Masuk Daftar
My Getplus

Riwayat Bumbu dan Budak di Jambi

Jambi menjadi satu dari sedikit daerah penghasil lada di Sumatera. Keberadaannya sejalan dengan peningkatan jumlah budak milik para penguasa

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 28 Mar 2020
Potret penguasa Jambi dan para pengawalnya tahun 1904 (Troppenmuseum)

Sejak abad ke-16 wilayah Jambi tercatat telah mampu menghasilkan lada untuk keperluan dagang dengan para saudagar yang melewati wilayah mereka. Daerah yang pernah ada di bawah kuasa Malaka ini awalnya tidak menjadikan rempah itu sebagai komoditi utama perdagangan. Namun sejak dimulainya hubungan dengan orang-orang Eropa, penguasa Jambi mulai melirik tanaman ini dan menjadikannya bahan dagangan utama.

Dicatat Tome Pires dalam Suma Oriental, Jambi berada di bawah kekuasaan Demak ketika para penjelajah Portugis itu datang ke wilayah tersebut. Para penguasa di sana dijadikan “gubernur”, yang bertugas mengamankan seluruh wilayah kekuasaan Demak di Jambi. Meski menjelang pertengahan abad ke-16 pengaruh dari Jawa itu masih cukup kuat, para penguasa Jambi telah melakukan kegiatan dagang secara mandiri.

“Tanah Jambi tersebut menghasilkan kayu yang mengandung obat-obatan, emas, dan barang dagangan dari Tongkal, serta dari tempat lainnya. Dan di sana sudah lebih banyak bahan-bahan makanan. Negeri ini ada di bawah Pate Rodim, penguasa Demak. Rakyat Jambi lebih banyak menyerupai orang-orang Palembang, Jawa dan Melayu,” tulis Pires.

Advertising
Advertising

Baca juga: Mencari Sriwijaya di Jambi

 

Setelah pengaruh Jawa melemah, para penguasa Jambi membangun sebuah pemerintahan mandiri yang mengatur segala urusan kenegaraan, termasuk keperluan dagang dan pengembangan lada untuk komoditi internasional. Kesultanan Jambi pun memulai persaingan dengan pelabuhan dagang di wilayah Sumatera lainnya.

Memasuki abad ke-17 perdagangan lada semakin ramai. Bergabungnya kamar dagang Belanda, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), membuat lonjakan permintaan lada di pasar. Penguasa Jambi pun menggencarkan produksi rempah itu dan menjadikannya komoditi utama. Rakyat di wilayah yang besar mulai terlibat dalam penanamannya.

“Lada di pelabuhan Jambi tak hanya datang dari daerah Hulu Jambi, tapi juga dari daerah wilayah yang termasuk daerah penyangga Kesultanan Jambi. Lada yang masuk ke Jambi datang dari berbagai daerah di Sumatera, terutama dari Minangkabau,” ungkap Dedi Arman dalam Dari Hulu ke Hilir Batanghari: Aktivitas Perdagangan Lada di Jambi Abad XVI-XVII.

Meski begitu kebutuhan lada untuk perdagangan tetap saja tidak terpenuhi. Permasalahan mulai muncul pada 1625, kata Arman, tatkala para petani lada Minangkabau di hulu enggan menjual hasil panennya ke Pelabuhan Jambi. Alasannya, kerugian selalu mereka alami ketika bertransaksi di wilayah Jambi.

Baca juga: Perbudakan di Nusantara

 

Selain karena keberadaan perompak yang dibiarkan berkeliaran, penguasa Jambi pun selalu mematok harga rendah untuk hasil panen para petani ini. Barbara Watson Andaya dalam Hidup Bersaudara Sumatera Tenggara Abad XVII dan XVIII, juga menyebut adanya larangan penjualan langsung dengan pedagang Tiongkok dan Eropa yang begitu merugikan.

Pihak kesultanan pun dibuat pusing oleh persoalan tersebut. Mereka akhirnya mengambil tindakan lain, yakni ekspansi ke daerah hulu (pedalaman) agar memperoleh akses terdepan dalam pengumpulan tanaman lada. Di sinilah para budak menjalankan perannya.  Wilayah hasil ekspansi penguasa Jambi itu nantinya akan diisi oleh para budak tersebut agar penduduk hulu tidak melakukan perlawanan.

“Kesultanan Jambi menambah jumlah penduduk yang nantinya menjadi kekuatan. Ketersediaan budak tak hanya menjadi tambahan tenaga untuk bekerja dan berperang, tapi juga untuk prestise. Kemampuan Jambi dalam persaingan pembelian budak semakin meningkat seiring meningkatnya kekayaan istana Jambi dalam perdagangan lada,” tulis Arman.

Pertengahan abad ke-17, peraturan baru diberlakukan penguasa Jambi. Tekstil mulai digunakan sebagai alat tukar lada di Jambi oleh pihak penguasa. Keputusan itu mendapat pertentangan dari para petani. Mereka ingin mata uang real tetap menjadi alat tukar untuk hasil pertaniannya. Jika tidak bisa dipenuhi, para petani meminta budak sebagai bayarannya.

Para penguasa dan bangsawan di Jambi memiliki budak yang cukup banyak. Mereka bersaing dalam kepemilikan budak, terutama budak perempuan dari India, Bali, Jawa, Makassar, dan daerah lainnya. Para penguasa itu juga memperoleh budak dari hasil tukar dengan lada. Budak perempuan yang cantik bisa dijadikan pelacur, sehingga menguntungkan para pemiliknya.

Baca juga: Belanda Sembunyikan Sejarah Perbudakan di Indonesia

 

Jika budak laki-laki dipakai untuk kepentingan militer serta pembukaan lahan baru pertanian lada, para budak perempuan digunakan untuk membantu keperluan sehari-hari, seperti mengangkut air, mengumpulkan kayu bakar, dan membantu perdagangan. “Orang lokal cenderung malas dalam mengerjakan pekerjaan yang berat, seperti membuka lahan untuk kebun baru,” ungkap Arman.

Tidak hanya didapat dari jual-beli, para budak milik penguasa Jambi didapat dari perburuan di perairan timur Jambi. Mereka mempekerjakan Orang Laut untuk perburuan ini. Dalam melakukan aksinya, penguasa Jambi mengerahkan sekitar 20 perahu dengan perolehan tiap perjalanannya mencapai 100 budak.

Akhir abad ke-17, sekitar 2.500 budak berhasil ditangkap penguasa Jambi. Mereka banyak dijadikan tenaga kasar untuk berbagai keperluan. Setiap budak dihargai sekitar delapan real. Budak berusia muda menjadi yang paling banyak diburu karena kemampuan fisik mereka bisa lebih banyak dimanfaatkan, ketimbang orang tua dan perempuan.

TAG

jambi perbudakan

ARTIKEL TERKAIT

Akhir Perlawanan Dandara Pesan Toleransi dari Muarajambi Menggali Peradaban Muarajambi Akhir Pelarian Seorang Gundik Pedihnya Hidup dalam Belenggu Perbudakan dan Pergundikan Westerloo Menghadapi Orang Jambi Kalung Anjing Identitas Budak di Belanda Pemberontakan Budak 17 Agustus, Menang atau Mati! Wally Bereaksi, Wally Dieksekusi Manisnya Kekayaan Oopjen dari Pahitnya Perbudakan