ARY SUDARSONO, legenda bola basket Tanah Air, punya kenangan tersendiri terhadap sosok Presiden Sukarno. Dalam sejumlah kesempatan formil, Ary seringkali tampil mengenakan busana resmi ditambah songkok hitam khas Sukarno. Dia memakainya agar tampak seperti Bung Karno, idolanya sejak belia. Karena itulah sesekali ia memperlihatkan foto-foto Sukarno yang tersimpan di galeri foto smartphone-nya, termasuk foto kamarnya yang dihiasi satu potret besar Bung Karno.
Ary mengakui, sikapnya terhadap Bung Karno itu berkebalikan dari ayahnya, Sudarsono Brotomidjojo. “Ya bapak gue yang ikut pasang meriam ke Istana (Peristiwa 17 Oktober 1952) tuh. Waktu jadi tentara ikut Pak Nas (Abdul Haris Nasution). Meskipun dia akui Sukarno orang hebat,” ujar Ary kepada Historia.id.
Ngapel ke Istana Dijemput Tjakrabirawa
Kekagumannya pada Sukarno beriringan dengan keterpesonaannya pada putri bungsu Bung Besar, Sukmawati Soekarnoputri. Sejak Sekolah Rakyat (SR) hingga SMA di Perguruan Cikini, Ary jadi teman satu sekolah Sukma. Witing tresno jalaran soko kulino, Ary pun kepincut Sukma. Pada 1963, Ary jadi satu dari sekian ABG yang mengais cinta anak keempat Sukarno itu.
“Gue dulu hampir jadi mantunya Sukarno. Pacaran sama Sukma, kita satu sekolah dulu. Sebenarnya belum pacaran serius. Suka-sukaan aja gitu. Ya cinta monyet lah. Tapi karena gue suka telepon, diajak main dong ke Istana. Dulu di sekolah paling cakep dia, primadonanya di sekolah,” kenangnya.
Baca juga: Salam Olahraga! Apa Kabar Ary Sudarsono?
Ary sering ngapel ke Istana meski hanya bisa di hari Minggu. Pasalnya, setiap Sabtu Bung Karno lebih sering ke Istana Bogor menemui istri ketiganya, Hartini. Saat ke Istana pun, Ary harus dijemput pasukan Tjakrabirawa karena tak sembarang orang bisa masuk Istana.
“Kalau malam Bung Karno pulang dari Bogor, diajak makan malam. Biasanya makan bareng. Ada Rahma (Rachmawati Soekarnoputri) sama pacarnya, Mega (Megawati Soekarnoputri) juga ada pacarnya. Gue yang paling bertahan lama karena gue suka olahraga. Bung Karno paling senang sama orang yang suka olahraga,” tutur Ary mengingat masa belianya.
Kala itu, Ary Sudarsono memang sudah menggeluti basket. Ia juga menggandrungi judo. Ia pun mengaku sering diberi Bung Karno wejangan soal olahraga yang berkaitan pembangunan karakter bangsa mengingat di tahun itu si Bung bikin Ganefo (Games of the New Emerging Forces).
“Karena sering ketemu Bung Karno itu gue diindoktrinasi soal nation character building lewat olahraga. Dia juga pernah kasih wejangan, ‘Buatlah kalimat sampai dengan titik’, katanya. Karena dulu masih muda banget, gue tanya artinya ke bapak. Katanya, artinya elo harus menjadi generasi penerus, berbuat sesuatu untuk bangsa sampai benar-benar jadi. Lewat bidang apapun, selesaikan sampai tuntas,” paparnya.
Baca juga: Moncong Meriam Menodong Istana
Namun, Prahara 30 September 1965 memporak-porandakan Bung Karno dan keluarganya. Hubungan Ary dengan Sukmawati pun kena imbas. Namun, Ary tetap menjaga pertemanannya hingga kini. “Pernah beberapa kali bertemu habis itu, lalu enggak pernah lagi karena gue enggak tahu mereka diungsikan ke mana. Enggak boleh tahu juga,” katanya.
Ary mengaku tak mengerti betul apa yang terjadi dengan Sukarno. Ia masih pelajar SMP, belum melek politik. Bertanya pada sang ayah pun, Ary tak mendapat jawaban yang memuaskan.
“Susahnya punya bapak yang tidak Sukarnois. Dia bilang, ‘elo pelajarin sendiri aja deh. Orang gue ikut pasang meriam ke Istana, malah elo tanya gue!’ Tapi dari mana-mana gue cari tahu sendiri. Ya kesalahannya Bung Karno cuma satu. Dia enggak mau bubarin komunis. Ya itu keyakinan seseorang sih ya, Bung Karno ingin kasih lihat negara lain bahwa Nasakom bisa bersatu. Tapi itu yang ditentang orang-orang termasuk Angkatan Darat,” tutur Ary.
Ritual di Istana Bogor
Juni 2001 di Istana Bogor menjadi momen tak terlupakan dalam hidup Ary. “Itu waktu di Istana Bogor, Haul ke-100 Bung Karno. Dipanggillah beberapa artis, seperti Ferdi Hasan, Anjasmara. Tapi dari kuncen istananya, malah saya yang ditunjuk. Waktu itu gue tampil membawakan adegan Sukarno memberi wejangan. Aduh, gue lupa waktu itu wejangan apa yang gue dialogkan,” kenang Ary.
Baca juga: Ary Sudarsono Si Peluit Emas
Untuk keperluan itu, Ary diminta menginap sebelum acara. Ia lalu diinstruksikan oleh bagian rumahtangga istana untuk berjalan keliling istana tanpa sehelai pakaian pun.
“Disuruh ritual dulu. Jam 12 malam gue telanjang. Jalan mengitari istana. Terus putaran ketiga, gue naik ke atas. Sampai di atas balik badan lihat jalanan. Ada suara macam-macam, termasuk suara Bung Karno dengan bahasa Belanda. Dari atas gue lihat arah jalanan juga ngelihatnya banyak lampu warna-warni kayak karnaval. Setelah itu kata kuncennya, ‘besok Anda tampil sudah akan seperti Bung Karno sungguhan’,” tandas Ary.