SOSOK bersenjata peluit dengan jersey biru sendiri di dalam duel dua tim di lapangan hijau itu pasti memiliki fisik dan stamina prima. Selain mesti berlari mengikuti ke mana bola pergi dengan jarak maksimal 20 yard (18 meter) dari bola sepanjang laga, ia berani dan tegas. Itulah Stéphanie Frappart, wasit yang memimpin laga terakhir Grup E antara Kosta Rika kontra Jerman pada 1 Desember 2022.
Kehadiran Frappart di Ahmad bin Ali Stadium itu jadi momen bersejarah bagi kaum perempuan. Untuk pertamakalinya dalam 92 tahun dan 942 pertandingan dalam catatan sejarah Piala Dunia, wasit perempuan memimpin pertandingan.
Di momen bersejarah itu, Frappart tak hanya sendiri. Wasit kelahiran Le Plessis-Bouchard, Prancis pada 38 tahun silam itu ditemani duet hakim garis yang juga perempuan, Neuza Ines Back dari Brasil dan Karen Díaz Medina asal Meksiko.
“Piala Dunia putra adalah kompetisi olahraga paling penting di dunia. Saya sendiri sudah menjadi wasit pertama di Prancis dan Eropa, jadi saya paham bagaimana harus menghadapinya,” kata Frappart, dikutip Reuters, Sabtu (3/11/2022).
Baca juga: Mulanya Wasit Meniup Peluit dalam Pertandingan Sepakbola
Dalam Piala Dunia 2022 di Qatar, Komite Wasit FIFA menghadirkan setidaknya enam ofisial pertandingan perempuan. Selain Frappart, Beck, dan Díaz, ada Yoshimi Yamashita (Jepang), Kathryn Nesbitt (Amerika Serikat), dan Salima Mukansanga (Rwanda) yang sejauh ini sekadar jadi ofisial atau wasit keempat yang bertugas di tepi lapangan.
“FIFA akan terus mendukung perkembangan wasit perempuan dan saya percaya penunjukan perempuan sebagai ofisial di pertandingan putra akan menjadi hal yang lumrah di masa mendatang,” ujar Ketua Komite Wasit FIFA, Pierluigi Collina, sebagaimana dilansir The Guardian, 30 November 2022.
Penunjukan Frappart untuk memimpin laga di Piala Dunia tentu bukan sembarang tunjuk. Pengalamannya 25 tahun jadi pengadil lapangan merupakan bukti dedikasinya yang sarat kerja keras sekaligus nyali besar untuk menembus stigma perempuan dalam olahraga terpopuler yang masih didominasi kaum maskulin ini.
Setelah mendaki sejumlah jenjang karier, termasuk jadi wasit di Piala Dunia Putri 2019, di tahun yang sama ia menjadi wasit perempuan pertama di Liga Prancis, Ligue 1. Setahun berselang, Frappart menjadi wasit perempuan pertama di Liga Champions. Kemudian pada Maret 2021, Frappart jadi wasit perempuan pertama yang jadi pengadil di Kualifikasi Piala Dunia. Wajar bila kemudian IFFHS (Federasi Internasional Sejarah dan Statistik Sepakbola) menganugerahinya sebagai wasit perempuan terbaik tiga kali berturut-turut, 2019-2021.
Pun dengan rekan-rekan wasit lainnya yang diakui kompetensinya oleh FIFA. Neuza Back yang mendapat lisensi FIFA sejak 2012, pernah memimpin Copa América Feminina. Kathryn Nesbitt merupakan wasit perempuan pertama di MLS (Liga Amerika Utara). Karen Díaz sebelumnya tampil di Concacaf League 2018. Salima Mukansanga jadi wasit perempuan pertama di Piala Afrika. Sedangkan Yoshimi Yamashita pada 2019 jadi wasit perempuan pertama di Liga Champions Asia.
Baca juga: Hakim Garis Azerbaijan Pujaan Publik Inggris
Pengakuan Wasit Perempuan
Kata banyak orang, sepakbola adalah permainan lelaki. Tak ayal perkembangan sepakbola putri tak sepesat sepakbolanya kaum “Adam”. Terlebih di zaman kuda gigit besi, perempuan dilarang memainkannya, apalagi jadi wasit. Perempuan jadi wasit sepakbola di masa lalu karena special case saja.
Kendati begitu, tetap ada laga yang dipimpin perempuan. Yakni yang dipimpin Drahşan Arda asal Turki. Pada Desember 2018 FIFA baru mengakui Arda sebagai wasit perempuan pertama.
Figur kelahiran Edirne, Turki pada tahun 1945 itu merupakan atlet bola basket dan bola voli tingkat sekolah yang baru menaruh minatnya pada sepakbola ketika menjadi guru pada 1960-an. Ketertarikannya itu membawanya ikut beragam kursus dan pelatihan wasit mulai 1967 hingga mendapat sertifikat dari asosiasi sepakbola Provinsi Zonguldak.
Baca juga: Para Ibu di Lapangan Hijau
Ia pun mulai eksis jadi ofisial pertandingan walau sekadar laga-laga persahabatan. Namun, pada 26 Juni 1968 sebuah “anomali” menghampirinya, ia dipercaya jadi wasit yang memimpin sebuah laga semi-profesional di Mithatpaşa Stadium (kini İnönü Stadium).
“Hal yang membanggakan jadi yang pertama dalam sejarah. Saya memimpin pertandingan pertama saya pada 26 Juni 1968. Saya menjalani pengalaman luar biasa menjadi wasit 50 tahun lalu. Saya sangat senang dengan surat dari FIFA. Sangat antusias saat menerimanya dan bangga menjadi wasit perempuan pertama,” kata Arda, dikutip Milliyet, 19 Desember 2018.
Ketika kemudian pindah ke Jerman, Arda tetap aktif di laga-laga regional di bawah naungan asosiasi sepakbola Bavaria BFV hingga 30 tahun kemudian. Badge dan plakat emas dari BFV saat ia pensiun pun menegaskan dedikasinya sebagai pelopor wasit perempuan pertama dalam sepakbola pria.
Terlepas dari Arda yang diakui FIFA sebagai wasit pertama, sebuah studi yang digulirkan Helge Faller dan Matthias Marschik menyebut ada perempuan lain yang sudah menjadi wasit di laga antar-tim pria sejak 1930-an, yakni Edith Klinger. Faller dan Marschik merisetnya dari sejumlah arsip terkait sepakbola putri di periode antarperang di Austria. Hasil risetnya kemudian dibukukan dengan tajuk Eine Klasse für Sich (terj. A Class of Their Own) yang dirilis pada 2020.
Baca juga: Sepakbola Kaum Hawa Merentang Masa
Dikisahkan, pada awal 1920-an wasit perempuan turut memegang peranan sewaktu klub-klub sepakbola putri mulai berkembang di Wina, Austria. Tak hanya memimpin laga antartim putri, Klinger sebagai wasit perempuan juga jadi pengadil di laga-laga tim putra.
“Ia (Klinger) mendapatkan kualifikasinya dari ÖFB (federasi sepakbola Austria) dan mulai menjadi ofisial di pertandingan tim-tim putra maupun putri sampai akhirnya ÖFB menyadari implikasi-implikasinya. Mereka menganggap pesatnya antusiasme damenfussball (sepakbola putri, red.) yang disokong jurnalis olahraga berpengaruh, Willi Schmieger, tergesa-gesa dan belum waktunya,” ungkap Chris Rome dalam Carmen Pomiés: Football Legend and Heroine of the French Resistance.
Sepakbola putri di Austria saat itu menghadapi banyak tentangan dari tokoh-tokoh konvensional, politisi sayap kanan, hingga gereja. Meski begitu, sepakbola putri masih bernafas bahkan sampai dimulainya Perang Dunia II pada 1939 ketika sepakbola putra Austria telah kolaps “disikat” Jerman pasca-Anschsluss (pencaplokan Austria oleh Jerman Nazi).
Di masa itulah Klinger memainkan banyak perannya sebagai wasit dalam kurun 1935-1938. Selain ikut mendirikan klub sepakbola putri Tempo, sosok kelahiran 20 Desember 1911 itu juga sempat memimpin laga antartim pria usai mendapat lisensi wasit dari ÖFB pada April 1935.
Baca juga: Perempuan Main Bola Bukan untuk Pamer Paha
Menurut Faller dan Marschik, debut Klinger sebagai wasit perempuan pertama di laga resmi tim pria adalah memimpin duel SK Brno kontra Ostmark XI dalam Liga Wina kasta dua pada 15 November 1935. Sedangkan debutnya di laga internasional terjadi pada 8 September 1937 dalam laga persahabatan antara sebuah klub Cekoslovakia kontra SK Möllersdorf asal Austria.
Sayangnya tiada perempuan lain selain Klinger yang jadi pengadil di lapangan. Pasalnya usai Klinger diluluskan pada 1935, ÖFB mengubah aturan di mana hanya pria yang diizinkan mengikuti latihan wasit.
Namun perlahan tapi pasti, figur-figur perempuan muncul lagi di dalam sepakbola modern. Tak hanya klub, tapi juga ofisialnya. Tentu dengan melewati waktu yang panjang, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan sosial dan demokrasi yang melunturkan sekat-sekat gender.
Harus diakui, Amerika Serikat jadi pendobrak sekat-sekat gender dalam sepakbola modern. Dalam sebuah laga profesional NASL (Liga Sepakbola Amerika Utara) antara Portland Timbers kontra Calgari Boomers di Civic Stadium pada Mei 1981, Betty Ellis menjadi ofisial perempuan pertama. Kala itu ia bertugas menjadi hakim garis.
Baca juga: Jalan Panjang Piala Dunia Kaum Hawa
FIFA merespons dengan menghadirkan enam perempuan ofisial pertandingan di Piala Dunia Putri pertama di China pada 1983. Mereka baru sekadar jadi hakim garis. Momentum bersejarah perempuan bertindak sebagai wasit baru terjadi di Piala Dunia Putri 1991. Kala itu Cláudia Vasconcelos Guedes asal Brasil dengan ditemani Zuo Xiudi (China) dan Linda Black (Selandia Baru) jadi trio ofisial pertandingan untuk pertamakalinya. Meski begitu, bukan mereka wasit perempuan yang mendapat lisensi FIFA pertamakali, tapi Sonia Denoncourt asal Kanada pada 1994. FIFA akhirnya mengakui adanya wasit perempuan pada 2018 dan pada 2022 FIFA menunjuk wasit perempuan di Piala Dunia.
Namun meskipun mulai bermunculan perempuan sebagai ofisial maupun wasit utama di laga-laga sepakbola putra, stigma maupun komentar-komentar bernada seksis baik dari fans maupun pemain tak serta-merta hilang. Hal itu dialami antara lain oleh hakim garis asal Meksiko Lixy Enríquez.
“Kata-katanya seperti, ‘saya ingin membawa pulang asisten (wasit),” kenang Lixy, disitat BeSoccer pada 2016.
Rekannya sesama wasit Meksiko, Virginia Tovar, bahkan pernah direndahkan lebih menyakitkan oleh pemain bintang Cuauhtémoc Blanco. “Pergi dan cuci piring kotor saja,” kata Blanco.
Hal mengerikan juga pernah dialami Tatiana Guzmán asal Nikaragua. “Seorang pemain loncat ke tubuh saya ketika saya memberikan sebuah pelanggaran dan dia tidak menyukai keputusannya. Selalu ada kecemasan bahwa seseorang yang bodoh akan melakukan itu. Anda harus selalu siap melarikan diri,” kata Tatiana.
Akan tetapi pelecehan verbal maupun fisik tak bisa menghentikan para wasit perempuan untuk bicara banyak di kancah internasional. Terutama di laga-laga sepakbola pria.
“Saya selalu bilang, nilailah saya berdasarkan kompetensi saya, bukan jenis kelamin saya,” tandas Frappart.
Baca juga: Wasit Indonesia Berlisensi FIFA Pertama yang Terlupa