KENDATI usianya nyaris kepala tujuh, sosok presenter olahraga populer RCTI era 1990-an itu bicaranya masih lugas. Terlebih jika membicarakan bola basket, olahraga yang mengorbitkan namanya, dia jadi berapi-api.
Lama menghilang dari sorotan publik, Ary Sudarsono, pria tadi, berkenan menerima Historia di sebuah kedai teh tarik Aceh di Bintaro, Tangerang Selatan. Mengenakan pakaian serba hitam plus peci berwarna sama, Ary bicara banyak soal dunia basket dan kiprahnya di dalamnya. “Basket memang sudah dari SD, jadi enggak mungkin saya lupain,” ujarnya.
Menurutnya, dia masih ingin mendarmabaktikan hidupnya buat basket kendati usianya tak lagi muda. Bakti itu dia wujudkan dengan menggagas Liga Bocah Indonesia (LBI). Untuk mewujudkan kompetisi basket setingkat Sekolah Dasar (SD) itu, Ary menggandeng institusi-institusi pendidikan.
Baca juga: Yang Dikenang Ary Sudarsono tentang Bung Karno
Ide itu, kata Ary, terinspirasi dari kebijakan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang menetapkan olahraga kompetitif dimasukkan ke dalam kurikulum wajib sebagai bentuk dukungan institusi pendidikan.
“Jadi program gue di LBI itu student athlete, kayak Kennedy dulu. Harus ada kerjasama dengan sekolah-sekolah. Agar si murid bisa jago olahraga tapi rapor juga enggak jelek. Itu sejak 2017, tapi sampai sekarang belum terwujud. Saya sudah coba sampaikan ke Erick (Thohir, Dewan Kehormatan PP Perbasi) tapi enggak didukung,” sambungnya.
Antara Basket dan Sepakbola
Kendati cinta basket, beragam olahraga pernah Ary jajal. “Olahraga itu sebenarnya hobi keluarga. Bapak gue sempat jadi Ketua PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) dan KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) Jakarta Pusat. Bapak, sebagaimana ibu, juga mantan atlet korfball,” kata Ary.
Ary lahir dari pasangan Sudarsono Brotomidjojo dan Tini Ambar Suarti di Jakarta, 20 Juli 1951. Ia anak sulung dari tujuh bersaudara. Sebagai anak pengurus olahraga, Ary ingin pula jadi atlet. Skill basketnya pun terus dia asah hingga di kemudian hari Ary berhasil masuk timnas basket Perbasi sebagai point guard.
Semasa SMA, Ary punya tiga pilihan cabang olahraga untuk masa depannya: basket, sepakbola, dan judo. Namun, pada akhirnya Ary memilih basket lantaran itu olahraga pertama yang membuatnya ingin berkiprah di jalur olahraga meski belum tentu bisa menunjang masa depannya.
Ary akhirnya berhasil menjadi anggota timnas basket. Di liga, Ary merupakan pemain klub Indonesia Indonesia Muda (IM). Saat sudah mantap di basket dengan rutinnya mengikuti latihan IM itulah Ary digoyahkan pendiriannya. Ajakan berkecimpung di sepakbola mendatanginya. Adalah pelatih legendaris Endang Witarsa yang mengajaknya.
“Waktu SMA saya dilihat oleh Endang Witarsa. Dia ajak saya jadi kiper. Dia juga yang melatih saya. Saya tanya, kenapa saya jadi kiper? Kata dia, tangkapan saya bagus. Posisi badan juga bagus, nangkep bolanya bener. Toh karena saya juga pemain basket, kan,” ujar Ary berkisah.
Baca juga: Kiper Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Namun sepakbola bukan satu-satunya olahraga lain yang menarik hatinya. Majalah Jakarta Jakarta edisi 1989 mencatat, Ary pernah jadi juara nasional judo yunior pada 1970, hingga diikutkan ke kejuaraan-kejuaraan mancanegara.
“Beladiri judo juga sejak kecil. Namanya anak laki, harus punya beladiri. Tapi dari judo saya juga terhindar dari cedera latihan bola. Dari teknik judo saya bisa terbang dan berjatuhan nangkap bola dengan posisi jatuh yang benar,” tambahnya.
Ketidakfokusannya itu membuat sang ayah komplain, terlebih saat tahu Ary dilirik pelatih tim PSSI Yunior Djamiat Dalhar. Sang ayah yang saat itu menjabat Ketum PASI, khawatir pendidikan Ary terganggu jika terlalu banyak aktivitas olahraga. Sang ayah mewanti-wantinya bahwa olahraga tak menjamin masa depan cerah.
“Bapak saya komplain. Dia lari ke Ketua PSSI, Pak Kosasih (Poerwanegara, red.). Dia tanya, ‘Broer, ini anak saya elo mau jadiin apa? Masa depannya gimana kalau jadi kiper?’ Pak Kosasih jawabnya, ‘Wah, kalau sampai ke situ saya enggak bisa ngomong apa-apa. Beginilah olahraga Indonesia’,” kata Ary mengenang dialog ayahnya dan Kosasih.
Bukan hanya ke PSSI, ayah Ary juga mendatangi Menpora R. Maladi seraya membawa Ary untuk dikenalkan ke sang menteri. “Pesannya sama, ‘Coba dikaji lagi, Dek. Kalau bisa sekolahnya yang benar. Contoh Sarengat. Setelah juara Asian Games dia ambil sekolah dokter’,” tambah Ary.
Baca juga: Sarengat yang Melesat
Walhasil, terjadi benturan ambisi antara Ary yang menginginkan olahraga dan ayahnya yang ingin Ary lebih menseriusi pendidikan. Ary mengakui, kesibukannya di dunia olahraga bikin pendidikannya di SMA Perguruan Cikini keteter. Namun, ia memantapkan tekad untuk jalan terus di jalur olahraga.
“Ayah saya kasih warning. Siap-siap ya, di olahraga tuh enggak akan jadi apa-apa, katanya. Tapi saya bilang, setiap manusia hidup sudah ada garisnya. Mungkin garis saya di sini (olahraga),” sambungnya.
Sang ayah akhirnya luluh. Ary dibebaskan menentukan pilihan hidupnya dengan syarat tak boleh setengah-setengah menjalaninya dan siap menanggung risiko yang bakal menimpa.
Seiring perjalanan waktu, Ary akhirnya mesti memilih satu dari kiprahnya di dua cabang. “Suatu saat saya terpilih antara timnas basket dan PSSI Yunior. Ada dua agenda, satu Kejuaraan Asia Yunior di Manila tinggal sebulan lagi, bersama tim PSSI Yunior; satu lagi Kejuaraan Asia untuk basket yang dua bulan lagi. Pak Djamiat enggak mau saya ke basket,” kenangnya.
Setelah memikirkan masak-masak, Ary pilih basket. Dengan berat hati ditinggalkannya sepakbola. Ia pun kena omel pelatih Djamiat Dalhar dan Endang Witarsa. “Dasar kamu tampang sinyo, otak pacul, katanya. Kenapa enggak pilih bola? Karena kalau habis latihan kiper, saya enggak bisa belajar. Drill-nya kan gila, bisa babak belur sampai muntah-muntah. Tangan gemetar habis nahan tendangan-tendangan,” ujar Ary.
Alasan lain yang bikin Ary menyisihkan sepakbola adalah atmosfernya. Bagi Ary, atmosfer di basket jauh lebih terasa lantaran jarak antara penonton dan lapangan berdekatan.
“Interaksi sama penonton terasa sama kita. Meningkat semangat ingin jadi hero di lapangan. Kalau di bola, paling kalau bola kemasukan saja terdengar ‘Woy, kiper goblok’, hahaha…,” sambung pria tampan yang selalu ceria itu.
Keputusan Ary ternyata betul. Dalam kurun 1970-1978, dia selalu menjadi bagian dari timnas basket Indonesia. Popularitas namanya pun merambah ke luar negeri.
Setelah pensiun, Ary tak ingin hidup jauh dari basket. Sempat terpilih menjadi wasit internasional FIBA (federasi basket internasional) pertama dari Indonesia, Ary terus bersemangat mengabdi di basket dengan masuk Perbasi. Di situlah dia gigih mempopulerkan basket ke kalangan muda lewat Indonesian Basketball League (IBL) (kini NBL) hingga Liga Basket Mahasiswa Indonesia (LMI, kini LIMA).
Baca juga: Wasit Berlisensi FIFA Pertama yang Terlupa
Upaya untuk mempopulerkan basket di tanah air juga dilakukan Ary dengan menegosiasikan siaran NBA, dan berhasil dengan bukti disiarkannya NBA di sebuah stasiun tv swasta pada 1990-an. Anda para fans NBA tanah air tentu tak asing dengan wajah dan suara khas Ary yang selalu muncul sebelum pertandingan dimulai dan setelah usai.
Dari menjadi presenter NBA itulah Ary kemudian “laku keras” sebagai presenter yang khas dengan jargon “Salam Olahraga!”-nya. Tidak hanya basket, ternyata ia juga jempolan bicara olahraga lain macam sepakbola sampai judo. Selain pernah jadi ring announcer tinju, curriculum vitae-nya penuh dengan beragam julukan: Mr. Golden Whistle, Mr. NBA Asia, Mr. Nike, Mr. FILA, hingga Mr. Showtime.
Di luar dunia olahraga, Ary juga “melek” politik. Itu dibuktikannya dengan pernah menjadi kader Partai Amanat Nasional (PAN) meski tak lama. Hanya satu bidang yang tidak dikuasai pria multitalenta itu. “Ya paling berdagang (bisnis) saja yang gue enggak bisa, hahaha…,” celetuknya.
Dari basketlah nama Ary populer di masyarakat. Dari olahraga itu pula beragam penghargaan diterima Ary. “Penghargaan-penghargaan dari luar (negeri) itu rata-rata kata-katanya hampir sama. Apresiasi dalam pengembangan basket. Tapi di Indonesia penghargaan gue cuma dua, Lifetime Achievement Award dari SIWO sama Panasonic Award sebagai presenter olahraga terbaik (pria, 2000),” tutur Ary.