Minggu pagi, 10 April 1966. Dalam suasana Paskah, Jakarta yang baru saja tenang dari demonstrasi-demontrasi mahasiswa tetiba terhenyak. Antara menyiarkan sebuah berita duka: Sutan Sjahrir meninggal di Zurich (Swis). Kantor Berita milik pemerintah Republik Indonesia (RI) itu mengutip keterangan dari seorang jurnalis Reuters (Kantor Berita Kerajaan Inggris).
“Reuters sendiri mendapat berita itu dari seorang petugas rumah sakit tempat Sjahrir dirawat,” ungkap wartawan senior Indonesia, Rosihan Anwar dalam Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir.
Tokoh pejuang sekaligus Perdana Menteri RI yang pertama itu pergi meninggalkan seorang istri, Siti Wahjuni Poppy Saleh (yang dinikahinya pada 1951) dan putra-putri yang masih kecil: Krya Arsjah alias Buyung (9) dan Siti Rabyah Parvati alias Upik (5).
Baca juga:
Tiga tahun sebelumnya…
Presiden Sukarno lolos dari upaya pembunuhan di Jalan Cendrawasih, Makassar. Tuduhan langsung dilontarkan kepada orang-orang Republik Persatuan Indonesia (RPI), yang merupakan terusan dari pemberontakan Pemerintah Revolusiener Republik Indonesia (PRRI).
Tak lama kemudian Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Majelis Sjura Moeslimin Indonesia (Masjoemi), dua partai politik yang sebagian anggotanya terlibat dalam RPI, dibubarkan. Pembubaran itu diikuti aksi penangkapan para tokoh PSI dan Masjoemi.
“Didesas-desuskan bahwa sesuatu menunjuk ke arah 'Bali connection'…” ungkap Rudolf Mrazek dalam Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia.
“Bali connection” merupakan istilah Soebandrio, Kepala Badan Poesat Intelijen (BPI) untuk sebuah kelompok rahasia yang merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Lebih jauh tuduhan kemudian mengarah kepada pimpinan-pimpinan PSI dan Majsoemi, termasuk Sutan Sjahrir.
Sukarno sendiri nampaknya percaya terhadap informasi dari BPI tersebut. Itu dikatakan sang presiden dalam otobiografinya, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (disusun oleh penulis Amerika Serikat, Cindy Adams).
“Aku dapat memahami bila ada yang tidak puas (kemudian) berusaha untuk membunuhku. Oleh karena itu, aku juga mengerti bahwa aku harus membalas dan berusaha mendapatkan mereka. Beberapa waktu yang lalu, Sjahrir merencanakan komplotan untuk menggulingkanku dan merenggut pemerintahan…”
Kawan lama Sukarno dan Sjahrir, Mohammad Hatta, sempat meyakinkan sang presiden bahwa kepercayaannya itu adalah salah. Lewat sepucuk surat dia mengatakan kepada Si Bung Besar (panggilan akrab Presiden Sukarno) bahwa meskipun Sjahrir tidak segan melakukan oposisi yang keras dalam berpolitik (seperti zaman pergerakan), namun untuk mengikuti cara teror, Hatta menegaskan ketidakpercayaannya.
“Sjahrir dan lainnya itu secara prinsip menentang segala macam teror dalam politik karena bertentangan dengan sosialisme dan peri-kemanusiaan,” ujar Hatta seperti dikutip Rosihan Anwar.
Tapi nampaknya Si Bung Besar lebih mempercayai penjelasan kepala intel-nya dibandingkan kawan lamanya itu.
Baca juga:
Tujuh Upaya Membunuh Presiden Sukarno
Jakarta, 16 Januari 1962.
Sekira pukul 04.00. Beberapa petugas dari Corps Polisi Militer (CPM) menggeruduk rumah Sjahrir di Jalan H.O.S. Cokroaminoto No. 61. Pagi itu juga, dia diambil dan ditahan di mess CPM, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Tiga hari kemudian Sjahrir bersama tahanan-tahanan lainnya dipindahkan ke wilayah selatan Jakarta (Jalan Daha, Kebayoran Baru). Tepat tiga bulan setelah penangkapannya, dia dipindahkan lagi. Kali ini lebih jauh: ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun.
Menurut Rosihan Anwar, di Madiun-lah pada 16 November Si Bung Kecil (panggilan akrab kawan-kawannya kepada Sjahrir) tekanan darah tingginya kembali kambuh. Dia kemudian dibawa ke RSPAD Jakarta. Setelah 8 bulan dirawat dan dianggap sembuh, Sjahrir kembali dipindahkan ke sebuah rumah di Jalan Keagungan, Jakarta.
“Di sinilah kondisi kesehatannya terus mundur karena tak ada perawatan dokter yang teratur,” ujar Rosihan.
Dalam situasi yang sulit seperti itu, tetiba pada 9 Februari 1965, Bung Sjahrir dipindahkan ke RTM di Jalan Budi Utomo, Jakarta. Padahal menurut Rosihan, RTM Budi Utomo sangatlah tidak layak untuk Sjahrir mengingat tempat itu merupakan penjara tua yang tidak memenuhi standarisasi kesehatan yang layak. Terlebih di sana, Sjahrir ditempatkan pada sebuah kamar yang lembab (persis di sebelah kamar mandi/toilet).
“Dan selama hari-hari pertama di sana, kiriman makanan diet-nya dari rumah tidak boleh masuk sama sekali,” kenang Rosihan.
Akibat berbagai faktor tersebut, pada 22 Februari 1965, Sjahrir mengalami stroke pertamanya di RTM Budi Utomo. Beberapa waktu kemudian, dia mengalami stroke kedua-nya saat berada di kamar mandi. Kawan-kawan sepenjaranya sudah melakukan protes agar Sjahrir cepat dibawa ke rumah sakit. Namun Si Bung memilih bertahan.
“Biar dulu, biasanya setelah setengah menit juga akan berlalu,” katanya.
Kendati sempat reda, namun beberapa jam kemudian seorang prajurit berteriak minta tolong karena melihat Sjahrir kembali roboh. Semua kawan-kawannya mengupayakan agar dia cepat ditolong oleh seorang dokter. Namun karena itu memerlukan izin khusus dari Jaksa Agung dan saat diupayakan tak jua tiba izin-nya, pertolongan untuk Sjahrir menjadi tertunda.
“Barulah keesokan harinya dengan susah payah Bung Sjahrir dapat diangkut ke RSPAD,” ujar Rosihan.
Baca juga:
Makanan Hatta dan Sjahrir di Pengasingan
Siang itu, Hasjim Ning bergegas menemui Presiden Sukarno. Pengusaha nasional yang dikenal dekat dengan Hatta, Sjahrir dan Sukarno sendiri itu sebelumnya mendapat berita: Sjahrir stroke dan sedang tergolek di RSPAD. Karena dikabari bahwa Sjahrir tidak bisa ditangani oleh dokter dalam negeri, maka satu-satunya jalan dia harus berobat ke luar negeri. Persoalannya, izin untuk ke sana harus langsung dapat dari presiden.
“Bapak, Bung Sjahrir sudah demikianparah sakitnya. Kalau tidak berobat ke luar negeri, tak lama lagi ia akan mati,” ujar Hasjim begitu berhadapan dengan Bung Karno.
Alih-alih merasa tersentuh, Presiden Sukarno malah memperlihatkan kejengkelannya dengan permohonan itu.
“Mengapa kamu ribut-ribut tentang Sjahrir?” katanya dalam nada tidak suka.
“Aku banyak berutang budi kepadanya,” jawab Hasyim.
“Kamu. Orangnya sendiri tidak minta.”
“Aku yang minta.”
“Kamu bukan saudaranya. Kamu tidak siapa-siapanya,” jawab Sukarno meninggi.
Dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang (disusun oleh A.A. Navis), Hasyim menyatakan keputusasaannya atas jawaban Sukarno. Tapi muncul ide untuk menghubungi Poppy Sjahrir agar bicara langsung kepada sang presiden.
Namun sebelum itu dilakukan, rupanya Bung Karno berubah pikiran. Sejarah mencatat, dia kemudian memberikan izin kepada Sjahrir untuk berobat ke luar negeri.
“Hanya di surat yang mengizinkan Sjahrir meninggalkan negeri, Sukarno dilaporkan menambah syarat: Tidak ke Negeri Belanda,” demikian penulis Mrazek mengungkapkan.
Maka dipilihlah Swiss sebagai tujuan berobat. Salah satu alasannya karena Poppy menguasai sedikit bahasa Jerman (bahasa yang banyak digunakan di Swiss). Mereka bertolak dari Bandara Kemayoran pada 25 Juli 1965.
Tetapi kepergian ke Swiss ternyata tidak memberikan perubahan yang berarti. Setelah 9 bulan bergelut dengan rasa sakit dan kerinduan akan tanah air, Bung Kecil akhirnya pergi untuk selama-lamanya: tepat hari ini 54 tahun yang lalu.
Baca juga: