Pada 26 Maret 1981 Presiden Soeharto berkunjung ke Bangkok, Thailand. Ada pembicaraan penting yang hendak dibicarakan dengan Perdana Menteri Prem Tinsulanonda. Waktu itu Kamboja sedang bergolak.
“Dalam pembicaraan tersebut telah disepakati bahwa kedua negara secara bersama-sama berkeinginan menyelesaikan masalah Kamboja melalui jalan politik dan diplomasi,” demikian keterangan dalam Jejak Langkah Pak Harto 29 Maret 1978 – 11 Maret 1983.
Urusan diplomatik itu beres. Selain perkara Kamboja, tidak diketahui lagi apa yang dibicarakan Soeharto dengan Prem. Soeharto pun kembali ke Jakarta.
Laksanaken, Ben!
Tiga hari kemudian, Soeharto kembali harus berurusan dengan pemerintah Thailand. Kali ini situasi lebih genting dan menyangkut keselamatan warga negara Indonesia. Waktu itu sekira pukul 10 malam lebih, tanggal 29 Maret 1981. Soeharto menerima kedatangan Asisten Intel Hankam Letjen Benny Moerdani dirumahnya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat.
“Saya lihat Pak Harto keluar dari ruangan hanya dengan memakai kain sarung,” kenang Benny dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan yang disusun Julius Pour.
Dari Benny, Soeharto mendapat kabar tentang pembajakan pesawat Garuda DC-9 “Woyla” di Bandara Don Mueang, Bangkok. Benny melengkapi berita itu dengan segala data informasi intelijen yang diperlukan berikut tuntutan para pembajak. Untuk itu, Benny minta izin agar opsi militer ditempuh guna menanggulangi aksi teror para pembajak.
Baca juga:
Teroris Membajak Pesawat Garuda
“Kamu sudah perkirakan kemungkinan berhasilnya?” tanya Soeharto
“Fifty-fifty, Pak,” jawab Benny
“Baik, laksanakan,” Presiden Soeharto merestui.
Benny telah lebih dahulu menunjuk Letnan Kolonel Sintong Panjaitan menjadi komandan operasi. Sintong merupakan komandan Grup IV/Sandiyudha, Kopassandha (sekarang Kopassus). Kakinya masih dibebat dan mesti memakai tongkat tatkala mendapat perintah. Sintong baru saja mengalami patah kaki setelah latihan terjun payung. Agar tidak menurunkan moral pasukan, Sintong segera menanggalkan tongkat penyangga kakinya.
Reaksi Para Jenderal
Pada 28 Maret 1981, pukul 10 pagi lewat 10 menit, pesawat Garuda DC-9 “Woyla” 206 dibajak teroris. Ketika aksi pembajakan terjadi, Benny Moerdani berada di Ambon dalam rangka Rapat Pimpinan ABRI. Berita itu sampai saat Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf beserta staf dan peserta Rapim sedang makan siang. Seorang perwira membawa telegram berisi laporan terjadinya pembajakan kepada Benny yang bertepatan duduk semeja dengan Jusuf.
Waktu mendengar kabar pesawat Garuda yang dibajak, Jusuf terhenyak sejenak. Dia menggigit bibirnya sebagai pertanda rasa geram tengah memuncak. “Yang terlihat saat itu hanya ekspresi kemarahan,” tutur Atmadji Sumarkidjo, jurnalis Sinar Harapan yang waktu itu bertugas meliput Rapim ABRI.
Baca juga:
Jenderal Jusuf dan Para Wartawan
Jusuf kemudian memerintahkan Benny untuk menangani tindak lanjut pembajakan itu. Benny segera pulang ke Jakarta melalui Makassar. Butuh waktu sehari bagi Benny untuk tiba di Jakarta dan kemudian mengorganisasi pasukan. Setelahnya, Benny menghadap Soeharto meminta persetujuan operasi militer.
Adalah Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo yang meneruskan berita itu dari Departemen Perhubungan ke Rapim ABRI di Ambon. Soedomo tidak mengikuti Rapim karena memang tugasnya berjaga di Jakarta. Selain Soedomo, Kepala BAKIN (kini BIN) Jenderal Yoga Soegomo merupakan pihak pertama yang menerima berita pembajakan.
Yoga mendapat kabar pembajakan di kantor BAKIN beberapa menit setelah kejadian berlangsung. Informasi itu disampaikan sekretarisnya Letkol Sanyoto yang asalnya dari pihak maskapai Garuda. “Coba telusuri lebih jauh serta tanyakan kepada Garuda, pesawat apa yang dibajak, rute penerbangannya, di mana dibajak, bagaimana penumpangnya, dan sebagainya,” kata Yoga pada sekretarisnya seperti terkisah dalam Operasi Woyla karya B. Wiwoho.
Baca juga:
CIA dalam Pembajakan Pesawat Garuda Woyla
Pukul 10.36, masuk informasi yang lebih lengkap. Pesawat tersebut menerbangi rute Jakarta—Palembang—Medan dan dibajak begitu lepas landas dari Bandara Talang Betutu, Palembang. Keterangan yang diterima BAKIN menyebutkan Woyla mengangkut 6 orang kru pesawat, 33 orang penumpang dewasa dan seorang anak dari Jakarta, serta 14 orang penumpang dari Palembang.
Salah satu nama penumpang membekas betul dalam benak Yoga. Ketika disebutkan, rasanya Yoga pernah mengenal, setidak-tidaknya mendengar dan membacanya dalam laporan intelijen. Orang itu bernama Zulfikar.
Berandalan dari Medan
Terhitung 20 Maret 1981, Zulfikar T. Djohan Meuraxa diberhentikan sebagai kepala keamanan Hotel Hilton Jakarta. Zulfikar bahkan sudah tidak pernah masuk lagi tanpa alasan sejak 10 Maret maka ia dipecat. Harian Kompas, 7 April 1981, menyebut Zulfikar yang berasal dari Medan adalah seorang karateka yang tergolong berandalan.
Zulfikar, seperti diberitakan Sinar Harapan, 2 April 1981, terlibat dalam penyerangan kantor polisi di Cicendo, Bandung pada 11 Maret 1981. Penyerangan itu mengakibatkan tiga polisi tewas dan seorang lainnya luka berat. Diketahui bahwa aksi itu berkaitan dengan Jamaah Imran – kelompok Komando Jihad Jawa Barat – yang ingin membebaskan anggotanya dari tahanan.
Baca juga:
Kantor Polisi di Cicendo Diserang
Menjelang akhir bulan Maret, kelompok Imran merencanakan pembajakan pesawat Garuda dan menukar para penumpangnya dengan anggota jamaah-nya yang tengah dipenjara. Zulfikar terpilih menjadi salah satu dari lima eksekutor pembajakan. Dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, Ken Conboy mengatakan seorang pelaku pembajakan blasteran Arab yang pernah belajar di Timur Tengah (Mahrizal), dua orang dari Sumatra Utara (Zulfikar dan Wendy), seorang dari Sumatra Barat (Sofyan Effendi alias Abu Sofyan), dan seorang dari Yogyakarta (Abdullah Mulyono).
“Mereka berhasil menguasai pesawat Garuda DC-9 yang sedang dalam penerbangan dari Palembang ke Medan, dan mengalihkan penerbangannya ke Bangkok, Thailand,” catat Conboy.
Bukan Adegan Film Aksi
Pada 28 Maret, Pukul 10.00, Garuda DC-9 “Woyla” bernomor penerbangan 206 lepas landas dari Bandara Talang Betutu, Palembang. Penerbangan sedianya akan tiba di Bandara Polonia Medan menjelang siang. Akan tetapi, beberapa menit setelah pesawat mengudara ada kejutan.
Dari belakang pesawat, tiba-tiba terdengar keributan. Seorang penumpang mendatangi ruangan kokpit sambil menodongkan pistol. Pilot pesawat Kapten Herman Rante tidak bergeming karena sedang fokus menerbangkan pesawat. Kopilot Hedhy Juwantoro senyum-senyum saja belum menyadari arti adegan tersebut. Di kabin, ketiga pramugari yang sedang memperagakan cara penyelamatan penerbangan tetiba disorong oleh tiga pembajak.
“Bagi ketiga pramugari, pada mulanya mereka menganggap adegan tadi adalah shooting film. Hanya yang menjadi pertanyaan, mengapa tidak memberi tahu lebih dahulu,” tulis B. Wiwoho dan Banjar Chaerudin dalam Memori Jenderal Yoga.
Baca juga:
Kopilot Hedhy baru tercekat setelah melihat sebutir peluru sungguhan terjatuh di lantai. Kendati demikian, Kapten Herman Rante bertindak cepat. Tanpa diketahui pembajak, Herman sempat mengirim sinyal kepada pesawat terdekat yang mengudara. Beruntung, sinyal itu ditangkap oleh Kapten A. Sapari, pesawat Garuda F-28 yang baru terbang dari Pekanbaru. Dari sandi yang dikirim Kapten Rante, Sapari dapat membaca apa yang sedang terjadi dalam Woyla.
“Being hijacked . . . being hijacked . . .,” (“Dibajak…dibajak”),” itulah pesan sandi dari Herman Rante kepada Sapari yang kemudian diteruskan ke kantor maskapai Garuda.
Berita pembajakan itu kemudian tersampaikan kepada instansi keamaan. Kopkamtib dan BAKIN merupakan pihak pemerintah yang paling awal menerima kabar tersebut. Tapi jauh di atas langit Sumatra, masa penderitaan bagi penumpang dan awak pesawat Garuda Woyla justru baru saja dimulai. (Bersambung).