Pada 1967, upaya Mohamad Roem menghilangkan kenangan pahitnya bersama Sukarno terancam gagal. Pembicaraan dengan calon besannya (Mas Suryo) tentang tamu undangan di acara pernikahan putrinya malah membuka luka lama bagi Roem. Belum juga genap setahun terbebas dari tahanan, dia harus kembali berurusan dengan sosok si pemberi trauma.
Peristiwa penangkapan beberapa tokoh oleh Sukarno, termasuk Roem, pada 1962 akibat perbedaan pandangan politik masih begitu membekas di ingatan Roem. Diceritakan di dalam bukunya Bunga Rampai dari Sejarah, dia hampir mendekam di penjara selama empat tahun sebelum akhirnya bebas pada 1966. Meski sudah berusaha memaafkan perbuatan Sukarno di masa lalu, Roem tetap menyimpan sedikit rasa tidak suka.
Baca juga: Roem: Tidak Ada Waktu Membenci Sukarno
Pembicaraan tentang siapa saja yang akan diundang di acara sakral itu awalnya berjalan menyenangkan bagi Roem. Dia dan Mas Suryo saling memberi rekomendasi tamu undangan yang sama-sama dikehendaki. Sampai kemudian mantan Menteri Luar Negeri Kabinet Natsir ini dihadapkan dengan satu nama: “Mas Karno”.
“Bagi saya akan sulit sekali untuk tidak mengundang Mas Karno. Mas Roem tahu hubungan saya sekeluarga selama ini dengan Mas Karno. Dalam politik kami sudah jauh terpisah. Malah waktu akhir ini semakakin jauh, dan sering saya memperingatkan dia. Di samping itu hubungan sudah seperti hubungan famili. Dalam keadaam dia seperti sekarang ini, mungkin dia akan sakit hati kalau tidak saya undang. Saya harap dengan sangat Mas Roem mempunyai pengertian untuk kesulitan saya ini. Mungkin dia tidak akan datang. Bagi saya sudah cukup kalau saya menyampaikan undangan,” ujar Mas Suryo coba membujuk Roem.
Roem awalnya tidak tahu menahu siapa sosok yang disebut oleh calon besannya ini. Tidak sedikitpun dia mengira Mas Karno ini adalah seseorang yang dikenalnya. “Siapa Mas Karno?” tanya Roem.
Mas Suryo agak keherananan mendengar pertanyaan Roem. “Mas Karno, Presiden Sukarno,” jawabnya.
Roem terdiam. Tak disangka dia akan mendengar nama itu dari mulut calon besannya. Roem mengaku sudah tidak memiliki kebencian terhadap Sukarno, tetapi baginya agak sulit untuk menghormati Sukarno sebagai tamu di rumah sendiri. Dia pun merasa tidak memiliki kedekatan secara khusus dengan Presiden RI yang pertama itu. Karenanya bukan sebuah kewajiban untuk memberi undangan kepadanya.
Baca juga: Seruan Sukarno di Hari Lebaran
“Kalau Mas Suryo minta agar penulis (Roem) mempunyai pengertian terhadap dirinya, penulis dapat minta pengertian bagi perasaan penulis. Tapi pengertian diadu dengan pengertian rasa-rasanya tidak sedap,” ucap Roem.
Demi mencegah pertemuan yang tidak diinginkan tersebut, Roem berusaha membujuk si calon besan agar membatalkan niatnya mengundang Sukarno. Mas Suryo sebetulnya sudah menjelaskan bahwa Sukarno belum tentu bisa hadir di acara pernikahan tersebut, tetapi Roem tidak ingin mengambil resiko.
Di satu sisi Roem tidak menginginkan kehadiran Sukarno, tetapi dia juga tidak bisa asal menolak. Dia harus tetap menjaga kesan baik di depan bakal besannya ini. Agar tidak terkesan memaksa, Roem membujuk dengan memberikan gambaran kepada bakal besannya sisi buruk jika seorang presiden datang ke acara pernikahan itu. Sebagai seorang diplomat ulung tidak ada yang meragukan kemampuan berbicara Roem. Kali ini pun dia mampu memanfaatkan kemampuan itu dengan sebaik mungkin.
“Semua perhatian dan semua mata orang ditujukan kepada Sukarno. Dan Sukarno memang seorang yang sedap dilihat dan senang dilihat, ditambah dengan kemampuannya untuk menarik perhatian. Apakah Mas Suryo akan senang, pada waktu putra Mas Suryo menjadi mempelai yang ganteng, semua tamu pada melihat orang lain? Saya juga tidak akan menerima, kalau anak saya tidak dipandang yang paling cantik dan paling menarik pada saat yang berbahagia itu,” tegas Roem.
Baca juga: Sukarno: Pemersatu atau Pembelah?
“Mas Suryo, menurut kepercayaan orang Jawa jadi pengantin itu sama dengan jadi raja. Karena itu pengantin boleh memakai kembang melati, yang biasanya menjadi prerogatip raja. Sukarno pada saat ini masih semacam raja. Biarlah pada saat-saat itu anak-anak kita saja yang jadi raja,” lanjutnya.
Pernyataan itu dikeluarkan dengan sedikit emosi dari dalam diri Roem. Dia benar-benar ingin meyakinkan Mas Suryo bahwa persoalan mengundang Sukarno ini bukan perkara mudah baginya. Mendengar hal itu Mas Suryo menyutujuinya. Undangan untuk Sukarno batal diberikan. Roem merasa senang, setidaknya dia bisa memberi alasan yang dapat diterima oleh si bakal besan dan menghindari kesan buruk.