Masuk Daftar
My Getplus

Philippe Troussier si Dukun Putih

Sosok pelatih veteran yang gemilang di Afrika hingga dijuluki “Dukun Putih”. Faktanya selalu apes saat empat kali bersua timnas Indonesia.

Oleh: Randy Wirayudha | 27 Mar 2024
Philippe Omar Troussier didepak Vietnam usai keok 3-0 dari timnas Indonesia (vff.org.vn)

STADION Nasional Mỹ Đình di kota Hanoi Rabu (26/3/2024) malam itu disesaki atmosfer yang campur aduk antara pilu, getir, dan kemarahan puluhan ribu suporter timnas Vietnam usai wasit meniup peluit terakhir. Kekalahan 0-3 dari tim tamu, Indonesia, membuat rasa muak mereka kepada pelatih Philippe Troussier sudah pada titik klimaks.

Sejak menggantikan Park Hang-seo di kursi kepelatihan timnas Vietnam pada Februari 2023 silam, Troussier sudah banjir kritik dari publik dan media “Negeri Nguyen” itu. Sebelumnya, ia gagal mengantar Đỗ Hùng Dũng dkk. lolos fase Grup Piala Asia 2023 yang menjadi kegagalan terburuk dalam sejarah sepakbola modern Vietnam.

Pun pada Kualifikasi Piala Dunia Zona AFC (Asia) Grup F. Hingga empat laga yang sudah dimainkan, Vietnam baru menang sekali. Terakhir adalah kekalahan tiga gol tanpa balas di kandang sendiri dari Indonesia.

Advertising
Advertising

Baca juga: Menggocek Sejarah Sepakbola Vietnam

Vietnam dipermalukan 0-3 di kandang sendiri (vff.org.vn)

Gema suporter Vietnam yang mengusung kampanye “Troussier Out” pun makin menguat. VFF selaku federasi sepakbola Vietnam akhirnya menjawabnya di malam yang sama. Kepada VnExpress, seorang petinggi VFF mengungkapkan pada Rabu (26/3/2024), sejatinya Troussier tidak dipecat mengingat pelatih berpaspor Prancis yang menjadi mualaf sejak 2006 itu masih terikat kontrak hingga Juli 2026. Akan tetapi setelah digelarnya rapat darurat internal, akhirnya diputuskan VFF mengakhiri kerjasama dengan Troussier. Meski tak mendapat kompensasi pemutusan kontrak sepihak, Troussier menerima negosiasi “pesangon” tiga bulan gaji.

“Kami membujuk Troussier untuk melihat realitasnya, saat kepercayaan di dalam skuad telah mencapai titik terendah, fans sudah sejak lama bereaksi (terhadap gaya kepelatihan Troussier) dan tim nasional butuh restrukturisasi sesegera mungkin,” ungkap petinggi VFF yang tak disebutkan namanya itu.

Di sisi lain, menjadi fakta unik bahwa sosok berjuluk “Dukun Putih” dengan pengalaman 41 tahun melatih itu kerap apes ketika tim yang dibesutnya empat kali bersua Indonesia. Pertama, timnas Qatar keok 1-2 di Piala Asia 2004 yang berakhir pemecatan dirinya. Kedua, timnas Vietnam U-22 kalah 2-3 di semifinal SEA Games 2023. Ketiga, timnas Vietnam kalah 0-1 dan 0-3 di dua partai kualifikasi Piala Dunia Zona AFC Grup F, hingga membuat VFF mesti memutuskan kerjasamanya dengan Troussier, lima hari pasca-berulangtahun yang ke-69.

Baca juga: Qatar di Gelanggang Sepakbola

Seruan-seruan suporter Vietnam yang menginginkan Troussier dipecat (VnExpress)

Melanglangbuana dari Afrika ke Asia

Laiknya banyak pelatih sepakbola jempolan, Philippe Bernard Victor Troussier (kini Philippe Omar Troussier) tak punya latar belakang karier sebagai pemain yang mentereng. Troussier yang kelahiran Paris, 21 Maret 1955 hanya punya catatan sebagai pemain.

Mengutip kolom wawancara Melissa Feineman dengan Troussier, “Philippe Troussier: Former Coach of the Japan National Team Shares his Philosophy of Football” di majalah J Select edisi September 2010, Troussier mengaku mulai mengenal sepakbola dari usia delapan tahun secara kebetulan.

“Saya menemukan sepasang sepatu sepakbola di garasi pada usia delapan tahun tapi saat mencobanya ternyata ukurannya terlalu besar, hingga saya merasa seperti (karakter dongeng) Puss in Boots. Tetapi saya mendapat kesan bahwa sepatu itu bak memberikan saya kekuatan aneh yang membuat saya bisa lari lebih cepat dan meloncat lebih tinggi,” kata Troussier.

Baca juga: Ronald Koeman Pahlawan Katalan dari Zaandam

Ia lantas mencoba mengasah bakatnya di tim amatir muda AS Choisy-le-Roi pada 1974 dan RC Joinville setahun berselang. Posisinya sebagai bek.

Troussier memulai karier profesionalnya bersama klub Ligue 2 (divisi kedua Liga Prancis) Angoulême Charente FC pada 1976. Selanjutnya dalam masa tujuh tahun buku kariernya, ia bergonta-ganti klub: Red Star 93 pada 1978, FC Rouen pada 1978, dan mengakhiri karier di Stade de Reims pada 1983.

Troussier (berdiri, kelima dari kiri) di skuad FC Rouen 1980 (federationculsrouges.fr)

Kariernya sebagai pemain mandek, Troussier beralih profesi ke tepi lapangan sebagai pelatih di usia 28 tahun. Setelah mendapatkan lisensi pelatih pada 1983, ia meniti karier barunya dengan menukangi tim akademi INF Vichy di tahun yang sama. Sebelum merantau ke Afrika pada 1989, Troussier mengasuh tiga tim semenjana Prancis lain kurun 1984-1989: CS Alençon, Red Star 93, dan US Créteil.

“Di Afrikalah saya mulai mendapatkan serangkaian pengakuan. Saya merasa tidak butuh untuk melatih klub-klub besar seperti Arsenal atau Manchester atau timnas Inggris atau Jerman untuk menjadi salah satu pelatih top dunia,” tutur Troussier, dikutip Martin Greig dalam The Zen of Naka: The Journey of a Japanese Genius.

Baca juga: Anomali Kamerun yang Menggegerkan Dunia

Di Benua Hitam, Troussier mulai mengukir masa-masa keemasannya sebagai pelatih di klub Pantai Gading, ASEC Mimosas, kurun 1989-1992. Ia membawa Abdoulaye Traoré cs. merebut titel Liga Primer Pantai Gading tiga kali berturut-turut (1990-1992). Di masa-masa itulah ia mulai mendapat julukan “Le Sorcier Blanc” alias Dukun Putih.

“Seingat saya dalam sebuah pertandingan, kami tertinggal 0-2 saat waktu menyisakan dua menit. Saya mengganti dua pemain dan akhirnya kami yang menang. Jadi mereka menjuluki saya Dukun Putih karena saya melakukan sesuatu yang mengubah jalannya pertandingan,” kenang Troussier, dikutip Ian Hawkey dalam Feet of the Chameleon: The Story of African Football.

Troussier (tengah) saat menukangi ASEC Mimosas (mondialsport.ci)

Kunci keberhasilannya di Pantai Gading, seingat Troussier, bukanlah sekadar mengembangkan teknik dan fisik para pemain serta taktik permainan. Yang tak kalah penting adalah komunikasi baik di dalam maupun di luar lapangan.

“Bukan gebrakan dalam hal (metode latihan) fisik atau apapun melainkan gebrakan yang agresif dalam level ekspektasi. Semua orang, para fans, presiden (klub), para jurnalis, menginginkan Anda mengatakan apa yang mereka rasakan dan mereka ingin Anda untuk selalu menang 5-0. Jujur saya beruntung saat memulainya. Praktis saya tidak pernah kalah satu pertandingan pun dalam tiga tahun,” imbuhnya.

Kegemilangan Troussier membuatnya direkrut untuk menukangi timnas Pantai Gading, yang nyaris dibawanya lolos ke Piala Dunia 1994. Lantas selama hampir satu dekade ia menegaskan reputasinya di Afrika bersama klub Kaizer Chiefs (1994), FUS Rabat (1995-1997), timnas Nigeria (1997), timnas Burkina Faso (1997-1998), dan timnas Afrika Selatan (1998).

Baca juga: Pelatih yang "Diceraikan" Jelang Hajatan

Pengalaman pahit sempat ia rasakan kala masih mengasuh Nigeria pada 1997. Ibarat pepatah “habis manis, sepah dibuang,”, Troussier di-PHK oleh NFA (federasi sepakbola Nigeria) dengan alasan NFA menginginkan pelatih yang lebih berpengalaman, tak peduli ia sukses mengantarkan Nigeria lolos ke Piala Dunia 1998. Di Piala Dunia 1998, Nigeria berangkat ke Prancis dengan pelatih asal Serbia, Velibor ‘Bora’ Milutinović.

“Kami telah membatalkan kontrak Troussier karena kami merasa secara teknis dia kurang cocok mendampingi Eagles (julukan timnas Nigeria) ke Piala Dunia di Prancs tahun depan,” ungkap ketua NFA, Abdulmumuni Aminu, dilansir Panafrican News Agency, 25 September 1997.

Mendampingi timnas Afrika Selatan ke Piala Dunia 1998 (Facebook Bafana Bafana - South Africa)

Namun “sihir” Troussier masih ampuh. Ia direkrut timnas Burkina Faso yang ia antarkan hingga semifinal Piala Afrika 1998. Selepas turnamen, Troussier menerima pinangan menukangi timnas Afrika Selatan, hingga akhirnya Troussier tetap berangkat ke Piala Dunia 1998 –hal serupa juga terjadi pada Jomo Sono yang sudah mengantarkan timnas Afrika Selatan lolos ke Piala Dunia 1998.

“Saya berada di Johannesburg pada Januari 1998 saat saya menandatangani kontrak (dengan Afrika Selatan), lalu saya tetap memenuhi kontrak sebelumnya tampil di AFCON (Piala Afrika, red.) bersama Burkina Faso. Kami mencapai semifinal, sementara Afrika Selatan yang menjadi finalis kemudian justru melepas (pelatih) Jomo Sono. Tidak ada yang bisa memahami kenapa Afrika Selatan mengganti pelatih mereka setelah menjadi runner-up (Piala Afrika), hingga membuat saya sendiri merasa tidak nyaman sebetulnya,” ujar Troussier, dikutip Chris Evans dalam How to Win the World Cup: Secrets and Insights from International Football’s Top Managers.

Baca juga: Maroko dan Piala Dunia

Meski kemudian gagal membawa Afrika Selatan lolos penyisihan grup Piala Dunia 1998, toh Troussier tetap “laris”. Kurun 1998-2002, ia dipinang JFA untuk menangani timnas senior, U-20, dan U-23 Jepang dengan pencapaian manis: runner-up Piala Dunia U-20 1999, runner-up Piala Konfederasi, dan juara Piala Asia 2000. Itu membuatnya dinobatkan sebagai pelatih terbaik AFC di tahun itu.

Salah satu kunci suksesnya adalah ikut mendorong pesepakbola Jepang untuk berkarier di mancanegara, utamanya Eropa. Pasalnya menurut Troussier, sepakbola Jepang tidak kalah dalam sisi skill, teknis, maupun fasilitas, namun minim jam terbang pemain di luar Jepang.

“Jika Anda berkarier di luar negeri, Anda berlatih dengan metode, pelatih-pelatih, dan kompetisi-kompetisi berbeda sehingga Anda bisa menghadapi dan mencari solusi dari banyak problem. Sayangnya saat itu belum banyak pemain (Jepang) bermain di luar negeri dan itu alasannya mereka belum bisa mengembangkan kemampuan-kemampuan tadi,” jelas Troussier.

Tetap bersinar saat membesut Jepang hingga 2002 (the-afc.com)

Hingga Piala Dunia 2002, di mana ia membawa Jepang mencapai perdelapan final, Troussier kembali bolak-balik ke Afrika-Eropa-Asia untuk menyambung karier. Dimulai dari timnas Qatar (2003-2004), lalu Olympique Marseille (2004-2005), timnas Maroko (2005), FAR Rabat (2007), FC Ryūkyū (sebagai direktur teknis, 2008-2010), Shenzen Ruby (2011-2013), CS Sfaxien (2014), Hangzhou Greentown (2015), hingga Chongqing Liangjiang (sebagai direktur teknis, 2017-2018).

Troussier hijrah ke Vietnam setelah mendapat tawaran menjadi direktur teknis akademi sepakbola PVF pada 2018. Setahun berselang, VFF merekrutnya untuk mengasuh timnas Vietnam U-19, timnas Vietnam U-23 pada 2021, serta timnas senior Vietnam pada Maret 2023 sepeninggal Park Hang-seo. Namun, VFF dan Troussier akhirnya sepakat untuk mengakhiri kerjasama yang baru setahun itu.

“VFF menghargai kontribusi Troussier yang bekerja dengan rasa tanggung jawab tinggi dan profesional dalam pekerjaannya. Sebagai respons, Troussier berterimakasih atas dukungan para pemain, klub-klub, VFF, dan juga para pendukung. Troussier juga meminta maaf kepada pendukung Vietnam karena pencapaian tim (nasional) tidak memenuhi ekspetasi,” tukas VFF dalam pernyataan resminya, dikutip laman resmi federasi sepakbola ASEAN (AFF), Kamis (27/3/2024).

Baca juga: Revolusi Sepakbola Jepang

TAG

sepakbola pelatih vietnam

ARTIKEL TERKAIT

Rossoblù Jawara dari Masa Lalu Lima Jersey Sepakbola Kontroversial Momentum Bayer Leverkusen Dua Kaki Andreas Brehme Silent Majority, Richard Nixon, dan Perang Vietnam Petualangan Tim Kanguru Piala Asia Tanpa Israel Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer Ingar-Bingar Boxing Day Sinterklas Terjun hingga Tumbang di Stadion