Tepat 40 tahun silam terjadi peristiwa paling mencekam dalam sejarah penerbangan Indonesia: Tragedi Woyla. Pada 28 Maret 1981, pesawat Garuda DC-9 “Woyla” dengan nomor penerbangan 206 mengalami pembajakan oleh sekelompok teroris. Dari rute semula Jakarta – Palembang -- Medan , pembajak berencana membawa pesawat berikut penumpangnya menuju Libya via transit di Colombo, Sri Lanka.
“Mereka bersenjata api ketika memaksa pilot 25 mil menjelang Pekanbaru. Dari Penang para pembajak memerintahkan pilot terbang ke Bangkok setelah menurunkan Ny. Panjaitan (76 tahun) di Penang,” demikian diberitakan harian Angkatan Bersenjata, 31 Maret 1981
Pembajak terdiri dari lima orang. Mereka masing-masing bernama Mahrizal, Zulfikar, Abdullah Mulyono, Sofyan Effendy alias Abu Sofyan dan yang paling muda Wendy. Selama melakukan aksinya, mereka mengintimidasi, menganiaya, hingga melakukan pelecehan terhadap penumpang perempuan.
Maklumat Pembajakan
Pukul 10.10 kegaduhan itu terjadi. Aksi pembajakan bermula ketika Abu Sofyan, menabrak pramugari Deliyanti, kemudian menabrak pramugari yang lain, Lydia. Tubrukan itu mengakibatkan kepala Lydia terbentur dinding pesawat dekat jendela. Dalam waktu berdekatan, pembajak yang lain, Zulfikar telah berdiri di depan ke dua pramugari tersebut lalu menarik Deliyanti. Abu Sofyan kemudian memasuki ruangan kokpit sambil menodongkan pistol. Pemimpin kawanan pembajak, Mahrizal, lalu turut memasuki ruangan kokpit. Dialah yang memaklumatkan bahwa pesawat telah dibajak dan dalam penguasaan kelompoknya.
Setelah pembajak menguasai pesawat, penumpang diminta mengetatkan sabuk pengaman. Mereka diperintahkan pembajak mengangkat kedua tangan dengan telapak tangan menyentuh bagian atas sandaran kursi masing-masing. Betapa lelah dan pegalnya tangan dalam kondisi demikian selama penerbangan.
Baca juga: Sebelum Pembajakan Pesawat Garuda
Melihat penumpang yang tidak berdaya, pembajak segera melucuti barang-barang penumpang. Dompet, perhiasan, arloji, serta identitas penumpang digasak. Pembajak juga mengamankan barang-barang yang berpotensi digunakan sebagai alat perlawanan seperti pisau dan sendok. “Kalau ada yang masih menyimpan seratus perak saja akan ditembak,” teriak seorang pembajak seperti terkisah dalam Operasi Woyla: Sebuah Dokumen Sejarah karya B. Wiwoho.
Emma Nurhadijah, gadis berusia 21 tahun adalah seorang penumpang yang berhasil menyelundupkan kalung emasnya ke dalam kaus kaki. “Bergerak sedikit saja dibentak pembajak. Coba ngomong lagi, pestol di kepala. Wah serba susah,” kata Emma dikutip Angkatan Bersenjata, 2 April 1981. Dalam menghadapi kebengisan para pembajak, Emma lebih memilih diam atau pura-pura tidur.
Pesawat sempat singgah sebentar di Bandara Bayan Lepas, Penang Malaysia. Di Penang, pembajak menurunkan seorang penumpang, nenek sepuh berusia 76 tahun bernama Hulda Panjaitan br. Tobing lantaran tidak berhenti meronta. Pesawat juga sempat mengisi bahan bakar dan mendapat pasokan makanan sebanyak 60 kotak. Beres urusan logistik, pesawat lanjut terbang menuju Bangkok, Thailand.
Baca juga: Teroris Membajak Pesawat Garuda
Langkah pemerintah Malaysia yang membiarkan Garuda “Woyla”dengan gampangnya meninggalkan Penang menuju Thailand patut disesalkan. “Jika pembajak memaksa Woyla terbang semakin jauh, maka akan semakin sulit pula melaksanakan opsi militer. Apalagi kalau pesawat itu sampai tiba di salah satu negara Arab,” tulis Hendro Subroto dalam biografi Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.
Derita Para Sandera
Sabtu sore, pukul 17.02, pesawat Garuda “Woyla” mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok. Duta besar Indonesia untuk Thailand Letjen Hasnan Habib telah menanti untuk berunding dengan para pambajak. Namun mereka tidak bersedia berunding dengan pejabat sekelas duta besar. Mereka minta pejabat yang lebih tinggi seperti Panglima Kopkamtib, Laksamana Soedomo. Pemerintah pusat di Jakarta kemudian mengutus Kepala BAKIN Jenderal Yoga Soegomo.
Di dalam pesawat, pembajak memberlakukan beberapa aturan. Pada saat kiriman makanan datang, maka pramugari yang disuruh mencicipi terlebih dahulu. Penggunaan toilet dibatasi. Bagian depan dikhususkan untuk pilot, kopilot dan pembajak; bagian kiri belakang untuk sandera perempuan; bagian kanan belakang untuk sandera pria. Para pembajak menggilir para penumpang untuk membersihkan air toilet yang meluap ke gang pesawat. Pramugari Ratna Wiyana Barnas paling kerap mendapat tugas mengantar makanan ke kokpit.
Baca juga: Awal Profesi Pramugari di Indonesia
Kebengisan para pembajak pun kian menjadi. Penumpang yang disandera diinterogasi dengan pertanyaan “siapa namamu? apa agamamu dan kamu suku apa?” Jawaban-jawaban penumpang yang meragukan menuai gamparan, tendangan, bahkan dahinya ditempeli laras senjata sebagai ancaman. Zulfikar kerap mengacung-acungkan granat maupun kampaknya ke arah sandera.
Sementara itu, Sinar Harapan, 2 April 1981 menyebutkan Abu Sofyan adalah pembajak yang paling kasar terhadap perempuan. Wendy juga terus menerus menggoda pramugari. Seorang penumpang perempuan menuturkan Sofyan dan Zulfikar pernah berujar: “Nanti penumpang-penumpang pria akan dihabiskan dan semua wanita yang ada di pesawat akan ikut di ajak ke suatu negara di Afrika.”
“Mereka itu katanya memperjuangkan kepentingan Islam, tetapi tingkah laku mereka menggoda wanita yang bukan muhrimnya menjijikan sekali,” kata seorang penumpang asal Aceh kepada Sinar Harapan.
Baca juga: Hukuman Bagi Pelaku Pelecehan Seksual di Majapahit
Dari kesaksian penumpang yang dikutip Wiwoho dan Banjar Charudin dalam Memori Jenderal Yoga, hanya Mahrizal yang sikapnya agak berbeda. Mahrizal sangat retorik, pandai berbicara dengan menggunakan trik-trik psikologi. Ketimbang empat rekan yang lain, Mahrizal lebih berwibawa. Pimpinan pembajak ini bahkan disebut punya kekuatan sugestif yang tinggi dalam menjelaskan perjuangannya.
Minggu, 29 Maret adalah hari puncak penderitaan penumpang. Petaka bermula ketika Robert Wainwright, seorang penumpang warga negara Inggris berhasil kabur pada pukul 11.47. Wainwright yang duduk di kursi No. 12 dapat melarikan diri dengan mendorong pintu darurat yang berada didekatnya. Kejadian ini membuat para pembajak berang dan semakin ketat mengamankan para sandera.
Posisi duduk sandera dipindahkan menjauhi pintu-pintu pesawat. Para sandera dilarang berbicara, sabuk pengaman dikencangkan, dan makan siang ditiadakan. Akibatnya, banyak sandera yang jatuh lemas karena udara di dalam pesawat tertutup dan pengap. Mesin pengatur suhu udara pesawat tidak berfungsi sebab kehabisan bahan bakar ditambah dengan suhu siang hari yang panas. Siksaan terhadap penumpang bertambah dengan aroma bau dari toilet yang sudah melebihi kapasitas, terasa menyengat seisi pesawat.
Baca juga: Tahi Gajah Pangeran Kamboja
Penderitaan itu pula yang barangkali mendorong Carl S. Schneider, penumpang warga Amerika Serikat untuk melarikan diri. Pukul 17.15, Schneider mencoba mengelabui pembajak yang sedang mengawasi pengisian bahan bakar dan oli. Sial bagi Scheneider. Ketika berlari, dia bertabrakan dengan seorang pembajak. Sebelum mencapai landasan, dua peluru dari Abu Sofyan menghujam bahu Schneider. Dengan darah berlumuran, Schneider terkapar puluhan menit lamanya. Dua orang anggota Palang Merah Thailand bersama kopilot Hedhy Juwantoro kemudian menggotongnya ke mobil ambulans militer Thailand.
Setelah pelarian Schneider, para pembajak jadi kalap dan beringas. Budianto Salim, salah seorang penumpang ditempeleng oleh Abu Sofyan karena sepatu miliknya tercecer di gang pesawat seusai membersihkan toilet. Suara-suara intimidasi para pembajak kepada penumpang bahkan terdengar sampai menara penanganan krisis (crisis center).
Baca juga: Satgultor 81: Musuh Teroris dari Cijantung
Dari pusat krisis yang meminjam gedung maskapai penerbangan Belanda (KLM), juru runding pemerintah Indonesia dapat memantau kondisi penumpang dan berunding dengan pembajak. Komunikasi terjalin lewat saluran radio. Selain prilaku buas pembajak, rencana pembebasan sandera yang membutuhkan waktu persiapan menyebabkan penderitaan penumpang dalam pesawat berlangsung sekian lama. Jenderal Yoga Soegomo sebagai negosiator mesti mengulur waktu sementara Letjen Benny Moerdani mempersiapkan operasi militer dari Jakarta.
Salah seorang penumpang Anwar MS, dalam Kompas, 5 April, 1981, mengatakan penderitaan yang dialami para sandera sangat berat secara lahir dan batin. Para pembajak itu menurutnya sungguh brutal. Karenanya, dia berharap tragedi itu tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. “Cukuplah kami saja yang telah merasakan, jangan orang lain,” ujarnya lirih.