Kapten A. Sapari, pilot pesawat Garuda F-28 baru saja lepas landas dari Pekanbaru. Sesuai jadwal, Sapari mestinya berpapasan dengan Kapten Herman Rante, pilot pesawat Garuda DC-9 “Woyla” bernomor penerbangan 206 di ketinggian 25.000 kaki. Saling tegur sapa untuk memberitahu posisi masing-masing lazimnya terjadi antara sesama pilot di atas udara.
Hari itu, 28 Maret 1981 pukul 10.18, Sapari merasakan sesuatu yang ganjil. Herman Rante tetap terbang pada ketinggian 24.000 kaki. Sapari mencoba melakukan kontak komunikasi lewat frekuensi radio. Setelah tersambung dengan “Woyla”, Sapari menerima sinyal yang dikirimkan Herman Rante berupa berisi pesan bermakna gawat: “Being hijacked . . . being hijacked (Dibajak . . . dibajak).” Sapari terkejut begitu menyadari sejawatnya itu kena bajak.
“Sapari segera menghubungi menara pengawas bandar udara Kemayoran. Sesampai di Kemayoran, ia juga memberitahu kantor Garuda. Dari sinilah No.206 mulai dijejaki arahnya,” tulis berita Tempo, 4—7 April 1981.
Berita pembajakan itu kemudian sampai kepada pemerintah dan otoritas keamanan Indonesia. Keberanian Herman Rante mengambil kesempatan mengirimkan sinyal pembajakan telah membuka jalan untuk menyelamatkan seluruh penumpang yang disandera. Meskipun pada akhirnya, Herman Rante sendiri mesti mempertaruhkan nyawanya.
Baca juga: Sebelum Pembajakan Pesawat Garuda
Dari Ring Menjadi Penerbang
Herman Rante lahir di Palopo, Sulawesi Selatan, 12 Februari 1943. Putra sulung dari Simon Rante dan Yosephine Maga Ruba ini besar di Ambon, Maluku. Herman menghabiskan masa pendidikan formalnya dari SD sampai SMA di Ambon. Sedari remaja, dia sudah menggandrungi olahraga tinju.
Pada 1960, Herman merantau ke Jakarta. Herman memulai peruntungannya di ring tinju sebagai petinju amatir. Dia seangkatan dengan Hengki Berhitu yang pernah juara nasional tahun 1961/1962. Pada 1965, Herman meraih juara III turnamen tinju kelas ringan se-Jakarta. Herman tidak sempat menjajal arena tinju kelas nasional sebab peruntungan baru telah menantinya di angkasa.
“Herman Rante dahulunya adalah seorang petinju amatir dan pernah mendapat ‘nota’ dari Pertina (Persatuan Tinju Amatir Indonesia), dalam hal ini dari OB. Sjaaf (ketua harian Pertina) untuk mengikuti pendidikan penerbang di Curug,”tulis Sinar Harapan, 7 April 1981.
Baca juga: Bogem Mentah Leo Wattimena
Dari gelanggang tinju, Herman pun mengalihkan minatnya ke dunia penerbangan. Pada 1965, Herman mendaftarkan dirinya pada Akademi Penerbangan Indonesia (API) Curug. Setelah empat tahun belajar menjadi pilot, Herman diterima maskapai Garuda pada 1970. Kariernya dimulai sebagai juniot kopilot Pesawat Garuda F-27. Setahun kemudian, Herman menjadi kapten penerbang Garuda F-27.
Untuk mengembangkan ilmu penerbangannya, maskapai Garuda menyekolahkan Herman ke Miami, Amerika Serikat mempelajari instrument dan double engine. Sejak itu, karier Herman melesat dan mulai menukangi kemudi pesawat besar. Pada Maret 1975, Herman menjadi kopilot Garuda DC-8.
Sejak 27 Januari 1979, Herman memiloti pesawat Garuda DC-9. Namun, pada saat itu maskapai Garuda tengah diguncang konflik internal sehingga para pilotnya melancarkan aksi protes. Herman Rante disebut termasuk salah satu pilot yang bersikap vokal. Namun, menurut Saiful Rahim, Herman merupakan tokoh aksi yang diperhitungkan benar oleh Garuda.
Baca juga: Para Pramugari Garuda di Sisi Sukarno
“Karena itu dia diskors, sebab dinilai mempunyai pengaruh dan peran penting dalam aksi,” kata Saiful dalam Operasi Pembebasan Sandera Pesawat Garuda di Bangkok.
Garuda DC-9 “Woyla” menjadi pesawat terakhir yang dikemudikan Herman Rante. Penerbangan nomor 206 dengan rute Jakarta-Palembang-Medan itu dibajak oleh sekelompok teroris pada 28 Maret 1981. Ketika menerbangkan “Woyla”, Herman telah menorehkan pengalaman dengan 1000 jam terbang. Padahal, Herman sedianya dipersiapkan untuk menjadi kapten pesawat yang lebih besar, seperti DC-10 atau Boeing 747.
Baku Tembak di Ruang Kokpit
Petaka itu terjadi pada dinihari, 31 Maret 1981, di ruang kokpit pesawar Woyla, sekira pukul 02.45. Di tengah kegelapan malam, desing peluru berbunyi, baku tembak pun berlangsung. Para prajurit dari Satuan Anti Teror Kopassandha memasuki Woyla dan menyergap para pembajak. Nahas, peluru menyasar Herman Rante yang sedang duduk di jok kemudi dan langsung tergeletak dengan kepala berdarah.
Menurut harian Angkatan Bersenjata, 7 April 1981, Herman Rante terkena peluru yang dilepaskan oleh seorang pembajak yang berjaga di bagian depan pesawat. “Pembajak yang berada di depan ini segera menembaknya ketika terjadi operasi pembebasan sandera Selasa dinihari. Pembajak ini, bersama 4 pembajak akhirnya ditembak mati oleh pasukan anti teroris Indonensia.”
Baca juga: Sebait Puisi dari Pembajak Pesawat Garuda Woyla
Siapa pembajak yang menembak Herman Rante simpang siur. Berita Kompas, 6 April 1981 menyebutkan Herman Rante mendapat luka parah di kepalanya akibat tembakan pembajak yang didiga Abu Sofyan. Menurut Kompas, Abu Sofyan menembak Herman ketika ketika tengah terjadinya operasi pembebasan.
“Selesai menembak Captain Pilot, pembajak dipukul popor senapan oleh pasukan khusus dan jatuh di pintu depan. Begitu jatuh ke landasan, pembajak itu segera melarikan diri. Tetapi ketika dilihatnya di depan banyak pasukan menghadang, ia pun kembali disongsong peluru pasukan pembebas,” tulis Kompas.
Sementara itu, Sinar Harapan 8 April, 1981 melansir reportase dari dalam pesawat Woyla. Sinar Harapan mewartakan bahwa tembusan peluru banyak terdapat di bagian pintu dimana Mahrizal sang pimpinan pembajak tewas. Salah satu jendela kokpit bagian kanan atas tampak berlubang. Bekas darah masih membasahi sandaran duduk pilot. “Boleh jadi setelah Captain Pilot Herman Rante ditembak Mahrizal.”
Baca juga: Cerita Korban Pembajakan Garuda Woyla
Kesaksian beberapa sandera, seperti dikutip Sinar Harapan, 3 April 1981, mengatakan Harman Rante masih sadar waktu tertembak. Di tengah deritanya, Herman sempat berujar, “Aduh, aku kena,” tetapi kemudian dia terkulai dan terjatuh.
Operasi militer di pesawat Woyla ini berakhir begitu semua pembajak berhasil dilumpuhkan dan para sandera di evakuasi. Herman Rante segera dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Udara King Bhumipol, Bangkok untuk mendapat penanganan medis. Setelah lima hari dalam perawatan intensif, kondisinya memburuk karena komplikasi paska operasi bedah. Pada 5 April 1981, Minggu pagi pukul 08.00, Herman wafat dalam usia 38 tahun. Jenazahnya dimakamkan keesokan hari di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Baca juga: Jenderal Yoga dan Pembajakan Garuda Woyla
Terkait pembajakan Woyla, para kolega sesama penerbang menyebut Herman bisa saja menyelamatkan dirinya ketika terjadi kepanikan di Bandara Don Mueang, Bangkok. Tetapi, Herman memilih untuk tidak melakukannya agar pembajak tidak meledakkan “Woyla”. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Kepala Bakin Jenderal Yoga Soegomo yang menjadi negostiator pemerintah menghadapi para pembajak.
“Almarhum Herman Rante benar-benar memperhatikan keselamatan penumpang. Pada saat-saat terakhir perundingan dengan pembajak, ia masih sempat berpesan agar penumpang dan awak pesawat dapar diselamatkan,” kata Yoga dikutip Kompas, 7 April 1981.