KENDATI cuaca dingin yang berangin itu menusuk tulang menjelang Natal, Stadion Villa Park di Birmingham, Inggris pada Minggu malam, 13 Desember 1998 itu tetap disesaki penonton. Tetapi lebih dari 39 ribu penonton di kandang tim Aston Villa itu sempat terhenyak kala jadi saksi mata insiden penerjunan sinterklas 25 tahun lampau yang berujung getir itu.
Kisahnya bermula dari laga Aston Villa menjamu juara bertahan Premier League (Liga Inggris), Arsenal, di matchday ke-17 musim 1998/1999. Tuan rumah sedang dalam tren positif, sementara “The Gunners” (julukan) Arsenal justru sebaliknya: gagal menang dalam empat laga terakhir kendati masih mempertahankan rekor tak terkalahkan sejak musim sebelumnya.
Sejatinya tim tamu besutan Arsène Wenger yang ingin bangkit dari tren stagnan itu tampil dominan sejak kick off. Mereka bahkan unggul lebih dulu lewat penyelesaian simpel tapi efektif dari Dennis Bergkamp di menit ke-14.
Gol pembuka itu berawal dari umpan lambung kiper Arsenal David Seaman di lini belakang yang ter-deflect sundulan Freddie Ljungberg. Bola liarnya diolah Bergkamp dengan mengelabui dua bek Villa dan diakhiri tembakan keras mendatar dari garis kotak penalti yang tak mampu dihalau kiper Villa, Michael Oakes.
Baca juga: Lima Gebrakan Revolusioner Wenger
Papan skor di Stadion Villa Park lalu berubah lagi di menit ke-45, 2-0 untuk Arsenal. Golnya bermula dari penetrasi Nicolas Anelka di sisi kanan pertahanan Villa yang lalu memberi umpan datar ke jantung pertahanan lawan. Bola umpannya kemudian disontek Bergkamp dan merobek gawang Villa untuk kedua kalinya.
Saat para pemain beralih ke ruang ganti waktu istirahat pertandingan, dihelatlah pertunjukan akrobatik terjun payung tiga anggota Angkatan Udara (AU) Inggris RAF. Sersan Nigel Rogoff, salah satu penerjun, dan kedua rekannya berparasut dengan mengenakan kostum sinterklas dan direncanakan mendarat di tengah-tengah lapangan Villa Park sebagai “hadiah” Natal untuk publik.
“Nigel seorang penerjung payung yang sangat kompeten dengan pengalaman 10 tahun dan 6.000 penerjunan. Mereka terbang dan terjun dan sebenarnya pada awalnya segalanya berjalan sesuai rencana tapi saat mereka mulai mendekati daratan, Nigel menghadapi kesulitan,” aku salah satu koleganya, Sersan Paul Dunn, kepada suratkabar The Independent, 14 Desember 1998.
Saat berkoordinasi dengan panitia pertandingan dan kru darat, laporan cuaca yang mereka dapatkan sudah sedikit mengkhawatirkan karena cukup berangin. Namun penerjunan tetap diberikan lampu hijau.
“Kondisi cuaca cukup berangin tapi kru di darat mengatakan semuanya OK, kendati keputusan untuk tetap terjun dari pesawat sepenuhnya keputusan saya. Tidak ada yang memaksa. Saya tidak ingat apa yang salah. Kondisinya gelap dan berangin. Para penerjun lain berhasil mendarat tapi yang saya alami berbeda,” kenang Rogoff yang menuliskan pengalamannya di kolom The Guardian, 13 Desember 2008.
Rupanya saat Rogoff mulai mendekat ke stadion, ia tersapu angin dan tak mampu mengendalikan parasutnya. Tubuh Rogoff kemudian membentur atap stadion di sektor Tribun Trinity Road. Ia kemudian jatuh ke lapangan dari ketinggian 100 kaki atau 30,5 meter.
Baca juga: Tahun Baru Nahas di Stadion Ibrox
Kebangkitan Usai Insiden
Insiden pelik yang dialami Rogoff 25 tahun silam itu mengejutkan seisi Stadion Villa Park. Tak hanya para penonton, beberapa pemain yang mengetahui kabarnya turut terhenyak.
“Saya ingat kala itu menjelang Natal dan (cuaca) cukup dingin dan seorang sinterklas yang terjun payung mengalami insiden. Saat itu kami sedang tertinggal 0-2 di babak pertama dan ketika kami berada di ruang ganti, terjadilah kecelakaan itu. Kami terpaksa tetap di ruang ganti lebih lama (dari 15 menit waktu istirahat normal) tapi itu memberikan kami waktu untuk fokus menuju babak kedua,” kenang gelandang Aston Villa 1994-2003, Ian Taylor, disitat Planet Football, 18 Februari 2023.
Jalannya babak kedua pun tertunda beberapa menit. Rogoff diberikan pertolongan pertama oleh dua penonton yang kebetulan berprofesi sebagai dokter bedah. Ia kemudian dilarikan menggunakan ambulans ke Birmingham City Hospital dengan cedera di bagian punggung dan kaki kirinya.
“Seingat saya satu jam setelah (insiden) itu saya sudah berada di meja bedah. Sebanyak 177 kantong darah yang ditransfusikan pada saya malam itu. Saya tak pernah mendonorkan darah sepanjang hidup saya tapi saat itu ada 177 orang yang mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan nyawa saya. Saya sangat berterimakasih kepada mereka,” sambung Rogoff.
Baca juga: Lautan Manusia di Stadion Wembley
Selepas Rogoff dibawa ke rumahsakit, laga pun dilanjutkan. Benar saja, tambahan waktu istirahat itu memantik kebangkitan tuan rumah. Aston Villa sanggup memperkecil kekalahan jadi 1-2 di menit ke-62 lewat gol yang dicetak Julian Joachim.
Gol itu diawali umpan lambung Gareth Southgate dari lini pertahanan yang kemudian disundul Dion Dublin. Bolanya kemudian diteruskan Lee Hendrie yang menggocek Nelson Vivas. Joachim yang muncul dari lini kedua pun menerima umpan pendek Hendrie untuk kemudian menceploskan bola ke gawang Arsenal yang dikawal Seaman.
Stadion Villa Park kembali bergemuruh hanya tiga menit berselang. Di menit ke-65, papan skor berubah lagi jadi 2-2 setelah gol Dublin menyamakan kedudukan. Gol berawal dari bola liar hasil pantulan tendangan Alan Thompson yang mengenai punggung Lee Dixon. Dublin yang tak terkawal melancarkan tembakan first time yang tak mampu dibendung Seaman.
Keadaan makin pahit buat Arsenal kala memasuki menit ke-83. Dublin menorehkan gol keduanya untuk membalikkan keadaan dengan sontekannya usai menerima umpan tendangan sudut Thompson. Skor 3-2 untuk kemenangan Aston Villa pun bertahan sampai wasit Steve Lodge meniup peluit panjang tanda berakhirnya laga.
“Rekor tak terkalahkan Arsenal yang tadinya berlanjut sedari musim lalu pun berakhir pada 13 Desember 1998 itu ketika mereka kalah 3-2 dari Aston Villa,” tulis Jim White dalam Premier League: A History in Ten Matches.
Baca juga: Aston Villa Punya Cerita
Dengan kebangkitan itu, Aston Villa merangsek ke puncak klasemen Premier League untuk sementara. Mereka makin percaya diri masuk ke persaingan merebut gelar juara sekaligus mendobrak dominasi “Big Four” (Manchester United, Chelsea, Arsenal, Liverpool).
“Saya percaya setelah pekan pertandingan di mana kami telah menghadapi Manchester United, Chelsea, dan Arsenal, ada lebih dari empat tim yang punya potensi menjadi juara (liga), termasuk kami,” cetus pelatih Aston Villa John Gregory kepada The Guardian, 14 Desember 1998.
Lantas bagaimana dengan kelanjutan nasib Rogoff si sinterklas malang tadi?
“Saya beruntung bisa selamat. Saya sempat dirawat dengan ventilator selama tiga pekan dan saya baru siuman saat tahun sudah berganti. Saya juga menyadari kaki kiri saya memburuk dan harus membuat keputusan untuk mengamputasinya,” Rogoff berkata lirih.
Rogoff tak ingin menyalahkan pihak manapun. Seperti halnya Aston Villa di laga itu, dirinya berusaha bangkit dan usahanya tak keliru. Di balik getir insiden itu, Rogoff juga mengalami titik balik kehidupannya.
Meski kemudian pensiun, Rogoff tetap mendapat perawatan dan pemulihan di Birmingham Limb Centre dan dilanjutkan di Defence Services Medical Rehabilitation Centre. Tak disangka, di situ pula Rogoff menemukan pendamping hidupnya, Sarah, yang merupakan perawat di fasilitas pemulihan itu.
“Sarah perawat di sana meski bukan ia yang menangani saya langsung. Hubungan kami berkembang di sana. Sekarang kami menikah dan memiliki anak kembar. Bertemu dengan Sarah menjadi titik balik kehidupan saya,” tandas Rogoff yang kini tinggal di Afrika Selatan.
Baca juga: Getirnya Tragedi di Stadion Luzhniki