalam seni pertunjukan gandrung, biola tidak menggunakan senar G-D-A-E tetapi menggunakan sistem senar G-D-D-A dan tidak menggunakan senar yang paling terkecil yaitu senar E,” tulis Irfanda Rizki Harmono Sejati dalam “Biola dalam Seni Pertunjukan Gandrung Banyuwangi”, dimuat jurnal Harmonia, Desember 2012.
Baca juga: Seblang Menolak Bala
Selain itu, untuk cara memakainya, biola gandrung diletakkan di atas siku kanan sebelah kiri. Kemudian ada teknik-teknik khusus, dengan istilah lokal, untuk menghasilkan nada-nada improvisasi dari melodi aslinya seperti rageman, ngrangin, ngembat.
Kini, seiring kemeriahan Banyuwangi Festival yang rutin digelar setiap tahun, kesenian gandrung semakin ramai dan digemari pengunjung. Implikasinya banyak orang bisa menikmati dan ikut merawat kesenian ini. Pun kesejahteraan pemain gandrung menjadi semakin baik. Apalagi, mulai muncul generasi-generasi muda di bawah Mbah Timbul yang giat dan menyenangi seni tradisi.