Enam hari setelah tiba di Pontianak pada 15 November 1972, Komandan Satgas 42/Kopassandha Mayor Sintong Panjaitan mengambil-oper tugas dari Satgas 32. Sebagaimana satgas yang digantikannya, Satgas 42 ditempatkan di bawah Kodam XII/Tanjungpura untuk tugas operasi penumpasan gerombolan komunis bersenjata –Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) maupun Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku)– yang semasa Dwikora merupakan sekutu militer Indonesia dalam menghadapi Malaysia.
“Sejak tahun 1965, Mako RPKAD telah menempatkan pasukannya di Kalimantan Barat secara bergantian. Setelah terjadinya peristiwa penyerangan gudang senjata di Pangkalan Udara Sintang II, operasi penumpasan gerombolan komunis di Kalimantan Barat semakin ditingkatkan,” tulis Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.
Sintong segera putar otak mencari konsep operasi yang tepat agar operasinya tidak berlarut-larut. Dia merapatkannya dengan jajaranya. Upaya mereka makin keras lantaran dia tak mendapat informasi memadai mengenai kekuatan lawan. Alhasil, mereka terpaksa memulai semua perencanaan operasi tempur dari nol.
Dari pembelajaran terhadap fakta-fakta yang ada, Sintong menyimpulkan berlarut-larutnya operasi sebelumnya karena beberapa kelemahan. Salah satu yang terpenting yakni operasi terbentur pada garis batas negara Indonesia-Malaysia. Akibatnya, pengejaran yang dilakukan terhadap lawan acapkali gagal karena lawan berhasil menyeberang ke wilayah Malaysia –begitupun sebaliknya, militer Malaysia kerap gagal menangkap buruannya karena keburu menyeberang ke wilayah Indonesia. Bertolak dari situ, Sintong mengubah konsep daerah operasi dari yang awalnya sejajar dengan garis batas negara menjadi tegak lurus.
Baca juga: Sintong Dikerjai Tape Recorder Kala Berupaya Merebut RRI
Untuk itu, kerjasama dengan Tentera Diraja Malaysia tetap dilanjutkan. “Kerjasama di bidang operasi keamanan sepanjang daerah perbatasan ini telah terjelma sejak permulaan tahun 1967 yang dirintis oleh Pangdam XII Brigjen Ryacudu dan dilaksanakan dengan baik dan berhasil sekali oleh Panglima Brigjen A.J. Witono. Panglima Brigjen Soemadi yang sekarang, lebih memperluas serta mengintensifkan kerjasama operasi pemulihan keamanan perbatasan ini dengan pihak Malaysia,” tulis Dinas Sejarah Militer Kodam Tanjungpura dalam Tandjungpura Berdjuang: Sedjarah Kodam XII/Tandjungpura.
Dengan kesepakatan yang diambil bersama komandan BIM 3 Brigadir Tunku Nazaruddin, pasukan Sintong maupun pasukan Nazaruddin dapat bebas melintasi batas negara ketika mengejar buruan sekalipun mereka menyeberangi batas kedua negara. Sebagai lanjutan dari kesepakatan itu, Satgas 42 dan BIM 3 menggelar Operasi Garu.
“Pengendalian operasi berada di bawah satu tangan, yaitu di tangan Sintong sebagai Komandan Operasi Garu dengan nama sandi Rajawali 1,” tulis Hendro.
Dalam pertempuran di Gunung Kanyi, 3 Maret 1973, Kompi Para-Komando (Parako) yang dipimpin Kapten Muryono menewaskan anggota gerombolan bernama A Fong. Jasad A Fong, yang tewas mempertahankan bivak, tak sempat dibawa teman-temannya karena kondisi mereka terdesak.
Baca juga: Baret Merah Bikin Inggris Berdarah-darah
Informasi tersebut meyakinkan Sintong bahwa ada hal penting di balik bivak itu sehingga dipertahankan mati-matian oleh lawan. Dia segera memerintahkan Kepala Seksi 1/Intelijen Kapten Hendropriyono mendatangi bivak itu untuk mencari hal-hal penting.
Benar saja. Hendro berhasil menemukan sebuah surat berbahasa Tiongkok yang dibungkus kantong plastik di salah satu tiang bivak. Surat itu ternyata berisi pertanyaan A Fong kepada istrinya soal kabar kedua anak lelaki dan kedua anak perempuannya.
Berbekal informasi itu, Hendro segera menuju Desa Paloh guna mencari janda A Fong. Dia lalu mendapati janda beranak empat kendati belum tahu pasti itu orang yang dicarinya atau bukan. Setelah melaporkan pada Sintong dan mendapat restu, Hendro melakukan pendekatan pada perempuan itu.
Kendati hubungan keduanya kian hari kian dekat, perempuan itu masih belum terbuka kepada Hendro, terutama soal suaminya. Jika ditanyakan keberadaan suaminya, perempuan itu hanya hanya menjawab bahwa suaminya merantau ke Pontianak.
Hendro tak patah arang. Hubungan baik tetap dia jaga. Terlebih Sintong telah memerintahkan agar tidak menggunakan kekerasan dalam mengorek informasi agar tidak menyesatkan. Perhatian lebih pun diberikan Hendro kepada perempuan itu. Hendro bahkan sampai meminta Wa-Dan Satgas 42 Mayor Justam memberi santunan kepada perempuan tersebut.
Perhatian berlebih itu tentu membuat si perempuan menjadi kian dekat dan terbuka. Saat itulah Hendro mengeluarkan “jurus” untuk mengorek identitas pasti si perempuan. Dia menceritakan kepada si perempuan bahwa ada seorang anggota gerombolan yang tewas di hutan ditembak kawan-kawannya karena hendak menyerah.
Perempuan itu pun kaget dan penasaran mendengar cerita Hendro sehingga menanyakan siapa yang dimaksud. Dia lalu ditunjukkan sebuah foto oleh Hendro yang tak tahu pasti nama A Fong lantaran seringnya berganti nama. Si perempuan sontak menangis dan berteriak begitu melihat foto tadi.
“Reaksi istri A Fong dapat memastikan bahwa janda beranak empat itu adalah istri gerombolan yang telah tertembak mati dalam pertempuran di Gunung Kanyi,” tulis Hendro Subroto.
Hendro langsung melaporkan kepada Sintong bahwa orang yang dicarinya telah didapatkan. Setelah itu, dia terus membina hubungan baik dengan istri A Fong. Dari perempuan itulah Hendro kemudian mendapat banyak informasi berharga mengenai gerombolan. (Bersambung)