STADION Al Maktoum di Dubai, Uni Emirat Arab pada Senin (7/6/2021) malam jadi saksi bisu kedigdayaan Vietnam. Negeri “Paman Ho” itu berpesta gol ke gawang Indonesia di laga kualifikasi Piala Dunia 2022 Qatar Grup G. Kemenangan 4-0 itu sekaligus memantapkan posisi mereka di puncak klasemen.
Nguyễn Quang Hải dkk. masih akan menghadapi Malaysia di venue yang sama pada 11 Juni. Untuk menentukan lolos-tidaknya ke fase ketiga kualifikasi zona AFC sebagai juara grup, Vietnam dijadwalkan akan melakoni partai terakhir grup kontra UEA pada 15 Juni.
“Kami ingin mendedikasikan kemenangan ini kepada semua rakyat Vietnam yang selalu mengikuti dan mendukung tim. Mereka akan jadi sumber motivasi besar bagi persiapan kami menyongsong pertandingan-pertandingan berikutnya,” papar Nguyễn Hải, disitat Nhân Dân, Selasa (8/6/2021).
Baca juga: Qatar di Gelanggang Sepakbola
Langkah tim besutan Park Hang-seo untuk jadi kontestan Asia Tenggara kedua setelah Hindia Belanda (kini Indonesia) ke putaran final Piala Dunia pun terbuka lebar. Dari fase ketiga, Vietnam bakal tinggal selangkah lagi lolos ke pesta sepakbola terakbar itu.
Ada 4,5 jatah zona AFC –di luar Qatar sebagai tuan rumah– untuk diperebutkan Vietnam dan 15 tim lain. Empat di antaranya akan langsung ke putaran final Piala Dunia, sementara jatah kelima harus diperebutkan lewat playoff inter-konfederasi antara satu tim zona Asia dan satu tim zona Oseania/Amerika Selatan.
Prestasi negeri Indochina itu pun menuai banyak pujian. Pasalnya, Vietnam termasuk sangat telat menseriusi sepakbola sehingga sempat jauh tertinggal dari Indonesia yang mereka pecundangi Senin malam lalu. Saat Indonesia jadi “Macan Asia” pada 1950-1960, Vietnam masih disibukkan oleh perang hingga 1970-an. Usai perang pun Vietnam masih mengesampingkan sepakbola lantaran fokus membangun negerinya yang porak-poranda.
Namun begitu sepakbola diseriusi Vietnam pada 1990-an, tak butuh waktu lama bagi negeri itu untuk menjadi disegani. Vietnam mulai meruntuhkan hegemoni “Big Four” (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura) Asia Tenggara pada medio 2000-an.
Olahraga Impor
Perang terus menyertai perjalanan sejarah Vietnam sejak kemerdekaannya pasca-Perang Dunia II. Akibatnya, perkembangan sepakbolanya berbeda dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Padahal, ungkap Cho Young-han dalam Football in Asia: History, Culture and Business, titik nol sepakbola di Vietnam tak berbeda jauh dari ketiga negara ASEAN di atas atau negeri-negeri Afrika dan Amerika Latin, sepakbola dibawa masuk masing-masing kolonisator mereka.
“Di Afrika sepakbola diperkenalkan para pedagang Eropa. Di Asia biasanya diperkenalkan lewat institusi militer, para misionaris, dan di sekolah-sekolah. Di India sepakbolanya dikenalkan dari para tentara dan misionaris. Di Vietnam oleh militer Prancis. Di Malaysia sepakbolanya dibawa Inggris bersamaan dengan olahraga Barat lainnya. Kolonialis Belanda mengenalkan sepakbola di Indonesia melalui kantor-kantor dagang, militer, dan pegawai sipil,” tulis Cho.
Baca juga: Roman Sepakbola Negeri Jiran
Kendati tidak diketahui pasti kapan pertamakali sepakbola dimainkan di Vietnam, beberapa sumber menyebutkan sepakbola sudah dimainkan di Cochinchina oleh pegawai sipil, pedagang, dan militer kolonial Prancis sejak 1896. Ada pula yang menyebutkan sepakbola baru eksis setelah pergantian abad.
“Karena sejarah olahraga di Vietnam sampai saat ini tetap dituliskan hanya sebagai bagian kecil dari refleksi yang lebih besar dalam dinamika masyarakatnya yang berubah-ubah. Padahal, tidak banyak yang tahu bahwa sepakbola di Vietnam lebih ‘senior’ (se-Asia Tenggara). Sejarah olahraga di Vietnam acap jadi tema marjinal dan kalaupun dituliskan oleh beberapa penulis tidaklah lengkap,” kata Agathe Larcher-Goscha dalam Du Football au Vietnam (1905-1949): Colonialisme, Culture, Sportive et Sociabilités en Jeux.
Saigon, ibukota Cochinchina (Vietnam Selatan) semasa Fédération Indochinoise (Indocina Prancis), sebagai kota terbesar dan tersibuk memungkinkan sepakbola bisa lebih populer dari tempat-tempat lain saat diperkenalkan kolonialis Prancis. Pertandingan sepakbola pertama yang tercatat dimainkan di Cochinchina antara tim militer Prancis kontra Inggris, sebagai jamuan tuan rumah atas kedatangan kapal penjelajah Angkatan Laut Inggris HMS King Alfred pada medio 1905.
Baca juga: Serumpun yang Berseteru di Lapangan
Pada 1906, perhimpunan olahraga tertua di Vietnam Cercle Sportif Saigonnais (CSS) mendirikan tim sepakbola dengan nama sama. Tim amatir itu tercatat sebagai tim sepakbola pertama di Vietnam.
“Cercle Sportif Saigonnais sudah berdiri sejak 1902 yang menaungi banyak aktivitas olahraga dalam satu wadah walau sejak 1890-an sudah ada klub-klub anggar dan angkat besi yang berdiri sendiri di Rue Lagrandière,” terang Albert Oriol dalam Le Sport au Vietnam.
Tim CSS meniru sistem, manajemen, maupun peraturan sepakbola baku dari Prancis yang diperkenalkan E. Breton, anggota L’Union des Sociétés Français des Sports Athlétiques. Breton kemudian dipilih para anggota tim menjadi ketua CSS.
Baca juga: Enam Muslim Pionir di Sepakbola Prancis
Pemain dan pengurus CSS terdiri dari pedagang asal Prancis, Swiss, dan Inggris. Mereka kemudian menyewa lapangan di stadion milik militer Prancis. Selain militer Prancis, CSS acap menggelar laga melawan tim-tim militer negara lain yang datang silih-berganti ke pelabuhan Saigon. Pertandingannya sering terbuka untuk umum sehingga menularkan antusiasme sepakbola yang sama kepada anak negeri.
“Seiring waktu tim-tim baru bermunculan di Saigon: Athletic Club yang berisi para pegawai perusahaan swasta, Tabert Club oleh para pelajar Eurasian (blasteran Eropa-Asia) dari institusi gereja, Chinese Sporting Club dari golongan orang-orang China, dan klub orang lokal, Gia Đinh Sport,” sambung Larcher-Goscha.
Sejak 1906 itu pula sepakbola merambah Tonkin dan Annam. Geliatnya kemudian meningkat dengan kemunculan klub-klub amatir pada medio 1915, selaras dengan didirikannya komisi olahraga di tiga wilayah itu.
Baca juga: Sepucuk Surat PM Malaysia untuk PSSI
Pada medio 1915, klub-klub lokal pun bermunculan di Cochinchina, Annam, maupun Tonkin dengan Cochinchina sebagai yang terbesar. Larcher-Goscha mencatat, hingga pecahnya Perang Dunia II, sebanyak 67 klub eksis di Cochinchina, 16 di Tonkin, dan lima di Annam. Mereka umumnya saling “adu kuat” lewat laga persahabatan yang dimainkan tanpa perlengkapan memadai.
“Para pesepakbola kami (lokal) yang sebagian besar tak pernah menyentuh bola dengan kaki, tentunya punya kekurangan pengetahuan aturan sepakbola. Kami sering bermain tanpa sepatu. Lebih sering ada yang terjatuh ketimbang tendangan-tendangan yang bagus dan pertandingannya bukannya menarik justru cenderung lucu,” kenang pemain veteran klub lokal kepada suratkabar L’Écho Annamite edisi 14 Oktober 1925.
Kompetisi di Vietnam baru eksis pada 1914, yakni Kejuaraan Cochinchina. Kompetisi ini diikuti tim-tim bentukan orang Eropa di selatan Vietnam. Baru pada 1920 banyak kompetisi lain bermunculan. Tak hanya diikuti klub-klub lokal, kompetisi-kompetisi itu juga diikuti klub-klub asal Laos dan Kamboja, seperti Championnats Héraut, Coupe de la Ville de Cholon, Coupe de l’Armistice, Challenge Khoa HocTap Chi, dan Coupe Nguyen ChieuThong.
Uniknya, sepakbola di Vietnam juga digemari kaum perempuan. Vietnam jadi salah satu pionir sepakbola putri di Asia. Tim putri pertamanya, Cái Vồn, berdiri pada 1932 dan diikuti Rach Giá Sport pada 1933.
Baca juga: Sepakbola Kaum Hawa Merentang Masa
Terbelah Dua
Pada masa Perang Dunia II, aktivitas sepakbola di Vietnam mati suri. Kondisi tersebut berlanjut ke masa berikutnya, di mana Perang Indocina melumpuhkan banyak sendi kehidupan.
Setelah Vietnam dibagi menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan dalam Konferensi Jenewa (26 April-20 Juli 1954), di Saigon berdiri Asosiasi Sepakbola Republik Vietnam pada 1949 dan di Hanoi berdiri Asosiasi Sepakbola Republik Demokratik Vietnam pada 1954.
“Induk sepakbolanya terbagi dua, Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, di mana keduanya sama-sama mencari pengakuan akan identitas nasional mereka dan masing-masing mengklaim sebagai yang paling unggul. Referensi tentang masa lalu sepakbola mereka di masa kolonial tak lagi diakui dan terhapus seiring bertahun-tahun dalam situasi perang,” terang Larcher-Goscha.
Baca juga: Ketika Robby Darwis Dikerjai Malaysia
Keduanya asosiasi itu diakui AFC walau kemudian hanya Vietnam Selatan yang diterima masuk jadi anggota FIFA. Maka, hanya Vietnam Selatan yang tercatat pernah ikut kualifikasi Piala Dunia (1974) selain Piala Asia (1956 dan 1960), dan Asian Games (1951, 1954, 1958, 1962, 1966, dan 1970).
Sementara, kendati diakui AFC, Vietnam Utara tak pernah ikut Piala Asia maupun Asian Games. Dua perhelatan internasional yang pernah diikuti Vietnam Utara adalah Ganefo (Games of the New Emerging Forces) I di Jakarta pada 1963 dan Ganefo II di Pnom Penh pada 1967. Sisanya, mayoritas laga yang dimainkan Vietnam Utara hanya laga persahabatan dengan sesama negara kiri, seperti laga kontra RRC, Kamboja, Korea Utara, dan Kuba.
Baca juga: Persipura Mengalah di Vietnam
Walau perang mulai reda sejak 1976, pemerintah Vietnam belum punya banyak perhatian pada sepakbola. Reformasi Đổi Mới yang menghasilkan pembentukan induk baru, Federasi Sepakbola Vietnam (VFF), pada Agustus 1989 –dengan Wakil Menteri Olahraga Trịnh Ngọc Chữ sebagai presiden pertamanya– tak serta-merta membuat perubahan besar dalam persepakbolaan Vietnam. Pada 1976 bahkan dua asosiasi sepakbola Vietnam gulung tikar.
Perhatian serius pada sepakbola baru diberikan pemerintah Vietnam pada 1989. Kendati begitu, persepakbolaan masih belum beranjak jauh. Liganya acap dibelit skandal, timnasnya pun kerap jadi bulan-bulanan tim seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Kebijakan terbuka yang mengizinkan keterlibatan pemain dan pelatih asing sejak tahun 2000 belum bisa memberikan kemajuan sesuai ekspektasi.
Baru setelah mengetahui pangkal permasalahannya pada mentalitas di bidang pembinaan pemain usia dini, VFF berupaya berbenah pada awal 2007 dengan menggandeng klub top Inggris Arsenal FC dan sekolah sepakbola Prancis JMG Academy. Kerjasama itu menghasilkan pusat pelatihan HAGL-Arsenal JMG Academy di Pleiku yang infrastrukturnya berstandar internasional.
Hasilnya, pada 2007 timnas Vietnam mampu mencapai perempatfinal Piala AFF –yang diulangi pada 2019. Pada 2018, Vietnam berhasil menjuarai Piala AFF dan setahun kemudian merebut medali emas cabang sepakbola SEA Games. Kini, tim berjuluk Golden Star Warriors itu membidik satu dari empat jatah Piala Dunia 2022 dari zona Asia.
“Akademi (HAGL-Arsenal JMG) memberikan para pemain mindset yang benar, kekuatan fisik dan determinasi untuk bicara banyak di Asia. Kami semua berharap dan percaya Vietnam akan jadi negara sepakbola kuat di masa mendatang,” tukas pemain timnas Vietnam jebolan HAGL-Arsenal JMG, Nguyễn Công Phượng dikutip Esquire, 15 Juni 2018.
Baca juga: Sepakbola Palestina dari Masa ke Masa