Masuk Daftar
My Getplus

Jenderal Yoga dan Pembajakan Garuda Woyla

Bagaimana sikap seorang negosiator pemerintah RI saat menghadapi para pembajak pesawat Garuda Woyla.

Oleh: Martin Sitompul | 06 Apr 2021
Ilustrasi (Betaria Sarulina/Historia)

Jarak antara pesawat Garuda DC-9 “Woyla” dengan pusat pengendalian krisis sekira 2.5 km. Di pusat krisis itulah Jenderal Yoga Soegomo, kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) yang menjadi negosiator pemerintah menjalin kontak dengan para pembajak. Sejak kedatangannya ke Bangkok, perundingan alot terus berlangsung antara Yoga dengan para pembajak.  

Minggu malam, 30 Maret 1981 pukul 22.30, komunikasi antara Yoga dengan Mahrizal, pimpinan pembajak ditutup untuk sementara. Di luar Bandara Don Mueang, suasana cukup tegang. Ratusan wartawan dari berbagai negara memburu berita pesawat Garuda yang tengah dibajak kelompok itu. Mereka terpaut jarak kurang lebih 300 meter. Dari pinggir jalan raya Vibhavadhi Rangsit yang menghubungkan Bandara Don Mueang dengan kota Bangkok. Semuanya harap-harap cemas dengan bidikan kamera yang terpasang. Sebagian besar dari mereka sudah menebak malapetaka terjadi sebentar lagi: pembajak akan meledakkan pesawat.

Keadaan di pusat krisis lebih dari tegang. Jenderal Yoga memilih bungkam. Dari Jakarta, Pukul 23.00, Pangkopkamtib Laksamana Soedomo mengontak Yoga. Soedomo melempar tanya, kapan jam D operasi militer dilancarkan. Yoga tidak menggubris. “Maaf”, katanya, “Situasi tidak memungkinkan”. Jawaban senada pula yang dikatakan Yoga ketika Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf meminta penjelasan serupa.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Sebait Puisi dari Pembajak Pesawat Garuda Woyla

Berwajah Ganda

Menurut B. Wiwoho dalam Operasi Woyla: Sebuah Dokumen Sejarah, Yoga tidak ingin kepastian mengenai jam D bocor kepada siapapun, selain kepada pihak yang berkepentingan langsung. Sebab kerahasiaan operasi penyerbuan menyangkut banyak masalah. “Ya nama baik, ya keselamatan jiwa para sandera, ya keselamatan jiwa pasukan komando itu sendiri,” ungkap Wiwoho.

Rahasia itupun dikunci rapat oleh Yoga terhadap Hasnan Habib – duta besar Indonesia untuk Thailand – yang tepat berada di sampingnya. Hasnan merasa agak aneh dengan sikap Yoga.

“Apakah kau tak percaya padaku, Yog?” desak Hasnan yang ingin tahu.

“Bukan begitu, Bung. Bukankah tadi kita sepakat memberikan wewenang sepenuhnya kepada Benny (Moerdani) buat menentukan jam serta menitnya. Anda kan juga maklum tentang aturan permaianan dan resikonya bila bocor,” kata Yoga seperti dikutip Wiwoho.

 Baca juga: 

Kisah Nenek yang Dilepas Pembajak Pesawat Woyla

Hasnan hanya bisa tersenyum maklum mendengarnya. “Detik dari penyerbuan hanya diketahui oleh Yoga dan Benny saja,” tulis Sinar Harapan, 6 April 1981.

Sebaliknya, kepada pembajak, Yoga bersikap manut-manut saja. Semua permintaan mereka diladeni. Yoga pun masih bisa bersabar ketika para pembajak itu mulai bernada ketus atau bahkan menghardik dalam mengajukan tuntutannya.

Dalam pikiran Yoga, seperti diberitakan Sinar Harapan, 4 April 1981, adalah “Bagaimana tetap menahan pesawat lebih lama lagi, sampai pasukan komando khusus anti-teroris tiba di Don Mueang.” Bila perlu, Yoga merendah, siap dibentak dan membujuk terus para pembajak.

Selama situasi krisis itu, Yoga kerap menampilkan “wajah” yang berbeda-beda. Seperti dituturkan Wiwoho, melihat situasi di sekelilingnya amat tegang begitu selesai berunding dengan Mahrizal, Yoga kemudian bersenandung, bersiul-siul, dan melawak. Dengan begitu, Yoga mengalihkan perhatian di sekelilingnya agar lebih rileks. 

Baca juga: 

Yoga Sugomo, Kepala Intelijen Kehilangan Dokumen

Atase pers kedutaan Indonesia untuk Thailand Wahyu Ananda Miftach sampai tercengang. Semenjak hari Minggu itu, dia memperhatikan Yoga yang tidak beristirahat barang sejenak. Yoga lebih banyak menghabiskan waktunya memantau keadaan dalam pesawat Woyla. Ketika giliran jadwal makan tiba, jenderal intel itu pun selalu memilih menjadi  yang paling terakhir.

Ok Ben, Do It!

Di pusat pengendalian krisis, semua bertanya-tanya, kapan operasi militer akan dilakukan. Sembari menanti jawaban, banyak dari mereka yang terkuras tenaga, waktu, dan pikirannya. Menjelang kedatangan pasukan khusus, mereka mempersiapkan segala sesuatunya. Di sisi lain, mereka juga mesti memenuhi kebutuhan pembajak dan sandera dalam pesawat. Suasana tengah malam itu diliputi dengan rasa mencekam bercampur letih dan lelah.

Ketika Hasnan Habib menelungkupkan muka ke atas meja karena kecapaian, Yoga meminta Miftach untuk memotretnya. Juga, sewaktu mendengar Suparno, manajer maskapai Garuda distrik Bangkok terbaring mendengkur di kursi, Yoga menyuruh Miftach merekamnya. Yoga sendiri langsung bergaya seperti pembawa acara sambil berujar:

“Ibu-ibu dan bapak-bapak, sekarang tibalah saatnya kami persembahkan biduan kesayangan kita, juara kontes menyanyi pop. . . .  ini dia. . . .,”ucap Yoga dengan menunjuk Suparno.

Baca juga: 

Cerita Korban Pembajakan Garuda Woyla

Boleh jadi, sikap Yoga yang demikian nyentrik itu barangkali karena dirinya sudah menerima jawaban dari Benny Moerdani. Seperti diketahui, Benny-lah yang berwewenang dalam menentukan pelaksanaan operasi militer pembebasan sandera pesawat Garuda “Woyla”. Yoga sendiri berbagi peran sebagai negosiator yang berhubungan dengan para pembajak. Sebisa mungkin Yoga mengulur waktu selama yang dia sanggupi.

Jawaban yang dinanti itu tiba ketika memasuki pergantian hari: ketika jam menunjukan pukul 01.00, 31 Maret 1981. Benny mengutus stafnya  Kolonel Teddy Rusdy, ke pusat pengendalian krisis. Secarik kertas kecil berisi nota dari Benny diserahkan Teddy kepada Yoga. Dalam otobigrafinya A Think Ahead, Teddy Rusdy menuliskan kembali isi pesan Benny tersebut.

Dear Pak Yoga, from now on, the show is mine!” LBM (Leonardus Benny Moerdani).  

Artinya, “Pak Yoga yang terhormat, mulai saat ini, pertunjukan milik saya!” LBM.

Baca juga: 

Sebelum Pembajakan Pesawat Garuda

Yoga membuka dan membaca nota dari Benny. Dibalasnya lagi dengan pesan singkat, “Ok Ben, do it! Sukses!,” demikian tulis Yoga. Teddy Rusdy kembali ke Posko Depan – tempat Benny Moerdani menyiapkan operasi – dan melaporkan pesan Yoga. Sesaat setelah membaca sinyal hijau dari Yoga, raut wajah Benny Moerdani berseri-seri seraya berseru, “Let’s do it!”

Operasi penyelamatan sandera itu, menurut pakar intelijen Ken Conboy, mencapai kesuksesan dengan Benny Moerdani – dan militer –  sebagai bintangnya. “Sedangkan pujian bagi kontribusi Yoga, dibanding dengan yang militer, jauhlah dibawahnya,” kata Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.

TAG

pembajakan garuda woyla

ARTIKEL TERKAIT

Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Park Chung Hee, Guru Gagal Jadi Diktator Korea Selatan Menggerakkan Ideologi Kebangsaan dari Bandung Keponakan Hitler Melawan Jerman Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Di Sekitar Indonesia Menggugat Dedikasi Peter Carey Meneliti Pangeran Diponegoro Bos Sawit Tewas di Siantar Bung Karno di Meksiko