Membentang Sejarah Pakaian Garis-garis
’Pakaian bermotif garis-garis di Abad Pertengahan menjadi penanda bagi mereka yang terbuang dan tidak bermoral. Maknanya berubah pada Abad Pencerahan, motif garis-garis menjadi simbol kebebasan.
TAK sulit menemukan pakaian bermotif garis vertikal maupun horizontal di toko-toko busana. Layaknya tren fashion yang tengah populer dan digandrungi berbagai kalangan, beragam jenama mode seakan berlomba memamerkan koleksi mereka dengan motif ini. Desain pakaian bermotif garis-garis ini pun beraneka rupa, ada yang memadukan dua warna atau lebih ke dalam satu pakaian, tak sedikit pula yang berani berkesperimen dengan menggabungkan motif garis vertikal dan horinzontal agar terlihat lebih menarik.
Tak berbeda dengan masa kini, pakaian motif garis-garis juga menarik perhatian orang-orang di masa lalu. Dalam artikelnya di The Medieval Broadcloth: Changing Trends in Fashions, Manufacturing and Consumption, “Marbled, Patterned and Parti-coloured Clothing in Medieval Scandinavia”, Camilla Luise Dahl menulis bahwa pakaian multi-warna dan bermotif, termasuk garis-garis, telah umum digunakan pada akhir abad ke-13 hingga abad ke-14. Dalam konteks Eropa, beberapa ahli berpendapat bahwa pakaian berwarna-warni dan multi-warna dapat ditelusuri kembali ke periode awal Abad Pertengahan, sedangkan hose atau celana khusus pria yang memiliki banyak warna dapat ditemukan sejak abad ke-10. Meski begitu, ada pula yang berpendapat bahwa kehadiran pakaian multi-warna berkaitan erat dengan perkembangan lambang-lambang kerajaan.
Baca juga:
Yang menarik, saat membahas tentang motif garis-garis di Abad Pertengahan motif ini kerap dikaitkan dengan pelanggaran tatanan sosial yang menyebabkan kekacauan dan kegaduhan. Menurut sejarawan Prancis Michel Pastoureau dalam The Devil’s Cloth: A History of Stripes, sebuah peristiwa yang terjadi di Prancis pada abad ke-13 dapat menjadi gambaran bagaimana motif ini tidak disukai dan justru dianggap memalukan oleh masyarakat di masa lalu.
“Sebuah skandal terjadi di Prancis pada pertengahan abad ketigabelas. Pada akhir musim panas 1254, tepatnya ketika Louis IX, yang juga disebut Santo Louis, kembali ke Paris setelah Perang Salib yang gagal, penawanan yang dramatis, dan tinggal di Tanah Suci selama bertahun-tahun. Sang raja tidak kembali sendirian. Ia membawa sejumlah biarawan yang baru saja tiba di Prancis dan, di antara mereka, beberapa orang dari Kelompok Karmelit. Karena merekalah skandal itu terjadi: mereka mengenakan jubah bermotif garis-garis,” tulis Pastoureau.
Segera setelah kedatangan mereka di Paris, orang-orang Karmelit menjadi korban ejekan dan pelecehan dari penduduk. Orang-orang menunjuk dan meneriakkan hinaan kepada mereka; mereka diejek dengan julukan “les frères barrés” atau saudara-saudara yang dipasung, sebuah ungkapan yang sangat merendahkan, karena barrés dalam bahasa Prancis kuno tidak hanya berarti garis-garis tetapi juga berbagai tanda yang tidak sesuai dengan hukum.
Kontroversi mengenai jubah garis-garis yang digunakan orang-orang Karmelit tidak hanya terjadi di Prancis. Di kota-kota di Inggris, Italia, Provence, dan Languedoc, dan di lembah-lembah Sungai Rhone dan Rhine, di mana permukiman kelompok Karmelit mulai berdiri, mereka menjadi korban dari penduduk dengan cara yang sama. Terkadang, tindakan digabungkan dengan kata-kata dan kekerasan fisik menyertai pelecahan verbal. Kehebohan mengenai jubah garis-garis yang digunakan orang-orang Karmelit pada akhirnya diketahui oleh Paus Alexander IV yang pada awal 1260-an secara tegas memerintahkan orang-orang Karmelit untuk meninggalkan jubah bergaris mereka dan memilih menggunakan jubah polos.
“Tak semua orang Karmelit mematuhi perintah tersebut. Beberapa dari mereka yang berada di Rhineland, Spanyol, dan Hungaria menolak untuk mematuhinya dan terus mengenakan pakaian itu sampai tahun-tahun pertama abad keempat belas. Namun demikian, pada 1295, dalam sebuah bulla yang secara khusus menyatakan hal ini, Paus Bonifasius VIII mengukuhkan perubahan jubah tahun 1287 dan dengan sungguh-sungguh menyatakan kembali larangan mutlak untuk mengenakan pakaian bergaris-garis bagi para biarawan dari semua ordo keagamaan,” jelas Pastoureau.
Bagi mereka yang hidup di Abad Pertengahan, motif garis-garis terkait erat dengan orang-orang buangan dan tidak bermoral. Belakangan, dalam masyarakat awam, ada kebiasaan, hukum, dan peraturan yang mengharuskan orang buangan untuk mengenakan pakaian dua warna atau bergaris-garis. Dalam hukum adat Jerman pada awal Abad Pertengahan, pakaian seperti itu dikenakan atau diperuntukkan bagi para penjahat, budak, dan orang-orang yang dikutuk. Begitu juga dalam dekrit mengenai pakaian yang berkembang di kota-kota di Eropa selatan pada akhir Abad Pertengahan. Terkadang wanita penghibur, tukang sulap dan badut, serta algojo yang diharuskan mengenakan pakaian yang seluruhnya bergaris, atau lebih sering, aksesoris seperti syal, gaun, atau aglet untuk wanita penghibur; celana panjang atau tudung kepala untuk algojo; doublet atau topi untuk tukang sulap dan badut. Sementara di tempat lain, terutama di kota-kota Jerman, perintah serupa berlaku untuk penderita kusta, orang lumpuh, hingga mereka yang menjalani gaya hidup Bohemian.
Baca juga:
Sentimen negatif terhadap motif garis-garis juga terlihat dalam teks-teks naratif dan sastra serta gambar-gambar yang diproduksi pada Abad Pertengahan. Pada suatu gambar yang menampilkan orang-orang sedang beraktivitas di jalan, semua yang berada di luar tatanan sosial sering ditandai dengan memakai pakaian garis-garis atau aksesori dengan motif tersebut, baik karena kutukan (pemalsu, penipu, pengkhianat, penjahat) atau karena kelemahan (penderita kusta, pengangguran, orang miskin, orang munafik, orang yang berpikiran dangkal, orang gila). Selain itu pakaian garis-garis juga digunakan untuk menandai mereka yang bekerja sebagai pelayan maupun budak, atau terlibat dalam pekerjaan yang dianggap buruk seperti tukang sulap, wanita penghibur, algojo, pandai besi, tukang jagal yang sering disebut haus darah, dan tukang giling. Mereka yang bukan atau tidak lagi menjadi orang Kristen juga kerap digambarkan mengenakan pakaian garis-garis.
“Dengan demikian, mereka yang mengenakan pakaian bermotif garis-garis ini dianggap melanggar tatanan sosial, seperti pola garis-garis yang dianggap melanggar tatanan warna dan tatanan pakaian,” tulis Pastoureau.
Di sisi lain pandangan yang berbeda mengenai motif garis-garis terlihat di kalangan masyarakat sekuler, di mana kain atau pakaian dengan motif ini justru dianggap sebagai barang mewah. Menurut Riina Rammo dalam Ambiguous Stripes – A Sign for Fashionable Wear in Medieval Tartu, termuat di Everyday Products in the Middle Ages: Crafts, Consumption and the Individual in Northern Europe C. AD 800-1600, pakaian bermotif garis-garis dan warna-warni menjadi modis dan meluas pada abad ke-14. Meski memiliki asosiasi negatif yang kuat dengan orang-orang buangan, tidak bermoral, dan kaum miskin, pakaian garis-garis mulai dikenakan oleh semua orang, baik kaya maupun miskin.
“Pada akhir abad ke-14, mulai terjadi pergeseran dari preferensi terhadap warna-warna cerah ke spektrum yang lebih gelap, dan garis-garis berwarna cerah juga mulai memudar dari mode kelas atas,” tulis Rammo.
Seiring dengan penggunaan motif garis-garis yang semakin luas, tak lagi terbatas pada pakaian maupun lambang, tetapi juga mulai terlihat di dekorasi interior, furnitur, hingga dunia bahari, pemaknaan baru terhadap motif ini mulai muncul. Motif garis-garis tidak lagi dianggap merendahkan.
Menurut Pastoureau, ancien régime memiliki andil dalam pergeseran pandangan ini. Ancien régime melihat terbitnya pemaknaan yang lebih positif terhadap motif ini, di mana motif garis-garis yang meningkatkan status, tidak hanya mengumumkan ‘’terbitnya era baru’’, tetapi juga tampaknya hampir menggeser motif garis-garis yang dahulu dianggap rendah dan memalukan. Pada saat yang sama, dominasi garis-garis horizontal mereda dan motif garis vertikal yang pada Abad Pertengahan jarang digunakan, berkembang semakin luas.
‘’Kepatuhan yang ketat pada dua warna tidak lagi menentukan medan garis. Pola garis-garis itu sekarang bisa berupa tiga warna, empat warna, bahkan polikromatik, dan jarak yang sama di antara garis-garis yang mendefinisikan garis-garis tersebut tidak lagi menjadi aturan mutlak,’’ tulis Pastoureau.
Baca juga:
Sementara itu Jude Stewart menulis dalam Patternalia: An Unconventional History of Polka Dots, Stripes, Plaid, Camouflage, & Other Graphic Patterns bahwa pemaknaan positif terhadap motif garis-garis semakin berkembang luas di era Pencerahan. Garis-garis tidak hanya membersihkan gaya visual yang berantakan pada masa itu, tetapi juga menjadi lambang kebebasan dan pemikiran yang bebas dan tercerahkan.
Selama Revolusi Prancis, garis-garis memangkas hierarki sosial. Para penentang ancien régime mengenakan mawar bergaris merah, putih, dan biru. Bunga-bunga ini disematkan pada mantel panjang dengan ekor, dengan garis-garis yang berdekatan.
“Karena motif garis-garis tak lagi dipandang negatif, semua orang bisa memakainya. Di Eropa abad ke-18, kita menemukan, pola garis-garis digunakan secara luas dan berdampingan, pola garis-garis kaum aristokrat dan petani, pola garis-garis untuk pakaian liburan dan pola garis-garis untuk sehari-hari, pola garis-garis yang eksotis dan pola garis-garis domestik,’’ tulis Pastoureau.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar