Toko Merah dan Sejarah Kelam Perbudakan di Batavia

Jual-beli dan lelang budak marak di Batavia. Toko Merah menjadi saksi kelamnya.

Oleh: Amanda Rachmadita | 12 Jan 2023
Toko Merah dan Sejarah Kelam Perbudakan di Batavia
Pelelangan budak di Batavia awal abad ke-19. (Tijdschrift voor Nederlandsch Indie Vol.. 15 No. 9, 1853).

Permintaan maaf Perdana Menteri Belanda Mark Rutte atas keterlibatan negaranya dalam perbudakan di masa silam pada akhir tahun 2022 menjadi sorotan publik karena Indonesia termasuk wilayah yang pernah dikuasai Belanda.

Di masa awal kekuasannya di Hindia Belanda, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Kongsi Dagang Hindia Timur), mengerahkan banyak budak untuk membangun Batavia.

Dalam buku Dari Batavia Menuju Jakarta yang disunting Fitri R. Ghozally disebutkan, para budak di masa itu kebanyakan dikerahkan untuk pemenuhan tenaga kerja dalam pembangunan benteng Batavia saat benteng Jayakarta dapat dikuasai oleh pihak kolonial Belanda di bawah Jan Pieterszoon Coen pada 1619. 

Advertising
Advertising

“Saat itulah kolonial bertambah jaya, yang dampaknya merambah juga pada sistem perbudakan, di mana pada saat itu pula pemilikan budak yang terorganisasi secara rapi dengan sistem perdagangannya bisa dikatakan mencapai puncaknya,” tulis Fitri.

Baca juga: Belanda Sembunyikan Sejarah Perbudakan di Indonesia

Seiring berjalannya waktu, jumlah budak di Batavia semakin bertambah. Bahkan, menurut Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun, para budak merupakan satu-satunya kelompok populasi terbesar di Batavia hingga paruh terakhir abad ke-18. Awalnya, budak-budak itu kebanyakan didatangkan dari Asia Selatan, yang memiliki koneksi perdagangan dengan VOC. 

Namun, saat imperium perdagangan Belanda di sana menurun pada abad ke-18, VOC mulai mendatangkan budak dari daerah di Indonesia. Selain karena kontak Indonesianya semakin bertambah, efisiensi waktu yang dapat mencegah pemborosan, juga menjadi faktor yang mendorong VOC mengeksploitasi perdagangan budak lokal.

Pada masa itu, sebagian besar budak milik orang Eropa, yang menjadikan mereka sebagai bagian untuk memamerkan kekayaan. “Orang yang paling kaya dapat memiliki seratus budak atau lebih,” tulis Susan. 

Baca juga: Perbudakan di Nusantara

Para budak biasanya dipekerjakan untuk pekerjaan domestik yang spesifik, seperti juru masak, juru lampu, pelayan, penjahit, pembuat sambal, pembuat roti, pembantu rumah tangga hingga kusir. Ada pula budak yang ditugaskan menjadi penata rambut gaya Indonesia, seperti konde bagi nyonya-nyonya Eropa, maupun menjadi tukang pijat bagi para tuan Eropa.

Jual-beli budak seakan menjadi kegiatan sehari-hari penduduk Batavia. Dalam Titik Balik Historiografi di Indonesia yang disunting Djoko Marihandono disebutkan, paling tidak ada dua cara menjual dan membeli budak di Batavia atau ommelanden (kawasan di luar tembok kota). 

Pertama, menjual atau membeli budak di tempat pelelangan budak. Biasanya setelah mendapatkan pembeli atau penjual, mereka pergi bersama ke notaris untuk mencatatkan transaksi. “Cara ini terutama ditempuh oleh mereka yang tempat tinggalnya berjauhan dan tidak saling mengenal,” tulis Djoko.

Baca juga: Kala Budak Memberontak

Kedua, menjual atau membeli budak oleh mereka yang saling mengenal, sehingga mereka tak perlu pergi ke pasar atau tempat pelelangan budak, namun langsung mencatatkan transaksi ke notaris. Cara kedua ini, menurut Djoko, terutama terjadi di antara orang-orang yang bertetangga atau berasal dari tempat tinggal yang sama. 

Permintaan budak yang besar membuat bisnis perdagangan budak tumbuh subur di Batavia. Menurut Fitri, bisnis budak pada akhirnya melahirkan pasar-pasar budak, yang dalam bahasa Belanda disebut slavenquartiers. “Otomatis tempat yang berada tidak jauh dari pasar hewan ini menjadi lokasi yang tak pernah dilewatkan oleh orang-orang kaya Batavia dan para tengkulak budak,” tulis Fitri.

Toko Merah di Batavia sekitar tahun 1920. (KITLV).

Besarnya permintaan budak membuat mereka banyak dicari, tak hanya di pasar budak tetapi juga di tempat pelelangan. Selain karena tenaganya tak lagi dibutuhkan, budak juga dilelang sebagai harta warisan seseorang yang telah meninggal, seperti dikisahkan Thomas B. Ataladjar dalam Toko Merah, Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung; Riwayat dan Kisah Para Penghuninya. Ny.

Sophia Francina Westpalm meninggalkan warisan yang sangat besar. Janda Gubernur Jenderal VOC Reinier de Klerk itu, pemilik bangunan Toko Merah dan villa mewah di Molenvliet, yang kini dikenal sebagai gedung Arsip Nasional. Barang bergerak milik janda kaya raya itu tak kurang dari 1.471 buah yang tercatat dalam buku inventaris. Setelah Sophia meninggal pada akhir 1785, seluruh warisannya dilelang di pelelangan umum pada 1786.

Baca juga: Riwayat Bumbu dan Budak di Jambi

Di antara bangunan mewah dan barang-barang bernilai tinggi, terdapat ratusan budak ikut dilelang yang masuk dalam daftar inventaris harta warisan Sophia. Thomas menulis, sebanyak 181 budak tercatat dalam daftar inventaris, ditambah sebelas budak dalam daftar tambahan. Saat proses lelang digelar, para budak berdiri di atas tangga, mengantre untuk dipanggil petugas lelang. Satu per satu budak dipanggil petugas lelang sembari disebutkan nama dan tugasnya masing-masing. 

“Pertama Josephine, pemain klarinet. Kedua Ariantje van Batavia, pembuat renda dengan ketiga anaknya. Ketiga Achiles, pembuat tambur dan pemain suling…dan seterusnya hingga selesai,” tulisThomas. 

Begitulah lelang budak dalam daftar inventaris harta warisan Sophia. Mereka kemudian berpencar mengikuti majikan baru yang telah membelinya.

Baca juga: Skandal Perbudakan Raffles di Hindia Belanda

Perdagangan budak yang sempat marak di Batavia lambat laun ditinggalkan pada pertengahan abad ke-19. Ketika Pulau Jawa dikuasai Inggris, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang perdagangan budak pada 1812. Meski begitu, sekitar 20 tahun pertama abad ke-19, budak-budak masih terus menjadi tenaga kerja di rumah orang-orang kaya di Batavia dan berbagai wilayah lainnya. 

Menurut Susan, orang-orang Belanda baru menghapuskan perbudakan secara resmi pada 1859. “Pada 1850-an, koran-koran independen yang pertama menyambut baik berita mengenai semakin banyaknya budak yang dimerdekakan oleh para pemiliknya. Jumlah pelelangan budak juga menurun, dan para budak sering kali diizinkan membeli kebebasan mereka sendiri,” tulis Susan. 

Perbudakan tak lagi dianggap pilihan, karena orang-orang Eropa menyadari lebih murah mempekerjakan pelayan, yang secara efektif sebenarnya juga diperbudak dengan terus-menerus menjerat mereka dengan utang.*

TAG

perbudakan voc toko merah

ARTIKEL TERKAIT

Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor Saat Peti Laut jadi Penanda Pangkat Pegawai VOC Perantau Tangguh yang Menaklukkan Batavia Susunan Pemerintahan VOC Daeng Mangalle dan Konspirasi Melawan Raja Thailand Awal Mula Meterai di Indonesia Kisah Pejabat VOC Dituduh Korupsi tapi Malah Dapat Promosi Ambisi van Goens Membangun Batavia Baru di Ceylon Kisah Dua Anak Gubernur Jenderal VOC yang Bermasalah