Suatu pagi di bulan November 1945. Suasana pertemuan di rumah Perdana Menteri Sutan Sjahrir itu berjalan begitu serius. Semua orang menyimak sungguh-sungguh semua perkataan orang ketiga di Republik Indonesia saat itu. Sekali-kali ada tanya dan perdebatan.
Di tengah keseriusan tersebut, tetiba seorang pemuda berpakaian agak dekil memasuki ruangan rapat. Dalam gaya slengean, dia menuju meja Sjahrir dan mengambil beberapa batang cerutu.
“Selamat pagi , Bapak Perdana Menteri. Ada yang sedang penting rupanya. Saya interupsi sebentar, cuma buat ini kok…” ujarnya seperti dikisahkan oleh Sjuman Djaya dalam bukunya yang berjudul Aku.
Tak ada orang yang tersinggung dengan kelakuan “songong” itu. Selain semua sudah mafhum dengan watak semau gue-nya, Chairil Anwar (nama lelaki muda tersebut) pun memang memiliki hubungan istimewa dengan Sjahrir. Ya Chairil tak lain masih merupakan keponakan dari Si Bung Kecil (panggilan akrab Sjahrir).
Baca juga: Ketika Bung Sjahrir Pergi
Kendati dikenal “kurang beretika”, Chairil merupakan penyair yang handal di zaman-nya. Jurnalis kawakan almarhum Rosihan Anwar pernah berkisah bagaimana Charil sering berlaku bak “singa” di pentas-pentas seni: berdeklamasi dalam gaya memukau dan menyala-nyala.
Pada era revolusi, bagian Kesastraan Pusat Kebudayaan di Jakarta yang dipimpin oleh sastrawan Armijn Pane kerap mengadakan malam deklamasi yang dihadiri oleh para para penyair dan peminat sastra.
“Suatu malam saya mendapat giliran mendeklamasikan sebuah sajak dari golongan Pujangga Baru,” tutur Rosihan Anwar dalam Menulis dalam Air, Sebuah Otobiografi.
Rosihan sudah menghafalkan sajak itu di luar kepala. Itu dilakukannya sebab deklamasi dengan membaca dari sehelai kertas atau dari sebuah buku menurut kelaziman saat itu, bukanlah dianggap sebagai seni deklamasi. Maka tampillah Rosihan diiringi lantunan nada piano yang dia mainkan sendiri. Semua orang terpukau.
Tamat Rosihan berpuisi, dilanjutkan dengan acara diskusi membahas isi dan sajak-sajak yang telah dibacakan. Di tengah riuh rendah orang berdiskusi, tetiba seorang anak muda kurus kerempeng, bermata merah bak saga dengan baju lusuh dan rambut acak-acakan angkat bicara.
Dia mengeritik sajak-sajak generasi Pujangga Baru sudah tidak relevan dengan zaman yang sudah jauh berubah. Tak ada vitalisme dalam sajak-sajak karya para penyair Pujangga Baru.
“Sajak harus mengandung vitalisme! Saudara mau contoh?” kata sang pemuda yang tak lain adalah Chairil Anwar itu.
Charil lalu lalu berdeklamasi. Dia membawakan sajaknya sendiri yang berjudul Aku Binatang Jalang. Dalam bagian akhir sajaknya itu, Chairil seolah mengajukan tantangan: aku hendak hidup 1000 tahun lagi. Inilah kali pertama sajak-nya yang legendaris itu dibacakan di depan khalayak.
“Chairil Anwar memang meninggal pada 1949. Tetapi saya rasa kepenyairannya akan terus dikenang dan dibicarakan orang, 1000 tahun lagi. Insya Allah,” ujar Rosihan.
Baca juga: Pertempuran Dua Jurnalis Perang
Tidak hanya hebat dalam soal menciptakan dan membaca puisi, Chairil pun dianggap memiliki jiwa patriot yang lumayan besar. Sjuman Djaja menulis jika Chairil sangat terpengaruh dengan suasana revolusi yang saat itu tengah berkecamuk di Indonesia.
Saat mengikuti kawan-kawannya hijrah ke Karawang pada 1947, Chairil menyaksikan langsung bagaimana militer Belanda menghabisi orang-orang sebangsanya. Dia pun diam-diam marah dan terluka. Sepulang dari Karawang muncullah sajak Krawang-Bekasi.
Krawang-Bekasi kali pertama dibacakan dalam obrolan malam antar penyair dan peminat sastra di sebuah kedai yang terletak di Pasar Senen. Menurut J.C. Princen dalam otobiografinya, Kemerdekaan Memilih, dia ingat saat itu dirinya hadir dan ikut menyimak puisi tersebut.
“Sajak ini sangat bagus…” ujar Princen.
Chairil cukup mengenal Princen. Dia tahu juga bahwa serdadu Belanda itu diam-diam menyimpan simpati kepada perjuangan kemerdekaan kaum republik sehingga bisa jadi dia berpikir anak muda Belanda itu merupakan “sasaran empuk” untuk menjadi obyek propaganda-nya.
Namun tidak hanya memuji, Princen juga mengeritik posisi Chairil Anwar yang dia anggap “tidak cukup bertanggungjawab” terhadap sikap nasionalisme-nya. Dia mengejek Chairil hanya bisa “enak duduk-duduk di rumah sambil menulis-nulis dan menyerahkan pada orang lain guna menyelesaikan pekerjaan berat ini.”
“Apa kalian memang hebat untuk tidak berkelahi?” tantang Princen.
Baca juga: Bogem Mentah untuk Chairil Anwar
Tentu saja, pernyataan nakal Princen itu disambut dengan geram oleh Chairil dan kawan-kawan republik-nya. Mereka pun balik mengeritik sang serdadu yang seolah sudah merasa cukup nyaman hanya dengan memiliki rasa simpati terhadap perjuangan orang-orang republik.
“Kalau kau memang lebih tahu, apa yang kau kerjakan di sini sekarang? Apa kau lebih baik dibandingkan orang Jepang atau orang Jerman?” jawab Chairil dalam nada tajam.
“Bila aku tidak bisa berbuat lain lagi, maka aku akan aktif berada di pihak kalian, karena aku pikir kalian ini yang benar,” ujar Poncke.
“Apa ini berarti bahwa kamu akan menjadi musuh dari kawan-kawanmu, orang Belanda?” tanya Chairil lagi.
“Bukankah kalian semua adalah kawanku? Apakah seorang Belanda yang mati lebih buruk dari seorang Indonesia yang mati?” jawab Princen.
Sontak semua terdiam.
Perdebatan itu memang berakhir begitu saja dan dilupakan dengan acara ngopi-ngopi dan merokok. Hampir delapan bulan kemudian setelah perdebatan panas itu, pada 28 April 1949 Chairil Anwar meninggal muda (27 tahun) akibat komplikasi.
Princen sendiri saat itu tengah menyabung nyawa melawan kawan-kawan sebangsanya di hutan-hutan Sukabumi dan Cianjur. Janji yang diucapkannya kepada Si Binatang Jalang di Pasar Senen untuk sehidup-semati dengan orang-orang republik digenapi lelaki Den Haag itu dengan sempurna.
Baca juga: Perburuan Desersi Princen