DEPRESI Besar yang melanda Amerika Serikat pada 1930-an mengubah banyak aspek dalam kehidupan masyarakat di Negeri Paman Sam. Lemahnya daya beli imbas krisis ekonomi membuat mereka harus memutar otak untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tak hanya mencari alternatif untuk kebutuhan pangan, para penduduk khususnya yang berada di kawasan perdesaan miskin juga mulai membuat pakaian dari berbagai karung bekas pakan hewan tepung, gula, maupun biji-bijian.
Menurut Inez Brooks-Myers, Heather Vaughan Lee dan Katherine Hill Winters dalam “Feed Sack Dress”, termuat di Artifacts from American Fashion, istilah-istilah seperti “goni”, “karung pakan ternak”, atau “karung tepung” paling sering digunakan untuk menggambarkan karung-karung kain yang digunakan untuk membungkus suatu produk dan digunakan kembali –seringkali oleh para perempuan pedesaan– tidak hanya untuk membuat pakaian yang diperlukan untuk diri mereka sendiri dan keluarga mereka pada masa-masa sulit di tengah krisis ekonomi, tetapi juga sebagai upaya untuk berhemat dalam penggunaan sumber daya keluarga.
Memanfaatkan teknik menjahit yang dimilikinya, para perempuan tersebut menyulap karung bekas pakan ternak –umumnya ayam dan kelinci– serta karung-karung lain yang berbahan osnaburg, percale, maupun muslin untuk membuat gaun, kemeja, pakaian dalam, celemek, pakaian anak-anak, serbet, hingga gorden.
Baca juga:
“Karung kain ini sangat berguna untuk membuat pakaian anak-anak, karena kainnya dapat dipakai dengan baik dan tak menghabiskan biaya yang banyak untuk pembuatannya. Mengingat pertumbuhan anak-anak yang seringkali berlangsung cepat membuat mereka membutuhkan pakaian yang lebih banyak dan berumur pendek,” tulis Brooks-Myers, Lee dan Winters.
Selain berkaitan erat dengan tumbuhnya praktik menjahit di rumah dan penjatahan dalam kehidupan sehari-hari imbas krisis ekonomi, munculnya tren pakaian daur ulang ini juga berkaitan dengan sejarah penggunaan karung dalam pengemasan produk di Negeri Paman Sam. Di Amerika Serikat pada abad ke-19, bahan makanan umumnya dikemas dalam tong kayu. Namun pada pertengahan 1840-an, mesin jahit yang baru ditemukan memungkinkan produksi karung berbahan kain yang lebih efisien. Pada akhirnya memasuki abad ke-20, mayoritas pabrik telah beralih dari tong kayu ke karung untuk menampung berbagai komoditas yang akan dipasarkan secara luas.
Meningkatnya popularitas pakaian yang terbuat dari karung di wilayah pedesaan Amerika Serikat yang miskin membuat pakaian ini kerap dikaitkan dengan kemiskinan. Kendati banyak dilirik, tak sedikit pula yang masih malu menggunakannya karena sentimen yang berkembang di kalangan masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di perkotaan.
Di sisi lain, tren pakaian daur ulang yang semakin diminati oleh masyarakat Amerika di tengah Depresi Besar mendorong para produsen karung untuk membuat kantong-kantong yang lebih menarik dan beragam, baik secara warna, hiasan, maupun bahan tekstil yang digunakan. Gloria Nixon menulis dalam Feedsack Secrets: Fashion from Hard Times bahwa pada 1936, Arkansas City Flour Mills Company memperkenalkan sesuatu yang baru kepada pelanggan mereka, yaitu tepung yang “dikemas dalam karung warna-warni dari kain yang sangat bagus, yang dapat didaur ulang oleh setiap ibu rumah tangga."
Baca juga:
Pakaian Mewah pada Masa Jawa Kuno
Karung-karung tersebut tersedia dalam warna-warna pastel seperti warna merah muda, lavender, kuning, biru hingga cokelat. Selain diproduksi dengan berbagai warna, karung tepung ini juga hadir dalam berbagai ukuran yang memberi ide bagi para ibu rumah tangga untuk mendaur ulang karung tersebut menjadi berbagai barang, mulai dari pakaian orang dewasa, pakaian anak-anak, hingga untuk benda-benda keperluan sehari-hari. Seperti yang telah diprediksi, karung tepung berwarna pastel ini segera menarik perhatian masyarakat, khususnya para ibu rumah tangga.
Perubahan cara pandang terhadap pakaian dari karung berperan besar dalam menumbuhkan minat terhadap karung beragam warna, motif, dan ukuran. Menurut Linda Przybyszewski dalam The Lost Art of Dress: The Women Who Once Made America Stylish, Depresi Besar tak hanya memopulerkan karung sebagai bahan pembuatan pakaian, tetapi juga menumbuhkan kesadaran untuk berhemat kepada masyarakat. Program-program penyuluhan mengenai pentingnya mendaur ulang pakaian dilakukan di berbagai tempat dan kontes-kontes pakaian dari karung pun rutin digalakan.
Dengan demikian, bila sebelumnya orang-orang mendaur ulang karung menjadi pakaian karena terhimpit keadaan yang memaksa mereka, seiring berjalannya waktu, pakaian dari karung justru menjadi tren fashion yang banyak digandrungi, khususnya para perempuan muda. Tak butuh waktu lama hingga karung-karung beraneka warna dan bermotif modis muncul di pasaran. Para produsen bahkan memberikan tata cara untuk menghilangkan gambar atau tulisan merek mereka agar para konsumen tak malu menggunakan pakaian yang terbuat dari karung.
Meski begitu, Depresi Besar bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan tren pakaian dari karung menjadi populer di Amerika Serikat. Keikutsertaan Negeri Paman Sam dalam Perang Dunia II pada tahun 1940-an memicu pembatasan kain yang membuat karung menjadi semakin dicari untuk dijadikan pakaian di masa perang.
“Di masa Perang, kapas dan wol sangat dibutuhkan untuk kelengkapan para tentara di garis pertempuran. Guna memastikan bahwa tidak ada satu yard pun benang yang terbuang untuk pakaian sipil, Dewan Produksi Perang mengeluarkan Perintah L-85 dengan instruksi khusus tentang konstruksi garmen. Tak hanya itu, dari November 1942 hingga Januari 1943, Dewan Produksi Perang juga mengeluarkan Perintah M-2221 yang menetapkan batasan ukuran untuk karung,” tulis Nixon.
Baca juga:
Membentang Sejarah Pakaian Garis-garis
Sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan perang, pemerintah mengampanyekan kepada masyarakat bahwa dengan berhemat dan memproduksi pakaian dari bahan-bahan alternatif, mereka telah membantu negara untuk memenangkan perang. Propaganda inilah yang kemudian semakin menggencarkan produksi pakaian dari karung di Negeri Paman Sam. Alih-alih terkesan sederhana, pakaian-pakaian tersebut dirancang dengan pola dan desain yang menarik sehingga memberikan kesan stylish bagi pemakainya.
Semangat patriotisme yang digaungkan melalui propaganda pemerintah mendorong para perempuan untuk membuat sellimut bertema patriotik guna mengumpulkan uang bagi upaya perang. Sejumlah perkumpulan pun muncul, di mana para perempuan dapat saling bertukar karung untuk keperluan masing-masing. Demam pakaian dari karung mencapai puncaknya setelah berbagai media menyoroti penggunaan karung untuk pakaian yang kemudian mengakibatkan meningkatnya pejualan karung selama tahun-tahun perang.
Setelah perang berakhir, tren untuk mendaur ulang pakaian terus berlanjut. Namun, peningkatan kemakmuran di Amerika Serikat setelah perang membuat tren karung sebagai bahan pembuatan pakaian dan perabotan rumah tangga menjadi tidak menarik dan tidak diperlukan lagi di sebagian besar rumah. Selain itu, mayoritas industri komoditas juga telah beralih dari karung berbahan kain ke kantong kertas berdinding ganda. Meski kontes menjahit masih berupaya untuk mempertahankan minat terhadap karung, mode tren membuat pakaian dari karung menghilang setelah tahun 1961.