Masuk Daftar
My Getplus

Bung Karno dan Para Pelayannya

Bagaimana hubungan keseharian antara Presiden Republik Indonesia pertama itu dengan orang-orang terdekat yang menjadi pelayannya?

Oleh: Hendi Johari | 13 Mar 2021
Presiden Sukarno. (Wikimedia Commons).

SUATU senja sepulang dari Bogor, Presiden Sukarno mengajak anak sulungnya Guntur Sukarnoputra (saat itu masih remaja) jalan-jalan keliling Istana Negara. Saat mereka berdua menuruni tangga di belakang Istana, tetiba wajah Si Bung Besar berubah.

“Tok (paggilan akrab Guntur), coba panggilkan Pak Pelayan,” kata Bung Karno.

Singkat cerita, datanglah pelayan itu. Enem namanya. Dengan wajah pucat, dia lantas menghampiri Bung Karno. Terlihat sekali dia tengah ketakutan.

Advertising
Advertising

“Nem, pot antik Bapak yang di sini kemana?” tanya Bung Karno dalam bahasa Sunda.

“Ehm…Pepeus (pecah), Pak…” jawan Enem dalam nada gemetar.

“Hah peupeus! Siapa yang memecahkan!? Siapa yang melakukan!?” teriak sang presiden. Wajahnya nampak merah padam dengan mata berkilat-kilat, pertanda dia sedang marah besar.

Aa..Ab…Abdi teu terang, Pak…(Saya tidak tahu, Pak).”

Maenya jurig nu meupeuskeun, hah! Hayo kabeh pelayan kadarieu! Saha nu nyaho! Mun teu aya nu ngaku, kabeh kudu dipariksa pulisi (Masa hantu yang memecahkannya, hah! Ayo semua pelayan kumpul! Siapa yang tahu! Kalau tidak ada yang mengaku, semua akan berurusan dengan polisi).”

Baca juga: Kisah Persahabatan Bung Karno dengan Seorang Pelayan

Tak perlu waktu cepat, semua pelayan pun berkumpul di belakang Istana Negara. Mulailah Bung Karno menginterogasi satu persatu para pelayannya.

Sueb! Maneh nyaho henteu?!”

Abdi teu terang, Pak…”

“Saleh!?”

Teu…Ter…Terang, Pak…”

“Sain!?”

Saiin yang sudah memasuki umur 70 tahun dan mengidap penyakit asma terlihat sangat ketakutan.

Aaaaa..Abdi…Ngik…Ngik…Teu…Te..Terang, Pak…Ngik…Ngik

Bukan main marahnya Bung Karno mendengar jawaban semua pelayannya tersebut. Dia kemudian memerintahkan pengawalnya untuk memanggil komandan jaga hari itu. Datanglah dia dengan tergopoh-gopoh.

“Siap, Pak!”

Bung Karno lantas memerintahkan sang komandan jaga untuk memeriksa semua pelayan ini dan para tukang kebun. Begitu marahnya sang presiden, hingga dia memerintahkan jika pelakunya ketemu untuk langsung “digantung”. Tentunya perintah itu hanya untuk menggertak saja.

“Pada saat itu kulihat Pak Saiin yang tengah berdiri gemetaran tetiba celananya sudah basah kuyup karena mengompol,” kisah Guntur Sukarnoputra dalam Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku.

Baca juga: Bung Karno Jajan

Beberapa saat kemudian, sang komandan sudah kembali. Menurut penyidikan yang sudah dilakukannya, ternyata pot itu pecah karena terkena cakram. Bung Karno nampak terkejut mendengar laporan tersebut. Dia pastinya tahu bahwa satu-satunya orang yang memiliki hobi main lempar cakram adalah putera sulungnya.

Setelah memerintahkan semua orang untuk kembali ke pekerjaannya masing-masing, Sukarno lalu mengajak Guntur jalan-jalan. Setelah agak jauh, sambil terus berjalan, Bung Karno  berbisik serak kepada Guntur:

“Lain kali kalau bikin salah, kasih tahu Bapak ya! Jangan seperti ini, tenggorokan Bapak hampir-hampir putus, Saiin terkencing-kencing, pengawal repot…Jebulnya kau punya ulah!”

“Ya, Pak…” jawab Guntur sambil tertunduk.

Baca juga: Si Bung dan Para Burung

Bung Karno pada dasarnya sangat menyayangi para pelayannya. Menurut salah satu pengawal dekatnya H. Mangil Martowidjojo, kalaupun dia marah pasti tak pernah berlangsung lama. Itu pun dilakukannya supaya para pelayan tersebut berlaku disiplin dan tak lalai kepada tugasnya masing-masing.

Mangil sangat paham jika Si Bung Besar sangat tidak menyukai orang yang lalai kepada tugasnya. Karena itu segala sesuatu yang diminta Bung Karno harus cepat dilakukan. Salah satu pelayan yang kerap diminta tolong adalah Pak Enem. Orangnya memang sudah sepuh namun selalu sigap jika Bung Karno memerlukannya.

“Neraka” datang kepada para pelayan, jika Bung Karno tengah uring-uringan. Pernah dalam situasi seperti itu, Pak Enem dipanggil Presiden. Dengan sigap namun penuh rasa takut Enem langsung datang menghadap. Begitu takutnya, hingga tak terasa sang pelayan terkentut-kentut. Murka-kah Bung Karno? Sama sekali tidak.

“Bung Karno justru malahan ketawa…” ungkap Mangil dalam bukunya, Kesaksian Tentang Bung Karno 1945—1967.

TAG

sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band Pengawal-pengawal Terakhir Sukarno* Membidik Nyawa Presiden Sukarno