Pada 1 April 1981, Suryohadi, wartawan harian sore Sinar Harapan mereportase keadaan pesawat Garuda DC-9 “Woyla” yang baru saja dibebaskan dari upaya pembajakan. Saat melongok ke dalam kabin, dia menemukan sehelai kertas bertuliskan puisi. Perasaan getir terungkap dari sajak berjudul “Oh Kapal” itu, yang kemudian diberitakan Sinar Harapan, 2 April 1981.
Bila hari tiba dengan terang
Tentu engkau akan padam pada dari derita
Tetapi jika engkau waktu itu
Sudah habis nasibmu yang baik
Tentu ajalmu akan bersamaku
Dan semua itu akan harus
Berpisah dengan dunia ini
Yang fana ini
Selain bau amis darah yang mengering, sajak itu menjadi saksi bisu peristiwa teror dalam pesawat “Woyla” yang dibajak selama 65 jam. Penderitaan itu berakhir pada selasa dini hari, 31 Maret 1981 dalam operasi militer yang dilakukan pasukan elite Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Laporan resmi pemerintah menyebutkan semua pelaku pembajakan berhasil ditewaskan.
Baca juga: Kisah Nenek yang Dilepas Pembajak Pesawat Woyla
Karakter Para Pembajak
Menurut Suryohadi, sajak tersebut ditulis oleh salah seorang pembajak bernama Abu Sofyan. Dugaan ini berdasarkan lokasi penemuan surat puitis itu di kursi deretan depan sebelah kiri yang merupakan tempat Abu Sofyan duduk. Adapun penumpang tidak diperkenankan pembajak untuk bergerak bebas, berbicara ataupun berbisik, apalagi menulis.
“Di sebelah kiri tempat di mana pembajak Sofyan duduk, terdapat jaket hijau, megafon Garuda, serta sebuah majalah yang bersampulkan gambar Toyota Crown dan disampul itu pula tertulis sebuah sajak yang tampaknya ditulis oleh pembajak Sofyan berjudul ‘Oh Kapal!’” tulis Suryohadi dalam Sinar Harapan 8 April 1981”
Menurut kesaksian para penumpang yang disandera, Abu Sofyan bersama Zulfikar digambarkan sebagai pembajak yang paling kejam. Keduanya berpostur jangkung, sama-sama berasal dari Medan dan punya reputasi sebagai jago karate “tako” alias tangan kosong. Zulfikar merupakan petugas keamanan Hotel Hilton Jakarta yang kemudian dipecat sedangkan Abu Sofyan tidak punya pekerjaan yang jelas.
Baca juga: Sebelum Pembajakan Pesawat Garuda
Abu Sofyan bernama asli Sofyan Effendi lahir di Pariaman, Sumatra Barat tahun 1942. Pendidikan terakhirnya hanya sampai kelas 3 SMA Kenanga Medan. Di sekolahan, Abu Sofyan tidak menorehkan prestasi yang berarti selain dikenal bandel dan pecandu ganja.
Abu Sofyan juga disebut-sebut yang paling kasar dan tak senonoh memperlakukan para perempuan dalam pesawat. Dia juga yang sering menggampar penumpang laki-laki bahkan menembak seorang penumpang warga asing yang melarikan diri. Agaknya, dengan adab yang demikian, patut diragukan wasiat puitis itu ditulis oleh Abu Sofyan.
Sosok pembajak bengis tentu dialamatkan kepada Abu Sofyan dan Mahrizal. Sementara itu, Mahrizal selaku pimpinan teroris disebut para sandera sebagai pembajak profesional dan paling berwibawa. Tidak heran, Mahrizal yang berperan menghadapi Jenderal Yoga Soegomo- kepala Bakin mewakili pemerintah - dalam negosiasi lewat saluran komunikasi radio.
Baca juga: Teroris Membajak Pesawat Garuda
Bila Mahrizal sang pimpinan, Zulfikar, dan Abu Sofyan adalah trio pembajak yang menonjol, maka Abdullah Mulyono dan Wendy agak samar-samar. Salah satu diantara kedua pembajak ini berjaga di kabin tengah dekat pintu darurat. Menurut kesaksian beberapa penumpang, salah seorang pembajak memperlihatkan sikap yang lebih lembut. Kecendrungan ini lebih mengarah kepada sosok Wendy.
“Wendy yang termuda dan berperawakan sedang-sedang merupakan yang paling ‘halus’ dari seluruhnya,” tutur J. Parapat, seorang penumpang dalam Kompas, 4 April 1981.
Pembajak Berhati Lembut
Dari lima orang pembajak, Wendy bin Muhammad Zein memang yang paling muda. Wendy merupakan adik kandung dari Imran, pimpinan Jamaah Imran yang disebut-sebut sebagai dalang aksi pembajakan. Saat ikut dalam aksi pembajakan “Woyla”, usia Wendy memasuki 28 tahun.
Profil Wendy sebagaimana tersua dalam Operasi Woyla: Sebuah Dokumen Sejarah karya B. Wiwoho adalah anak ketiga dari keluarga Muhamad Zein Sutan Sinaro yang terkenal alim. Wendy lulus SD Muhammadiyah, sempat bersekolah di SMP Negeri 10 Medan tetapi tidak tamat. Wendy kemudian belajar di Perguruan Al-Ulum, semacam pengajian, di Jalan Amaliun, Medan. Wendy pernah menjabat Ketua Ikatan Pemuda Muhammadiyah Kota Matsum.
Baca juga: Perjalanan Muhammadiyah di Kota Medan
Mulanya, Wendy sangat berbeda dengan abangnya, Imran. Sejak kecil, Wendy taat ibadah dan tidak suka berkelahi. Selepas SMP, dia membantu ayahnya berjualan di Pasar Sentral Medan sampai 1977. Pada tahun itu pula sang abang (Imran), pulang dari perantauan dan kemudian memboyong Wendy ke Jakarta untuk dikaryakan sebagai pedagang pakaian. Sejak itulah kiranya Wendy mulai menjadi radikal.
Mengenai Abdullah Mulyono, merupakan satu-satunya pembajak yang asli dari Jawa. Tidak banyak diketahui latar belakang pembajak satu ini. Dia hanya kerap kali mengaku berasal dari Godean, Yogyakarta, sekampung dengan Presiden Soeharto.
Baca juga: Cerita Korban Pembajakan Garuda Woyla
Mengenai seorang pembajak berperangai lembut turut dibenarkan oleh Emma Nurhadijah, penumpang perempuan yang ikut disandera. Dikutip harian Angkatan Bersenjata, 2 April 1981, Emma mengatakan seorang pembajak yang melihat dirinya gemetar karena ketakutan memberikannya jaket untuk dipakai. Sayangnya, Emma lupa siapa namanya sehingga tidak diperoleh keterangan lebih lanjut. Namun menurutnya pembajak itu orangnya ganteng dan paling kalem.
Tentang empat pembajak lainnya, “Amit-amit,” kata Emma. Mereka, lanjut Emma, tidak punya perikemanusiaan. Hampir seluruh penumpang perempuan diganggu para pembajak keparat ini. Emma sendiri mengaku, dirinya sempat “kecium” oleh pembajak.
Menjelang Penyerbuan
Pada malam terakhir, para pembajak bersorak-sorai. “Allahu Akbar…Allahu Akbar… kita menang,” demikian mereka berseru. Tampak Mahrizal memeluk Zulfikar. Ketiga pembajak lainnya saling berangkulan. Begitulah suasana setelah negosiasi terakhir dengan Yoga Soegomo ditutup pukul 22.30.
Pembajak merasa menang setelah Yoga bersedia membebaskan 84 orang yang ditahan pemerintah karena terlibat penyebuan kantor polisi di Cicendo, Bandung. Orang-orang itu tidak lain merupakan rekan para pembajak dalam Jamaah Imran. Kegembiraan mereka juga berhubungan dengan tuntutan uang tunai sebagai tebusan sebesar 1,5 juta dolar AS yang diluluskan oleh Yoga.
Baca juga: Kantor Polisi di Cicendo Diserang
Para pembajak larut dalam kegirangan. Ditambah lagi dengan menu makan malam yang terbilang mewah yang diberikan maskapai Garuda. Ada es krim segala untuk mencuci mulut. Abu Sofyan dan Zulfikar bernyanyi-nyanyi secara melantur.
Di tengah-tengah euforia itu, Wendy tetiba nyeletuk, “Jangan-jangan nanti terbalik keadaannya, kita yang kena sandera.” Ucapan Wendy itu, tulis Sinar Harapan, 3 April 1981, cukup jelas didengar para sandera yang duduk di bagian depan. Entah bercanda atau bukan, peringatan itu seakan menemukan kebenarannya ketika para pembajak terlelap. Saat itulah pasukan Kopassandha datang melancarkan operasi pembebasan sandera di pesawat Woyla.